SULTAN AGUNG: KONSEP KYAI, WALI SANGA, KALENDER JAWA, DAN KHALIFAH
Oleh: Krisnanda
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Sultan Agung adalah salah satu raja di kerajaan Islam Mataram yang selain menjadi raja ia juga terkenal sebagai seorang pujangga. Dalam pemerintahan kerajaan Mataram, masa pemerintahan Sultan Agung merupakan salah satu masa pemerintahan yang paling banyak meninggalkan peristiwa-peristiwa sejarah penting. Beberapa diantarannya yang sering muncul dalam pembahasan sejarah, yakni peresmian Wali “Sanga” dan peresmian Kalender Jawa, serta diberikannya gelar Khalifatullah kepada Sultan Agung
. Untuk memperdalam pengetahuan tentang jasa apa saja yang telah ditorehkan Sultan Agung untuk kemajuan Islam di Jawa.1.2
Rumusan Masalah
a. Bagaimana sejarah Sultan Agung: konsep Kyai, wali songo, kelender Jawa dan khalifah?
1.3
Tujuan
a. Mengetahui sejarah Sultan Agung: konsep Kyai, wali songo, kelender Jawa dan khalifah.
PEMBAHASAN
2.1. Sultan Agung
Raden Mas Rangsang atau yang lebih dikenal dengan Sultan Agung naik
tahta di usianya yang ke 20 tahun. Pada tahun 1613 Sultan Agung menjadi raja
Mataram menggantikan posisi ayahnya yakni Panembahan Krapyak.[1]
Menjelang wafatnya, Panembahan Krapyak menunjuk putranya, yakni Raden Mas
Rangsang (Sultan Agung) sebagai penggantinya. Padahal sebelumnya Krapyak
menjanjikan kepada putranya yang lebih muda yakni Martapura (adik Sultan Agung)
untuk menggantikannya.
Pada
waktu itu Sang Prabu (Panembahan Krapyak) menjadi raja Mataram selama dua belas
tahun. Ketika ia sakit keras, ia sedang berada di Krapyak dengan ditemani para
putranya dan Sentana. Sang Prabu berkata kepada Eyang Adipati Mandaraka dan
kakaknya Pangeran Purbaya:
Eyang,
Ki Mas, kelak jika saya sudah tiada, yang saya tunjuk menggantikan saya adalah
Den Mas Rangsang (Sultan Agung). Kerajaannya lebih besar dari saya. Seluruh
orang di Jawa akan bersujud kepadanya. Tetapi berhubung dulu saya juga
mempunyai cinta-cita Martapura menjadi raja, maka tolong Eyang, agar Martapura
dinobatkan menjadi raja. Sebentar sebagai syarat ujar saya itu kemudian
menyerahkan takhta kepada Raden Mas Rangsang’’. Sang Prabu lalu berkata kepada
para putra sentana, ‘’Anak-anakku semua rukun-rukunlah dalam persaudaraan.
Siapa yang mendahului berbuat jahat, tidaklah selamat. Sudah, selamat tinggal.[2]
Memang awalnya Martapura diangkat sebagai raja oleh Ki Adipati
Mandaraka dan Pangeran Purbaya. Pada buku Puwadi yang berjudul Sejarah Raja-raja
Jawa dijelaskan bahwa Martapura hanya menjadi raja sehari. Setelah itu ia
segera meletakkan jabatannya dan mempersilahkan kakaknya untuk duduk di kursi
kerajaan kemudian berlangsunglah penobatan raja baru yang akan memakai nama
Sultan Agung, Senapati Ingalaga, Ngabdur Rachman. Mereka yang merasa tidak puas
ditantang untuk maju ke depan, akan tetapi tidak seorangpun yang berani maju.
Hal ini berarti semuanya menyetujuinya.
Perlu diketahui
bahwa selain sebagai raja, sosok Sultan Agung juga dikenal sebagai seorang
pujangga. Karya mistiknya yang terkenal yaitu kitab Sastra Gendhing dan Kitab
Nitipraja. Serat Sastra Gendhing berisi tentang budi pekerti, luhur, mistik,
dan keselarasan lahir batin. Serat Nitipraja yang dibuatnya pada tahun 1563
tahun Jawa atau 1641 Masehi ini berisi tentang moralitas penguasa dalam
menjalankan kewajibannya, etika bawahan kepada atasan, hubungan rakyat dengan
pemerintah, agar tatanan masyarakat dan negara dapat menjadi harmonis.[3]
2.2 Kyai
Kyai secara bahasa berarti seorang yang dipandang alim, pandai,
dalam bidang agama Islam.[4] Hardar
Putra Daulay mengatakan bahwa Kyai adalah orang yang ahli dalam agama Islam
yang memiliki pesantren dan mengajarkan kitab - kitab klasik kepada santrinya,
maju mundurnya pesantren ditentukan oleh Kyai.[5]
Kyai adalah orang
perorang yang mengurus dan mengelola pesantren dan madrasah. Setelah berkembang
sedemikian rupa, pesantren atau madrasah itu tidak lagi dapat diurusi oleh
orang perorangan, sehingga dibentuklah oraganisasi yang bergerak dalam
pendidikan Islam. Kyai berasal dari bahasa Persi kia / كيا yang
berarti orang yang menonjol dalam suatu bidang.[6]
Kyai dalam
masyarakat Jawa adalah orang yang dianggap menguasai Ilmu agama Islam, dan
biasanya mengelola dan mengasuh Pondok Pesantren. Di antara Kyai ada yang
menjadi pemimpin organisasi tarekat yang banyak berperan dalam penyebaran agama
Islam. Sebutan Kyai diberikan kepada orang - orang yang dipandang menguasai
ilmu agama, kharismatik, dan berpengaruh baik dalam lingkup regional maupun
nasional.
Kata Kyai
sebenarnya sinonim dari kata Sheikh dalam bahasa Arab, secara terminology
(istilah) arti kata Shaeikh sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri yaitu
orang - orang yang telah sampai pada derajat keutamaan karena selain pandai
(alim) dalam masalah agama mereka mengamalkan ilmunya untuk diri sendiri dan
mengajarkan kepada murid - muridnya. Kyai atau Syeikh dalam pengertian
terminology adalah orang - orang yang sudah tua umurnya atau orang - orang yang
mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang tapi
tidak pandai dalam masalah agama. Dengan demikian, kalau ada orang yang disebut
Kyai tapi tidak alim dalam masalah agama atau alim dan pandai berbicara namun
tidak dapat mengamalkan ilmunya, maka orang tersebut termasuk Kyai dalam
pengertian bahasa.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
Kyai adalah
pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagai muslim terpelajar telah membuktikan
hidupnya demi Allah serta menyebarkan dan mendalami ajaran - ajaran dan
pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam.[7]
Menurut Zamatshari Dhofier berpendapat bahwa Kyai adalah gelar yang
diberikan oleh masyarakat kepada seorang ahli agama Islam yang memiliki atau
menjadi pemimpin pesantren dan mengajar kitab - kitab klasik kepada para
santrinya.[8]
2.3 Wali Sanga
Di
Jawa, terutama di pesisir Utara terkenal bahwa Wali adalah sebutan untuk
para pemimpin madrasah dan gerakan dakwah Islam.[9] Perkumpulan
para wali yang terkenal adalah Wali Sanga yang masing – masing dipanggil dengan
sebutan Sunan. Dalam sebuah catatan kaki ke 296 pada buku M. Abdul Karim dengan
judul Islam Nusantara menjelaskan bahwa istilah Wali yang diberikan kepada
semua tokoh tersebut adalah dari kata Arab yang berarti suci. Keringkasan dari waliullah
yang berarti orang yang dianggap dekat dengan Tuhan, orang keramat yang
memiliki berbagai macam keanehan. Para wali tersebut dianggap sebagai orang –
orang yang mula – mulanya menyiarkan agama Islam di Jawa dan biasa dinamakan
Wali Sanga atau Wali sembilan walau jumlahnya tidak selalu sembilan. Setelah
Sunan Ampel wafat, para wali di Jawa mengajarkan segala macam wirid yang
berasal dari al-Qur`an, Hadis, Ijma`, dan Qiyas. Pada masa kerajaan Demak, ada
3 angkatan para wali yang mengajarkan pelajaran yang mana tiap angkatan terdiri
dari delapan orang wali. Angkatan pertama belangsung pada awal Kerajaan Demak,
dan untuk angkatan kedua dan ketiga berlangsung pada akhir kerajaan Demak dan
Pajang.
Melihat
dan memperhatikan nama – nama wali, maka dapat dipahami bahwa jumlah wali yang
menyebarkan Islam di Jawa ternyata tidak hanya sembilan orang dan tidak pada
satu priode. Kata Sanga (Sangsekerta: sanga/sanggha) yang artinya sekumpulan,
partai, wadah, sarekat, atau group. Istilah ini juga digunakan dalam bahasa harian
di India Timur umumnya dan Banglades pada khususnya. Maka, dapat disimpulkan
bahwa wali sanga adalah sekelompok wali. Karim juga mengatakan pada catatan
kaki dalam buku Islam Nusantara, yang mana menurut Simuh, guru besar UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta; ada istilah populer dalam bahawa Jawa: Jawata Sanga
Dewa Telongpuluh yang artinya 30 dewa dipimpin 9 orang. Di dalam
pertunjukan wayang pun, istilah itu sering disebutkan, baik di kota mau pun di
desa. Istilah tersebut jelas mempengaruhi dari Sultan Agung, yang mana ia
mengartikan istilah sanga dengan 9 yang didasarkan pada 8 arah angin dan 1
pusat pemancar/pusat. Sejak itulah wali sanga yang semulanya berarti kelompok,
menjadi sembilan.
2.4 Kalender
Jawa
Kalender ialah sebuah sistem untuk memberi nama pada suatu periode
waktu tertentu. Kalender dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki beberapa
pengertian yaitu: daftar hari dan bulan dalam setahun; penanggalan; almanak;
dan takwim.[10]
Di Indonesia, khususnya di pulau Jawa pernah berlaku sistem penanggalan Hindu
yang dikenal dengan penanggalan Saka. Kalender Saka ada di Nusantara sebelum
agama Islam. Penduduk Nusantara di bagian Barat yang terkena pengaruh agama
Hindu pada masa itu menggunakan kalender Saka. Akan tetapi, kalender Saka yang
digunakan telah dimodifikasi oleh beberapa suku bangsa, terutama suku Jawa dan
Bali. Oleh mereka kalender Saka ditambahi dengan cara penanggalan lokal. di
Bali kalender Saka yang telah ditambahi dengan unsur - unsur lokal digunakan
sampai sekarang, begitu pula di beberapa daerah di Jawa, seperti Tengger yang
banyak menganut agama Hindu.[11]
Selain
penanggalan Saka, di tanah air juga berlaku sistem penanggalan Islam atau
Hijriyah yang perhitungannya didasarkan pada peredaran bulan mengelilingi bumi.
Pada abad ke-17 saat kerajaan Mataram Islam muncul sebagai pengasa, kerajaan
ini membawa warna baru bagi sejarah Jawa sekaligus bagi penanggalan di Jawa.
Berbeda dengan kerajaan Islam lainnya yang bersifat maritim, kerajaan Mataram
bersifat agraris. Pada saat Islam masuk di pulau Jawa, muncul kembali nama
kerajaan Mataram yang sama sekali tidak memiliki hubungan dengan kerajaan
Mataram pada masa Hindu yang runtuh pada masa kerajaan Majapahit. Namun
keduanya terletak di wilayah yang sama.
Pada
masa Sultan Agung penanggalan (kalender) merupakan bagian penting dari
kehidupan kenegaraan. Hampir semua prikehidupan masyarakat Jawa masa itu,
khususnya tata laku budaya, berpatok kuat pada sistem penanggalan. Sultan Agung
memrintah dari tahun 1613 sampai tahun 1645. Pada masa pemerintahannya Sultan
Agung sudah berhasil menaklukan beberapa daerah seperti di Jawa Tengah dan Jawa
Timur, terutama di daerah - daerah pesisir utara.
Sultan
Agung merupakan raja yang melegitimasi dirinya sebagai penerus kerajaan
Majapahit, konsep raja sebagai pusat alam semestapun diakuinya. Untuk
memperluas pengauh serta mendapatkan pengakuan sebagai pemimin agama, Sultan
Agung memerintahkan para pujangga istana untuk menuliskan babad, selain itu
Sultan Agung juga mengrim utusan ke Mekkah yang kembali pada tahun 1641 M demi
mendapat gelar Abdul Muhammad Maulana al-Matarami sebagai tandingan bagi Sultan
Banten.[12]
Akan
tetapi, raja yang seolah - olah tak terkalahkan tersebut mengalami kekalahan
tersebut mengalami kekalahan besar. Hal ini disebabkan oleh keputusannya untuk
mengusir kompeni Belanda dari kota Batavia yang telah ditaklukkan oleh Belanda
pada tahun 1619. Pada tahun 1628 Sultan Agung mengirimkan tentaranya untuk
mengepung Batavia dan berhasil mengancam Batavia walaupun pada akhirnya gagal.
Pada tahun 1629 dilakukan serangan kedua yang merupakan malapetaka bagi tentara
Mataram, sebab tempat penyimpanan bekal ditemukan oleh kompeni Belanda dan
dihancurkan sebelum tentara Mataram sampai di Batavia.
Dengan
kekalahan tersebut menjadikan perbedaan pandangan di antara kerajaan - kerajaan
yang berada di bawah naungan Sultan Agung hingga muncul beberapa pemberontakan
tersebut ditumpas dengan kekerasan oleh Sultan Agung. Namun demikian, penekanan
secara fisik saja dirasa kurang untuk mengatasi ancaman dari pemberontakan
tersebut. Untuk mengatasi perbedaan pemberontakan antara mereka yang tergolong
Jawa tradisional yang kental dengan tradisi Hindu - Jawa dengan kalangan Santri
Islam pesisiran, maka Sultan Agung menciptakan penanggalan baru. Penanggalan
baru tersebut menggabungkan antara tradisi Hindu-Budha yang telah berakar dalam
diri orang Jawa dan tradisi Islam yang datang belakangan namun relatif lebih
dominan. Pada saat itu Sri Sultan Muhammad Sultan Agung Prabu Angjokrokusumo
tersebut telah menyesuaikan atau memperbaharui penanggalan Hindu dan Jawa ke
dalam penanggalan Hijriyah yang berdasarkan penanggalan bulan.[13]
Tindakan
Sultan Agung tersebut tidak hanya didorong untuk memperluas pengaruh agama
Islam, tetapi didorong juga oleh kepentingan politiknya. Sultan Agung bertujuan
memusatkan kekuasaan agama pada dirinya. Selain itu, mengubah kalender tersebut
juga bertujuan untuk memusatkan kekuasaan politik pada dirinya untuk memimpin
kerajaan. Ide tersebut didukung pula oleh para ulama dan abdi dalem, khususnya
yang menguasai ilmu falak dan perbintangan.
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
Penyesuaian
kalender tersebut diperintahkan melalui Dekrit Sultan Agung yang berlaku di
seluruh wilayah kerajaan Mataran II. Wilayah tersebut meliputi seluruh pulau
Jawa dan Madura kecuali Banten, Batavia dan Banyuwangi. Ketiga daerah ini tidak
termasuk wilayah kekuasaan Sultan Agung. Pulau Bali dan Palembang yang mendapat
pengaruh budaya Jawa tidak ikut mengambil alih kalender hasil karya Sultan
Agung.
Pada
tahun 1625 M, merupakan tahun pertama kalinya kalender Jawa digunakan di pulau
Jawa. Bertepatan saat itu pemerintahan kerajaan Mataram dipegang oleh Sultan
Agung Hanyokrusumo. Sebelum beredarnya kalender Jawa seperti saat ini, di pulau
Jawa terutama pada masa kerajaan Mataram, masyarakat Jawa menganut penanggalan
Saka atau kalender Saka. Kalender ini berasal dari India dan menggunakan
perhitungan bulan dan matahari. Kalender Saka masuk ke Indonesia seiringan
dengan pengaruh agama Hindu yang mulai masuk ke Indonesia pada abad ke 2 Masehi.[14]
Beredarnya kalender Saka di
masyarakat Jawa membuat kebingungan masyarakatnya. Banyak orang yang menilai
kalender Saka sama dengan kelender Jawa, padahal amat sangat berbeda. Kalender
Saka dimulai pada tahun 78 masehi. Permulaan kalender itu konon pada saat
mendaratnya Ajisaka di pulau Jawa. Ajisaka merupakan seorang tokoh mitologi
yang dalam sejarahnya menciptakan huruf abjad Jawa ; Ha Na Ca Ra Ka. Kalender yang sering dikenal dengan Saka ini,
dimulai pada tanggal 15 Maret tahun 78 Masehi. Tahun masehi dan tahun saka,
dua-duanya berdasarkan pada perhitungan solair,
yaitu mengikuti system perjalanan bumu mengelilingi matahari. Dalam bahasa
Arabnya disebut dengan Syamsiah.
Di lain sisi, sebelum Hindu datang
ke Pulau Jawa, orang jawa sudah mempunyai kalender sendiri yang sekarang kita
lebih kenal sebagai Petangan Jawi, yakni
perhitungan pranatamangsa dengan
rangkaian berupa macam-macam petangan, seperti
wuku, peringkelan, padewan, padangan, dan lain sebagainya. Konsep pranatamangsa ini sama dengan konsep solair yang sama juga dengan kalender
Saka dan Masehi.
Berikut ini penjelasan kalender Saka
dan Pranatamangsa. Kalender Saka membagi setahun dalam 12 bulan, sedangkan
dengan kalender Pranatamangsa membagi setahun dalam 12 mangsa. [15]
Kalender Saka |
Kalender Pranatamangsa |
||
Nama Bulan |
JmlHari |
Nama Bulan |
Jml Hari |
Srawana (12 Juli - 12 Agust) |
32 |
Kasa/Kartika (22 Jun - 1 Agust) |
41 |
Bhadra (13 Agust – 10 Sept) |
29 |
Karo/Pusa (2 Agust – 24 Agust) |
23 |
Asuji (11 Sept – 11 Okt) |
31 |
Katelu (25 Agust – 17 Sept) |
24 |
Kartika (12 Okt – 1 Nov) |
30 |
Kapat/Sitra (18 Sept – 12 Okt) |
25 |
Posya (1 Nov – 12 Des) |
32 |
Kalima/Manggala (13 Okt – 8 Nov) |
27 |
Margasira (13 Des – 10 Jan) |
29 |
Kanem/Naya (9 Nov – 21 Des) |
43 |
Magha (11 Jan – 11 Feb) |
32 |
Kapitu/Palguna (22 Des – 22 Feb) |
43 |
Phalguna (12 Feb – 11 Mar) |
29 |
Kawolu/Wasika ( 3 Feb – 28 Feb) |
26/27 |
Cetra (12 Mar – 11 Apr) |
31 |
Kasanga/Jita (1 Mar – 25 Mar) |
25 |
Wasekha (12 Apr – 11 Mei) |
30 |
Kasapuluh/Srawana (26 Mar – 18 Apr) |
24 |
Jyesta (12 Mei – 12 Jun) |
32 |
Dhesta/Padrawana (19 Apr – 11 Mei) |
23 |
Asadha 13 Jun – 11 Jul) |
29 |
Sadha/Asuji(12 Mei – 21 Jun) |
41 |
Kalender
Pranatamangsa sudah dimiliki oleh orang Jawa sebelum Hindu datang ke Pulau
Jawa. Kalender atau perhitungan Pranatamangsa itu dapat dikatakan sebagai
kalender kaum masyarakat tani yang memanfaatkannya sebagai pedoman dalam
bekerja.[16]
Awalnya, Pranatamangsa hanya
memiliki 10 mangsa, sesudah mangsa kesepuluh tanggal 18 April, orang menunggu
saat dimulainya mangsa yang pertama (Kasa/Kartika),
yaitu pada tanggal 22 Juni. Dikareakan masa menunggu itu cuku lama,
akhirnya ditetapkanlah mangsa yang kesebelas (Destha/Pradawana) dan mangsa kedua belas (Sdha/Asuji). Dengan demikian, maka genaplah dalam satu tahun
menjadi 12 mangsa dan dimulainya hari pertama mangsa pada 22 Juni. Kalender
Saka berjalan bersamaan dengan Pranatamangsa.
Meskipun Pranatamangsa sudah berlaku
sejak dahulu milik orang Jawa, akan tetapi pembukuannya baru dibuat pada waktu
Sri Paku Buwana VII memerintah kerajaan Surakarta, yaitu tepatnya pada tahun
1855 Masehi. Selain sebagai pedoman kaum masyarakat tani, Pranatamangsa adalah
perhitungan yang membawakan watak dan pengaruh dalam kehidupan manusia seperti
halnya perhitungan-perhitungan Jawa yang lainnya.[17]
Sistem penanggalan Islam Jawa ini
disebut juga penanggalan Jawa Candra Sangkala atau perhitungan penanggalan
berdasarkan peredaran bulan mengitari bumi. Struktur kalender Islam Jawa antara
lain seperti dibawah ini:[18]
a. Saptawara/Padinan yaitu
perhitungan hari dengan siklus 7 hari.
b. Sasi Jawa yaitu perhitungan
bulan. Jumlah hari dan umur masing - masing bulan sebagai berikut:
No |
Nama Bulan |
Umur Hari |
1 |
Suro |
30 |
2 |
Sapar |
29 |
3 |
Mulud |
30 |
4 |
Bakda
Mulud |
29 |
5 |
Jumadilawal |
30 |
6 |
Jumadilakhir |
29 |
7 |
Rejeb |
30 |
8 |
Ruwah |
29 |
9 |
Pasa |
30 |
10 |
Syawal |
29 |
11 |
Dulkangidah |
30 |
12 |
Besar |
29/30 |
Kalender Jawa Islam yang ditetapkan oleh Sultan Agung pada tahun
1555 Saka bertepatan dengan tahun baru Hujriyah tanggal 1 Muharram 1033 H dan
bertepatan juga dengan tanggal 8 Juli 1633 M. Dalam kalender Islam Jawa, tahun
pendek (wuntu) umur bulan ke 12 yaitu 30 hari satu tahunnya berumur 354-375
hari, maka dalam waktu 120 tahun sistem ini akan bertambah 1 hari bila
dibandingkan dengan sistem Hijriyah.[19]
2.5 Khalifah
Bentuk pemerintahan manusia yang benar, menurut pandangan
al-Qur`an, ialah adanya pengakuan negara akan kepemimpinan dan kekuasaan Allah
dan Rasul-Nya di bidang perundang – undangan, menyerahkan segala kekuasaan
legislatif dan kedaulatan hukum tertinggi kepada keduanya dan meyakini bahwa
khalifahnya itu mewakili Sang Hakim yang sebenarnya, yaitu Allah SWT. Doktrin
tentang khalifah yang disebutkan di dalam al-Qur`an ialah bahwa segala sesuatu
di atas bumi ini, berupa daya dan kemampuan yang diperoleh seorang manusia,
hanyalah karunia dari Allah SWT.[20]
Allah
telah menjadikan manusia dalam kedudukan sedemikian sehingga ia dapat menggunakan
pemberian dan karunia yang dilimpahkan kepadanya di dunia ini sesuai dengan
keridhaan-Nya. Berdasarkan hal ini, maka manusia bukanlah penguasa atau pemilik
dirinya sendiri, tetapi ia hanya sebagai khalifah atau wakil Sang Pemilik yang
sebenarnya.
Dalam
sebuah catatan kaki ke 263 pada buku M. Abdul Karim dengan judul Islam
Nusantara menjelaskan, QS. 2 (al-Baqarah): 29-31: Dialah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kami dan Dia berkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit! Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.
Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: “Sesungguhnya Aku
hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata: “Mengapa
Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang akan membuat kerusakan
padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji
Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman: “Sesungguhnya Aku mengetahui
apa yang tidak kamu ketahui.” Dan Dia mengajarkan pada Adam nama – nama (benda –
benda) seluruhnya, kemudia mengemukakan pada Malaikat lalu berfirman:
“Sebutkanlah kepada-Ku nama benda – benda itu jika kamu memang orang – orang
yang benar. “Manusia menjadi tuulang punggung di permukaan bumi ini. Allah SWT
menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untuk kepentingan manusia. Air,
udara, binatang – binatang, petunjuk arah di kedalaman darat dan laut, matahari
dan bulan yang terus menerus beredar, siang dan malam yang datang silh
berganti. Tidak diragukan bimbingan – bimbingan Allah (ayat – ayat al-Qur`an)
menjunjung tinggi martabat manusia ketingkat yang sempurna sejak semula
diciptakan. Jelas manusia ad[21]alah
Khalifah Allah di muka bumi. Manusialah yang ditakdirkan Tuhan mensejahterakan,
memperbaiki keadaan, dan menguasai bumi. Manusia dikaruniai kesanggupupan
mengenal dan mengetahui segala kenyataan yang ada di kolong langit ini.
M.
Abdul Karim juga mengatakan pada catatan kaki dalam buku Islam Nusantara, bahwa
kata Khalifah, menurut Luis Ma`luf Yusu`i biasa diterjemahkan “pengganti”. Dalam
al-Qur`an terdapat dua kata Khalifah, empat kata Khalaaif, dan tiga kata
Khulafaa, namun tidak satupun tertuju kepada Muhammad, atau khalifahnyaa.
Maksud Khalifah dalam QS. 2 (al-Baqarah): adalah nabi Adam.[22]
Dalam upaya
meningkatkan legitimasi dan eksistensi aura kekuasaan, para penguasa muslim
Melayu-Indonesia tidak hanya menggunakan gelar sultan, akan tetapi juga mengklaim “wakil” Tuhan (khalifatullah). Kitab Undang-undang
Melaka menyebut mereka sebagai “khalifat
al-mu’minin, dzill Allah fi al-ardl”. Sultan Mahmud naik takhta denga gelar
resmi “khalifat al-mu’minin”. Kemudian
kitab Undang-undang Pahang yang disusun untuk Sultan Pahang Abd al-Ghafur Muhay
al-Din Syah (berkuasa 1592-1614) mencatat berbagai upaya pihak kesultanan
menajdi raja Melayu identic dengan gelar Khalifatullah.
Para
raja Muslim di tanah Jawa tidak ketinggalan mengikuti lecenderungan itu.
Meskipun relative lebih lambat dibandingkan raja-raja Melayu-Indonesia lainnya.
Sultan Amangkurat IV adalah penguasa Mataram pertama yang menggunakan gelar kalipatullah. Lengkapnya adalah “Prabu Mangkurat Senapati Ingalaya Ngabdu
Rahman Sayyidin Panatagama Kalipatullah”. Gelar ini dipakai oleh kesultanan
Yogyakarta setelah pecahnya Mataram. Gelar yang sama digunakan oleh pejuang
Muslim Pangeran Diponegoro pada dua abad setelahnya untuk menghadapi ancaman
Belanda, yakni “Ngabdul kamid Erucakra
Sayyidin Panatagama Kalipatullah Rasulullah Sain”. Dapat dilihat dengan
sempurna bagaimana raja Mataram maupun Diponegoro menggunakan bahasa dan
istilah politik Islam beraglamasi dengan konsep dan bahasa politik lokal. [23]
Bukti
nyata kalau para raja Melayu-Indonesia menggunakan term politik semacam itu
dapat dibenarkan oleh sumber-sumber dari barat kala itu. Diambil dari sebuah
catatan Portugis tentang Pasai pada abad ke-16 bahwa raja mereka
(Muslim-Melayu) adalah “orang yang memerintah sevagai pengganti Tuhan”. [24]
Begitu
pula dengan apa yang dialami oleh Sultan Agung (1613-1645 M). Nama aslinya Mas
Rangsang, bergelar Prabu Pandita, namun lebih sering dikenal dengan gelar
keduanya yakni Panembahan Senopati Ing
Alogo Ngabdurrahman Sayyidin Pranatagama. Gelar Khalifatullah pada Sultan Agung merupakan gelar pemberian dari
Syarif Mekah pada tahun 1641 M atas permintaannya sendiri. Setelah Mataram
terpecah menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta, gelar itu bersamaan
dipakai selengkap-lengkapnya oleh masing-masing rajannya. Sampai pada akhirnya
raja Yogyakarta memakai tambahan khalifatullah di penghujung gelarnya.[25]
Gelar
Sultan yang disandang oleh Sultan Agung memberikan gambaran bahwa ia mempunyai
kelebihan dari para raja sebelumnya, yakni Panembahan Senopati dan Panembahan
Sedo Ing Krapyak. Kala itu, Sultan Agung dinobatkan sebagai raja (1613 M) dalam
usia 20 tahun masih menggunakan gelar Panembahan. Barulah di tahun 1624 M, ia
mengubah gelarnya menjadi “susuhan”. Selanjutnya ia menerima pengakuan dari
Mekah sebagai seorang Sultan, yang kemudian mengambil gelar lengkapnya menjadi Sultan Agung Anyakrakusuma Senopati Ing
Alogo Ngabdurrahman Kalipatullah (secara harfiah berati raja yang agung,
pangeran yang sakti, sang panglima perang, dan sang pemangku amanah Tuhan Yang
Maha Kuasa).[26]
Sebenarnya
tradisi di tanah Jawa sudah menyediakan gelar yang lebih “tinggi” dari Sulthan atau khalifatullah, yaitu bathara
(dewa) ingkang Agung. Akan tetapi Sultan Agung menolak, dan tetap ingin
bersikukuh menginginkan gelar khalifatullah. Hal ini besar kemungkinan karena
didasari oleh keinginan Sultan Agung mengungguli para Wali atau pemimpin agama
karena para Wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus. Serta
memiliki banyak pengikut.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
G.
Moedjianto dalam bukunya Konsep Kekuasaan
Jawa; Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram, mengungkapkan bahwa Sultan Agung
pernah mengirim ekspedisi penyerangan ke Giri pada 1635 dan kemudian Mangkurat
II menghancurkannya pada tahun 1680. Kejadian ini kemungkinan besar karena para
Wali adalah pemimpin agama dan negara (daerahnya) sekaligus, misalnya Sunan
Giri.[27]
Keterangan ini tidak sejalan dengan konsep keagung binataran yang seharusnya Raja
adalah sebagai penguasa tunggal.
Menurut kesesuaian dengan konsep keagung binataran, Sultan Agung bercita-cita memerintah seluruh pulau Jawa. Tidak heran jikalau Sultan Agung seringkali terlibat dalam peperangan yang panjang dengan penguasa daerah maupun dengan VOC yang juga mengincar pulau Jawa sejak 1618 M. Pada tahun 1627 M, seluruh pulau Jawa (kecuali Kesultanan Banten dan wilayah kekuasaan Kompeni di Batavia) telah berasil di persatukan lewat kekuasaan kerajaan Mataram.[28]
Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
KESIMPULAN
Raden Mas
Rangsang atau yang lebih dikenal dengan Sultan Agung naik tahta di usianya yang
ke 20 tahun. Pada tahun 1613 Sultan Agung menjadi raja Mataram menggantikan
posisi ayahnya yakni Panembahan Krapyak. Hardar Putra Daulay mengatakan bahwa Kyai
adalah orang yang ahli dalam agama Islam yang memiliki pesantren dan
mengajarkan kitab - kitab klasik kepada santrinya, maju mundurnya pesantren
ditentukan oleh Kyai. wali sanga adalah sekelompok wali. Sultan Agung
menciptakan penanggalan baru untuk mengatasi perbedaan pemberontakan antara
Jawa tradisional yang kental dengan tradisi Hindu - Jawa dengan kalangan Santri
Islam pesisiran. Khalifah, menurut Luis Ma`luf Yusu`i biasa diterjemahkan
“pengganti”.
DAFTAR PUSTAKA
A`la, Abu Al-Maududi,
Al-Khilafah wa Al-Mulk, Terj. Muhammad al-Baqir, Bandung: Mizan, 1996
Azra, Azyumardi.
Ensiklopedi. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005
Daulay, Haidar
Putra. Historis dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah.
Yogyakata: Tiara Wacana, 2001
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahawa Indonesia. Balai Pustaka,
1989
Dewan
Pendidikan Nasional. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van
Hoeve, 2002
Fatoni, Ahmad. Peran
Kyai dalam Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Pelajar, 2007
G, Moedjianto. Konsep
Kekuasaan Jawa, Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius,
cet. 1, 1987
Karim, M.
Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya, cet. 3. 2014
Purwadi.
Sejarah Raja-raja Jawa. Jakarta: Ragam Media, 2010
Suryanegara, Ahmad
Mansur. Api sejarah. Bandung: Salamadani, 2009
Vlekke, Bernard H. M. Sejarah Nusantara. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008
Kalender Jawa
Aboge, http://warkopmbahlalar.com/2011/08/1464/, diakses pada tanggal 25 Mei
2016, Pukul 8.04 WIB
Kalender Saka,
http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Saka, diakses pada tanggal 25 Mei 2016,
pukul 06:00 WIB
Penentuan Awal
Bulan Qomariyah dan Kalender Islam Jawa,
http://etheses.uin-malang.ac.id/87/6/09210055%20Bab%202.pdf diakses pada
tanggal 24 Mei 2016, Pukul 20:00 WIB
[1]
Purwadi, Sejarah Raja-raja Jawa, Jakarta: Ragam Media, 2010.,
Hlm. 309
[2] Purwadi.
Ibid., Hlm. 309
[3] Ibid.,
Hlm. 313
[4]
Dewan Pendidikan Nasional, Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve, 2002. Hlm. 60
[5] Haidar
Putra Daulay, Historis dan Eksistensi Pesantren Sekolah dan Madrasah,
Yogyakata: Tiara Wacana, 2001. Hlm. 14
[6] M. Abdul Karim. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya,
Cet. 3, 2014. Hlm. 142
[7] Ahmad
Fatoni, Peran Kyai dalam Pendidikan Islam. Jakarta: PT. Pustaka Pelajar,
2007. Hlm. 26
[8] Ibid.,
Hlm. 26
[9] M.
Abdul Karim. Islam... Hlm. 140
[10]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahawa Indonesia (Balai
Pustaka, 1989), Hlm. 380
[11]
Kalender Saka, http://id.wikipedia.org/wiki/Kalender_Saka, diakses pada tanggal
25 Mei 2016, pukul 06:00 WIB
[12] Bernard
H. M. Vlekke, Sejarah Nusantara, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Hlm. 8
[13] Kalender
Jawa Aboge, http://warkopmbahlalar.com/2011/08/1464/, diakses pada tanggal
25 Mei 2016, Pukul 8.04 WIB
[14] http://www.kalenderjawa.com/mvc/page/view
diakses tanggal 24 Mei 2016, Pukul 20:00 WIB
[15] Purwadi,
Sejarah…Hlm. 115
[16] Ibid., Hal. 117.
[17] Ibid.,.
[18]
Penentuan Awal Bulan Qomariyah dan Kalender Islam Jawa, http://etheses.uin-malang.ac.id/87/6/09210055%20Bab%202.pdf
diakses pada tanggal 24 Mei 2016, Pukul 20:00 WIB
[19] Ibid.,.
[20] Abu
A`la Al-Maududi, Al-Khilafah wa Al-Mulk, terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung:
Mizan, 1996), Hlm. 63
[21] M.
Abdul Karim. Islam... Hlm. 123
[22] Ibid.,
Hlm. 123.
[23] Azyumardi Azra, Ensiklopedi, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005, hlm. 80-81
[24] Ibid.,.
[25] M. Abdul Karim, Islam, hlm.175.
[26]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm.
91-92.
[27] G
Moedjianto, Konsep Kekuasaan Jawa,
Penerapannya Oleh Raja-Raja Mataram, Yogyakarta: Kanisius, cet. 1, 1987, hlm. 97
[28]
Azyumardi Azra, Ensiklopedi , hlm. 92
Comments
Post a Comment
Thank You