Kaidah Al-yaqinu La Yuzalu Bi Assyak
Oleh: Krisnanda
I.
Pendahuluan
Dalam kaidah pokok fiqih (al-qawaid al-asassiyyah), terdapat beberpa kaidah-kaidah yang salah satunya adalah kaidah al-yakinu la yuzalu bi assyak (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan). Sebelumnya telah dibahas tentang kaidah al-umuru bimaqashidiha yang mana setiap urusan itu tergantung pada
niatnya. Pada kali ini, penulis fokus pada kaidah yang ke dua yaitu al-yakinu la yuzalu bi assyak. Kita mengerti, bahwa manusia memiliki perasaan senang-sedih, optimis-pesimis. Dalam hal perasaan, yang menyangkut tentang pembahasan ini adalah keyakinan dan keraguan. Dari sini dipahami, bahwa kaidah ini menjelaskan bahwa tidak bisa keyakinan dihilangkan dengan keraguan.Kaidah Al-yaqinu
la yuzalu Bi assyak (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan kerguan) ini
terdiri dari kata keyakinan (al-yaqin)
yang artinya kepastian pada tetap tidaknya sesuatu, sedangkan keraguan (assyak) artianya ketidak pastian antara
tetap tidaknya sesuatu. Pada kaidah ini jelas, bahwa keyakinan yang sudah kokoh
atau kuat, tidak dapat dikalahkan dengan keraguan.[1]
Pada pembahasan ini, penulis memaparkan gambaran umum terkait kaidah al-yakinu la yuzalu bi assyak (keyakinan tidak dapat hilang dengan keraguan) dan kaidah – kaidah turunannya disertai contoh yang relevan.
Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
II. Pengertian Al-Yaqinu la Yuzalu bi Assyak
Kaidah al-yaqinu
la yuzalu bi assyak (keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan kerguan)
yang terdiri dari kata keyakinan (al-yaqin)
yang artinya kepastian tetap tidaknya sesuatu, sedangkan keraguan (assyak) artinya ketidak pastian antara
pasti-tidaknya sesuatu. Kaidah ini berarti bahwa keyakinan yang sudah mantap
atau yang sealur dengannya, yaitu sangkaan yang kuat, tidak dapat dikalahkan
dengan keraguan yang muncul sebagai bentuk kontradiktifnya, tetapi hanya dapat
dikalahkan oleh keyakinan atau asumsi kuat yang menyatakan sebaliknya.[2]
Al-yaqin menurut kebahasaan berarti pengetahuan dan tidak ada keraguan didalamnya. Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan yakin disini adalah “huwa ma maka tsabitan bi al-nazhori au al-dalili” yang artinya sesuatu yang menjadi tetap karena penglihatan pancaindra atau dengan adanya dalil.[3] Adapula yang mengartikan al-yaqin adalah ilmu tentang sesuatu yang membawa kepada kepastian dan kemantapan hati tentang hakikat sesuatu itu dalam arti tidak ada keraguan lagi. Sedangkan yang dimaksud dengan assyak bisa diartikan sesuatu yang membingungkan.[4] Ada yang mengatakan bahwa yang dimaksud dengan assyak adalah “huwa ma kana mutaroddidan baina al-tsubuti wa`adanihi ma`a tasawi thorofayi al-showabi wa al-khoto-i duna tarjihi ahadihima `ala al-akhiri” yang artinya suatu pertentangan antara kepastian dengan ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
III. Menurut Pandangan Fiqh
Dalam bahasa Arab, khusus seputar makna
kata yakin (al-yaqin) cukup
banyak dibicarakan, terkhusus dalam kajian Ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, maupun Kaidah
Fiqh. Dari segi bahasa, Abu zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawi menyatakan bahwa,
yakin secara sederhana dimaknai sebagai ketetapan hati (thuma’ninah al-qalb) terhadap suatu kenyataan atau realitas
tertentu. Menurut al-Ghazali, bahwa yakin adalah kemantapan hati untuk membenarkan
sebuah objek hukum, yang mana hati juga mampu memastikan bahwa kemantapan
itu adalah hal yang benar.
Sementara yakin dalam konteks kaidah ini mempunyai
makna lebih luas daripada pengertian yakin (al-yaqin)
secara etimologis. Sebab yang dimaksud disini juga memasukkan zhan (praduga kuat) namun zhan sendiri belum mencapai tingkat
yakin. Dalam hal ini, al-Nawawi menjelaskan bahwa, apabila ada orang yang
dipercaya (tsiqah) memberitahu bahwa
air yang kita pakai berwudhu terkenan najis, maka pengetahuan kita yang
berdasarkan berita tadi telah dikatagorikan yakin. Padahal sebenarnya kemantapan
hati kita baru mencapai taraf zhan (asumsi
atau persepsi kuat), karena kita tidak melihat langsung najis yang menimpa air
yang kita gunakan berwudhu itu. Karenannya, fuqaha seringkali menamai zhan seperti itu dengan kalimat yakin
atau al-ilmu (tahu). Konsekuensinya, kita wajib mensucikan kembali
anggota badan yang terkena air najis tersebut sekaligus wajib mengulangi
shalat.[5]
Adapun
yang dimaksud dengan alyaqin adalah:
اليقين
هو ما كان ثابتا بالنظر والدليل
Yang artinya: “sesuatu yang
menjadi tetap dengan karena penglihatan atau dengan adanya dalil”
Sedangkan yang di maksud
dengan assyak adalah:
هُوَ
مَا كَانَ مُتَرَدِّدًا بَيْنَ الثُّبُوْتِ وَ عَدَمِهِ مَعَ تَسَاوِى طَرَفَىِ
الصَوَابِ وَالْخَطَاءِ دُوْنَ تَرْجِيْحِ اَحَدِهِمَا عَلَى الْاَخَرِ
Yang artinya: “suatu pertentangan antara kepastian dengan
ketidakpastian tentang kebenaran dan kesalahan dengan kekuatan yang sama, dalam
arti tidak dapat ditarjihkan salah satunya”.[6]
Assyak menurut
pengertian tersebut dapat diartikan sebagai keragu-raguan atas sesuatu. Secara
lebih sepesifik, ahli fiqh memaknai assyak sebagai
keraguan yang mengakibatkan terjadinya sesuatu atau tidak terjadinya. Dalam hal
ini, yang berbeda adalah makna assyak yang
dimaknai oleh ahli ushul fiqh, yakni keseimbangan hati dalam menyikapi sesuatu.
Dalam pengertian ini, hati kita tidak lebih cenderung kepada salah satu dari
dua kemungkinan yang ada. Misalnya seseorang yang ragu, apakah rekan kerjanya
yang sedang ditunggu jadi datang atau tidak, dengan tidak melebihkan
kemungkinan antara datang dan tidak tersebut.[7]
Dalam hal ini
al-Nawawi menegaskan bahwa assyak
dalam istilah fuqaha didefinisikan sebagai keraguan antara wujud dan tidaknya
sesuatu. Hal ini dilihat dari penggunaan istilah assyak dalam masalah air, hadats, najasah, shalat, puasa,
dan talak yang semuanya mengandung pengertian keraguan antara ada dan tidak ada
antar dikerjakan dan tidak dikerjakan.[8]
Menurut Ahmad
bin Muhammad dalam Ghamzu ‘Uyun al Basha’ir hasyiah ‘ala Asybah li
Ibn Nujaim, sebagian ulama memilah ‘kondisi hati’ dalam 5 (lima) bagian
berikut:
1. Alyaqin yaitu keteguhan hati yang bersandar pada dalil qath’i (petunjuk
pasti).
2. I’tiqad yaitu keteguhan hati yang tidak bersandar pada dalil qath’i.
3. Zhan yaitu persepsi atau asumsi hati terhadap dua hal berbeda, dimana
salah satunya lebih kuat.
4. Assyak yaitu sebentuk prasangka terhadap dua hal tampa mengunggulkan salah
satu diantara keduanya.
5. Wahm atau kemungkinan yaitu yang lebih lemah dari dua hal yang diasumsikan.
Dapat
dipahami bahwa kaidah ini mendasarkan hukum yang sudah diyakini tidak dapat
dihilangkan dengan keraguan yang timbul kemudian. Rasa ragu yang merupakan unsur
eksternal dan muncul setelah keyakinan, tidak dapat menghilangkan hukum
keyakinan yang telah ada sebelumnya.[9] Kemudian ukuran yakin (alyaqin) dalam kaidah ini adalah tercapainya kemantapan hati pada
satu objek hukum yang telah dikerjakan. Baik kemantapan itu sudah mencapai pengetahuan
yang mantap atau persepsi kuat (zhan).
IV.
Landasan Al-yaqinu
La Yuzalu Bi assyak
Dasar-dasar kaidah tentang keyakinan dan keraguan
berdasarkan kepada Alquran dan Hadits sebagai berikut:
Firman
Allah:
وَإِن
تُطِعۡ أَكۡثَرَ مَن فِي ٱلۡأَرۡضِ يُضِلُّوكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِن
يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَخۡرُصُونَ ١١٦
Yang artinya: “Dan jika kamu
menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan
menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) Seperti
menghalalkan memakan apa-apa yang telah diharamkan Allah, dan mengharamkan
apa-apa yang telah dihalalkan Allah, menyatakan bahwa Allah mempunyai anak,
dll.” (QS. Al-An`am: 116)
Asbabun Nuzulnya Ayat:
Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang kafir yang
membantah Rasul dan orang-orang beriman tentang memakan bangkai. Mereka
berkata: “Mengapa kalian memakan (binatang) yang kalian bunuh (sembelih) dan
tidak memakan (binatang) yang dibunuh Allah secara langsung (maksudnya yang
mati tidak disembelih orang, yaitu bangkai)? Maka Allah berfirman: “Dan
jika kamu menaati kebanyakan orang-orang yang ada dimuka bumi ini, niscaya
mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah” yaitu jika kamu mentaati
mereka dengan memakan bangkai, sungguh mereka telah menyesatkan kamu dari jalan
Allah. (Tafsir Al-Baghawi, Juz 3, hal.181).
Ayat ini menggunakan bentuk mufrod (tunggal)
untuk “kamu” yang berarti bahwa secara makna asalnya ayat ini ditujukan kepada
Nabi Muhammad. Jika Nabi mengikuti kebanyakan orang maka kebanyakan orang itu
akan menyesatkan Nabi dari jalan Allah yang telah ditempuhnya. Sampai di
sini maka haruslah jelas dulu bahwa sisi tinjau jalan Allahnya itu adalah jalan
Allah yang telah ditempuh oleh Nabi Muhammad, bukan jalan Allah yang ditempuh
oleh kelompok - kelompok yang justeru menyelisihi cara-cara yang telah ditempuh
oleh Nabi Muhammad.
Banyaknya orang memang bukan patokan suatu kebenaran. As-Sa’di
mengatakan di dalam tafsirnya: “Ayat ini menjelaskan bahwa kebenaran itu bukan
karena banyak pendukungnya, dan kebathilan itu bukan karena orang yang
mengerjakannya sedikit. Kenyataannya (memang) yang mengikuti kebenaran hanya
sedikit, sedangkan yang mengikuti kemungkaran banyak sekali. (Tetapi)
kewajiban bagi umat Islam adalah mengetahui yang benar dan yang bathil,
lihatlah jalan yang ditempuh.” (Tafsir Kariimir-Rahman 1/270).
Akan tetapi orang yang sedikit bukan pula jaminan bahwa itu sudah pasti berada di atas kebenaran. Makna “kebanyakan orang di muka bumi” adalah manusia kebanyakan (mayoritas) baik pada masa dahulu maupun yang terkemudian di muka bumi ini (bukan hanya dengan ukuran satu komplek perumahan atau satu kampung atau satu kaum atau satu negara). Orang-orang terdahulu kebanyakannya sesat, orang-orang sekarang juga kebanyakannya sesat, dan orang-orang yang selanjutnya datangpun kebanyakannya sesat.
Jika kita lihat dari bentuk
kesesatan, kebanyakan orang yang
dimaksud dalam QS. Al
An’am: 116 adalah tidak mengambil petunjuk, memperturutkan persangkaan
sendiri/zhon yang bathil dan berdusta terhadap Allah (ngarang-ngarang ajaran
dengan akalnya dan kemudian membantah ajaran yang didatangkan kepada Nabi yang
diutus). Sebebagaimana Ibnu Katsir mengatakan: “Mereka dalam kesesatannya itu tidak merasa yakin perihal
mereka sendiri, melainkan mereka berada dalam dugaan (sangka-sangka) yang dusta
dan perkiraan yang bathil.” (Tafsir Ibnu Katsir Juz 8, QS. Al-An’am:116)
Dalam ayat yang lain Allah Swt.
berfirman:
وَدَخَلَ مَعَهُ ٱلسِّجۡنَ
فَتَيَانِۖ قَالَ أَحَدُهُمَآ إِنِّيٓ أَرَىٰنِيٓ أَعۡصِرُ خَمۡرٗاۖ وَقَالَ ٱلۡأٓخَرُ
إِنِّيٓ أَرَىٰنِيٓ أَحۡمِلُ فَوۡقَ رَأۡسِي خُبۡزٗا تَأۡكُلُ ٱلطَّيۡرُ مِنۡهُۖ
نَبِّئۡنَا بِتَأۡوِيلِهِۦٓۖ إِنَّا نَرَىٰكَ مِنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ ٣٦
Yang artiya: “Dan bersama dengan dia masuk pula ke dalam penjara dua orang pemuda.
Berkatalah salah seorang diantara keduanya: "Sesungguhnya aku bermimpi,
bahwa aku memeras anggur". Dan yang lainnya berkata: "Sesungguhnya
aku bermimpi, bahwa aku membawa roti di atas kepalaku, sebahagiannya dimakan
burung". Berikanlah kepada kami ta´birnya; sesungguhnya kami memandang
kamu termasuk orang-orang yang pandai (mena´birkan mimpi).” (QS. Yunus:
36.)
أَلَآ إِنَّ لِلَّهِ مَن
فِي ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَمَن فِي ٱلۡأَرۡضِۗ وَمَا يَتَّبِعُ ٱلَّذِينَ يَدۡعُونَ مِن
دُونِ ٱللَّهِ شُرَكَآءَۚ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا
يَخۡرُصُونَ ٦٦
Yang artinya: “Ingatlah, sesungguhnya
kepunyaan Allah semua yang ada di langit dan semua yang ada di bumi. Dan
orang-orang yang menyeru sekutu-sekutu selain Allah, tidaklah mengikuti (suatu
keyakinan). Mereka tidak mengikuti kecuali prasangka belaka, dan mereka
hanyalah menduga-duga.” (QS. Yunus: 66.)
وَمَا لَهُم بِهِۦ مِنۡ
عِلۡمٍۖ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا ٱلظَّنَّۖ وَإِنَّ ٱلظَّنَّ لَا يُغۡنِي مِنَ ٱلۡحَقِّ
شَيۡٔٗا ٢٨
Yang artinya: “Dan mereka tidak mempunyai
sesuatu pengetahuanpun tentang itu. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti
persangkaan sedang sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun
terhadap kebenaran.” (QS. An-Najm: 28)
Adapun Hadist yang menjadi landasan kaidah ini sebagai berikut:
Pertama, Hadist riwayat Muslim.
اِذَا
وَجَدَ أَحَدُكُمْ فِي بَطْنِهِ شَيْئاً فَأَشْكَلَ عَلَيْهِ ، شَيْءٌ أَمْ لَا ؟
فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنْ الْمَسْجِدِ حتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا أَوْ يَجِدَ
رِيحًا.(روه مسلم)
Yang artinya: “Apabila salah seorang
diantara kalian merasakan sesuatudi dalam perutnya, kemudian dia ragu, apakah
telah keluar sesuatu (dari perutnya) atautidak, maka janganlah ia keluar dari
masjid (membatalkan shalatnya), sampai ia mendengar suara atau mencium bau.”
(H.R Muslim)
Kedua, Hadist
riwayat Muslim:
شكِى
الى رسولِ اللّه عليه وسلم الرَجُلُ يُخَيَّلُ اليْهِ أنهُ يَجِدُ الشَئَ فِى
الصَّلَاةِ، لا يَنْصَرِف حتى يَسْمَعَ صَوتًا أو يجِدَ رِيَحًا
Yang artinya: “Nabi saw diberi kabar
mengenai seseorang yang mersakan angin (yang kelur dari perut) dalam shalatnya.
Beliau bersabda “janganlah dia berhenti shalat sampai ia mendengar suara atau
mencium bau”.
Ketiga,
hadits riwayat Muslim:
إِذَ
شَكَّ أَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صلَّى ثَلاثًا أمْ ارِبعًا ؟
فَلْيَطْرَح الشَكٌ ولْيَبْنِ عَلي مَا اسْتَيْقَنَ، ثُمً يَسْجُد سَجْدَ تَيْنِ
قَبْلَ اًنْ سَلٌمَ
Yang artinya: “Apabila diantara kalian ragu
dalam shlatatnya apakah dia telah mencapai tiga atau empat rakaat? maka hendaknya
di membuang jauh-jauh keraguan itu dan berpegang lah pada keyakinannya, kemudin
sujud (sujud sahwi) lah dua kali sebelum salam.”
Dari hadist - hadits yang telah disebutkan, dapat
diambil kesimpulan bahwa hukum segala sesuatu harus dilihat dan kondisi asal
yang meyakinkan. Jika kondisi semula adalah batal maka faktor eksternal yang
muncul kemudian tidak dapat mempengaruhi status hukum batal itu, sehingga
hukumnya tetap batal. Demikian pula apabila kondisi asal nya adalah sah, maka
hukum selanjutnya tetap sah, dengan catatan tidak ada bukti yang meyakinkan
yang mampu merubahnya. Darisinilah terbangun al-yaqin la yuzalu bi assyak.[10]
Di antara hukum –
hukum aplikatif yang menjadi contoh penerapan kaidah ini adalah sebagai
berikut;[11]
1.
Apabila seseorang menghilang
dalam jangka waktu yang lama dan tidak diketahui apakah ia masih hidup atau
mati, maka ahli waris tidak boleh membagi harta peninggalannya sebelum adanya
kepastian mengenaikematiannya berdasarkan asumsi hakim (pengadilan) mengenai
kematiannya berdasarkan asumsi kuat bahwa orang tersebut telah meninggal dunia
disertai bukti – bukti kuat yagn mendukung asumsi tersebut dan
menetapkannyasebagai sebuah keyakinan; misalnya orang tersebut menghilang setelah
kecamuk perang, wabah penyakit atau gempa bumi. Hal itu dikarenakan status
hidup orang ersebut sebelum menghilang merupakan sesutu yang tak terbantahkan
dengan segala keyakinan dan baru ketika ia menghilang munculah keraguan akan
status kehidupannya, maka di sini keraguan yang muncul belakangan tidak dapat
digugurkan hukum keyakinan.
2.
Apabila ada dua orang
melakukan kerjasama perdagangan. Lalu salah satu pihak menyatakan bahwa mereka
tidak memperoleh laba, sementara pihak lainnya menyatakan sebaliknya, namun
masing – masing tidak memiliki bukti sama sekali, maka pendapat yang diambil
adalah pendapat pihak yang menyatakan tidak ada lama disertai sumpahnya, karena
prinsip awalnya memang tidak ada laba.[12]
3.
Apabila tidak ada bukti
kuitansi seseorang membayar utang, kemudian timbul perselisihan tentang sudah
bayar menurut yanng sudah berhutang dan belum bayar menurut yang menghutangkan,
maka yang dipegang adalah perkataan yang mengutangkan.[13]
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
V.
Macam-macam Kaidah Turunan Al-Yaqinu la Yuzalu bi Assyak
Dari kaidah asasi al-yakinu la yuzalu bi assyak ini
kemudian muncul kaidah – kaidah turunannya yaitu sebagai berikut:[14]
1.
Al-yakinu
yuzalu bi al-yakinu mistlihi (Apa yang yakin bisa hilang karena
adanya bukti lain yang meyakinkan pula)
Maksud dari kaidah ini adalah kita yakin
sudah berwudhu, tetapi kemudian kita yakin pula telah buang air kecil, maka
wudhu kita menjadi batal. Contohnya jika si A berhutang kepada si B, tetapi
kemudian bukti bahwa si A telah membayar utangnya kepada si B, misalnua ada
kuitansi yang ditandatangani si B yang menyatakan bahwa utang di A sudah lunas.
Maka, si A yang tadinya berutang, sekarang sudha bebas dari utangnya.
2.
Anna ma
stabata biyaqinin la yurtafa`u illa biyaqinin (apa yang ditetapkan atas dasar
keyakinan tidak bisa hilang kecuali dengan keyakinan lagi)
Maksud dari kaidah ini adalah thawaf
ditetapkan dengan dasar dalil yang meyakinkan yaitu harus tujuh putaran.
Kemudian dalam keadaan thawaf, seseorang ragu pakah yang dilakukannya putaran
ke enam atau kelima. Maka yang diyakinkan adalah jumlah yang kelima, karena
putaran yang kelima itulah yang meyakinkan. Jadi dalam hal yang berhubungan
dengan bilangan, apabila seseorang itu rahu, maka bilangan yang terkecil itulah
yang meyakinkan.
3. Al-ashlu Baroatu adzzimmah (Hukum asal
adalah bebasnya seseorang dari tanggung jawab)
Pada dasarnya manusia dilahirkan
dalam keadaan dalam keadaan bebas dari tuntutan, baik yang berhubungan dengan
hal Allah maupun dengan hak Adami. Setelah dia lahir muncullah hak dan
kewajiban pada dirinya.
Anak kecil lepas dari tanggung jawab
melakukan kewajiban sampai datangnya waktu balig. Makan dan minum asalnya
dibolehkan sampai datangnya dalil yang melarang makan makanan dan minuman yang
diharamkan.
4.
Al-ashlu
baqau ma kana `ala ma kana ma lam yakun ma yughoiyiruhu (hukum asal
itu tetap dalam keadaan tersebut selama tidak ada hal lain yang mengubahnya)
Kaidah ini menengaskan bahwa suatu perkara yang
telah berada pada suatu kondisi tertentu, tetap seperti kondisi semula
selama tidak ada hal yang mengubahnya. Alasan utama mengapa hukum pertama harus
dijadikan pijakan, karena dasar segala sesuatu adalah tidak berubah dan tetap
seperti asalnya. Sementara kemungkinan berubah dari kondisi semula adalah
sesuatu yang baru, sehingga tidak dapat dijadikan pijakan hukum.
Contohnya, seserorang yang sudah berniat wudhu sebelum
membasuh muka yang merupakan permulaan rukun wudhu. Niat itu ia laksanakan saat
melaksanak kesunahan wudhu, baik saat berkumur atau memasukan air ke hidung.
Ketika mulai membasuh muka, barulah timbul keraguan dalam hatinya, apakah niat yang
dilakukan sejak berkumur itu masih ada atau hilang. Dalam kondisi seperti ini,
wudhunya tetap dihukumi sah, karena keraguan itu timbul dan bersifat baru.
Padahal sebelumnya ia telah meyakini bahwa dirinya telah berniat sehingga niat
tersebut dianggap ada dan berlangsung hingga ia membasuh mukanya.[15]
Dalam kasus – kasus lain di atas
contohnya seperti unsur yang mengubah keadaan adalah balig (dewasa) bagi anak
kecil dan hadist – hadist yang melarang makan dan minum yang haram. Keadaan
diatas pun dapat berubah lagi, bila ada unsur-unsur lain yang mengubahnya.
Misalnya, manusia bebas lagi dari tanggung jawab karena datangnya kematian.
Kewajiban-kewajiban suami istri hilang lagi karena adanya perceraian.
5.
Al-ashlu
al-`adamu (hukum asal adalah ketiadaan)
Kaidah ini menjelaskan, bahwa pada dasarnya setiap
mukallaf dinilai belum melakukan sebuah pekerjaan, sebelum pekerjan sudah benar-benar
wujud secara nyata dan diyakini keberadaaannya.
Contoh: Apabila terjadi
persengketaan antara penjual dan pembeli tentang aib (cacat) barang yang dijual
belikan, maka yang dianggap adalah perkataan si penjual, karena pada asalnya
cacat itu tidak ada. Ada pula ulama yang menyatakan, karena hukum asalnya
adalah akad jual beli telah terjadi. Sudah tentu ada kekecualian yaitu apabila pembeli
bisa memberikan bukti yang meyakinkan bahwa cacat barang itu telah ada ketika
barang tersebut masih ada di tangan penjual.
6.
Al-ashlu
idhofatu al-hadisti ila akrobi awqotihi (hukum asal adalah penyandaran
suatu peristiwa kepada waktu yang lebih dekat kejadiannya)
Apabila terjadi keragua karena
perbedaan waktu dalam suatu peristiwa, maka hukum yang ditetapkan adalah menurut
waktu yang paling dekat kepada peristiwa tersebut, karena waktu yang paling dekat
yang menjadikan peristiwa itu terjadi. Kecuali ada bukti lain yang meyakinkan
bahwa peristiwa tersebut jatuh pada waktu yang lebih jauh.
Contohnya: dalam akad jual beli,
terjadi sengketa antara penjual dan pembeli. Menurut penjual, cacat yang ada
pada barang yang dijual terjadi setelah barang itu ada pada tangan pembeli.
Sedangnkan menurut pembeli, cacat barang itu ada ketika barang tersebut masih
ada pada penjual. Maka yang harus dipegang adalah perkataan penjual, karena ini
lah waktu yang paling dekat kepada adanya cacat dan sama – sama diyakini adanya
suatu cacat. Oleh karena itu, jual beli ini tidak bisa dibatalkan, kecuali ada
bukti lain yang meyakinkan bahwa cacat barang tersebut terjadi ketika masih ada
ditangan penjual.[16]
7.
Al-Ashlu fi
alasyai al-ibahatu hatta yadulla al-dalilu `ala al-tahriimi (hukum asal
segala sesuatu itu adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukan
keharamannya)
Penemuan penemuan baru yang tidak pada masa kini,
telah dipersiaapkan perangkat hukumnya secara lengkap oleh Islam jauh-jauh
hari. Islam telah meprediksikan hal itu dan memberikan ketentuan-ketentuan
hukum dalam bingkai kaidah yang sangat sederhana, yaitu al-ashlu al-ibaha.
Dalam tataran praktis, kaidah ini dapat diterapkan
jika kita menemukan hewan, tumbuhan atau apa saja, yang yang belum diketahui
status hukumnya dalam syari’at. Semua jenis barang tersebut dihukumi
halal, sesuai substansi yang terkandung kaidah ini.
Namun perlu dicatat, sebenarnya masih tejadi perbedaan
pendapat diantara kalangan ulam seputar hukum asal segala sesuatu. Mayoritas
ulama syafiiya menyatakan bahwa hukum asal segala sesutu adalah halala, selama
belum ada dalil yang mengharamkanya. Sebaliknya beberapa ulamak hanfiyah
berpendapat bahwa hukumasal seala sesuatu adalah haram, selama tidak ada dalil
yang menghalakan.[17]
Contohnya: apabila ada binatang yang
belum ada dalil yang tegas tentang keharamannya, maka hukumnya boleh dimakan.
8.
Al-ashlu fi
al-kalami al-haqiqotu (hukum asal dari suatu kalimat adalah arti yang
sebenarnya)
Makna asal suatu ucapan adalah
hakikatnya tidak boleh diarahkan pada makna majaznya kecuali terdapat faktor
yang menetapkan ucapan itu harus diarahkan pada majaz, seperti tidak mungkin
diarahkan pada makna hakikatnya. Maksud hakikat adalah lafal atau kata yang
digunakan sesuai dengan maksud lafal tersebut dimunculkan pertama kalinya.
Sedangkan majaz adalah penggunaan makna ke dua dari asal lafal tersebut
dimunculkan.
Contohnya, apabila seseorang
berkata: “saya mau mewakafkan harta saya kepada anak Kyai Ahmad. Maka anak
dalam kalimat tersebut adalah anak yang sesungguhnya, buka anak pungut dan
bukan pula cucu. Demikian pula kata – kata hibah, jual beli, sewa menyewa, gadai
dan lain-lainnya di dalam akad, harus diartikan dahulu dengan arti kata yang
sebenarnya, bukan dalam arti kiasannya.
Contoh lain, orang bersumpah tidak
akan membeli sesuatu, kemudian ia mewakilkan kepada orang lain untuk membeli
barang, maka ia dihukumi tidak melanggar sumpah. Sebab, pada hakikatnya ia
tidak melakukan pembelian. Contoh lainya, seseorang bersumpah tidak akan
memakan kambing, maka dihukumi melanggar sumpah ketika memakan dagingnya,
karena dagingnya merupakan hakikat dari kambing. Namun ia tidak dihukumi
melanggar sumpah jika memakan kulit atau meminum susunya.[18]
Memang kaidah ini lebih dekat
dimasukan ke dalam kelompok kaidah ushul dari pada kaidah fiqh. Alasannya,
kaidah tersebut berkenaan dengan kebahasaan. Sedangkan kaidah – kaidah bahasa
berhubungan erat dengan arti yang terkandung di dalam Alquran dan al-Hadist.
Akan tetapi, banyak perbuatan mukallaf yang karena menggunakan bahawa juga,
maka memunculkan kaidah fiqh seperti kaidah tersebut di atas, meskipun
pembentukan kiadah fiqh berbeda dengan pembentukan kaidah ushul.
9.
La `i`brota
bi al-zhonni alladzi yazharu khotouhu (tidak dianggap, persangkaan yang
jelas salahnya)
Contoh dalam mu`amalat, ketika
seorang debitor telah membayar utangnya kepada kreditor, kemudian wakil debitor
atau penanggung jawabnya membayar lagi utang debitor atas sangkaan bahwa hutang
belum dibayar oleh debitor, maka wakil debitor atau penanggung jawbnya berhak
meminta dikembalikan uang yang dibayarkannya, karena pembayarannya dilakukan
atas dasar perasangkaan yang jelas salahnya, yaitu menyangka bahwa utangnya
belum dibayar oleh debitor. Demikian pula kaidah tersebut berlalu di dalam
contoh-contoh yang serupa.
10. La `ibrota littawahhumi (Tidak
diakui adnya waham (kira-kira)
Bedanya zhann dan waham adalah di
dalam zhann yang salah itu
persangkaannya. Sedangkan dalam waham,
yang salah itu zatnya. Apabila seseorang meninggal dengan meninggalkan sejumlah
ahli waris, maka harta warisan dibagikan di antara mereka. Tidak diakui ahlil
waris yang dikira-kira adanya.[19]
VI.
Kesimpulan
Keyakinan dan keraguan itu merupakan dua hal yang berbeda. Dari kaidah al-yakinu la yuzalu bi assyak ini maka dapat disimpulkan bahwa apabila kita sudah yakin terhadap sesuatu, maka hal itu lah yang berlaku dan yang kita pegang, kecuali memang ada dalil atau bukti lain yang lebih kuat atau sehingga dapat membatalkan keyakinan kita itu. Maka dari sini jelas bahwa keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keragu-raguan, atau sebaliknya keraguan tidah dapat menghilngkan sebuah keyakinan.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
Daftar Pustaka
Asyumi A, Rahman. Qaidah-qaidah
fiqh, Cet I, Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Djazuli.
Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2015.
Djazuli. Kaidah
– Kaidah Fikih: Kaidah – kaidah hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah –
masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana. 2006.
Djazuli dan Aen, Nurol. Ushul Fiqh: Metodologi Hukum
Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000.
Hamim, M. dan Muntaha, Ahmad. Pengantar Kaidah Fiqh Syafi`iyyah. Kediri: Santri
Salaf Press. 2013.
Haq, Abdul Ahmad. dkk. Formulasi Nalar Fiqh.
Surabaya: Khalista. 2006.
Haq, Abdul Ahmad. Formulasi nalar
fiqh, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Surabaya: Khalista. 2009Asyumi A,
Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, Cet I,
Jakarta: Bulan Bintang, 1976.
Washil,
Nashr Farid Muhammad dan Azzaam, Abdul Aziz Muhammad. Qawa`id Fiqhiyyah, Ter. Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah. 2009.
[1] Nashr Farid
Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzaam. Qawa`id Fiqhiyyah, Ter. Wahyu Setiawan, Jakarta: Amzah. 2009. Hal.
15
[2] Nashr Farid
Muhammad Washil, Ibid…, Hal. 15
[3] Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih: Kaidah – kaidah hukum
Islam dalam Menyelesaikan Masalah – masalah yang Praktis. Jakarta: Kencana.
2006. Hal. 44
[4] Djazuli dan
Nurol Aen, Ushul Fiqh: Metodologi Hukum
Islam. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000. Hal. 4
[5] Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR
FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual. Surabaya: Khalista. 2009
[6] Asyumi A Rahman. Qaidah-qaidah fiqh, cet I, Jakarta:
Bulan Bintang, 1976.
[7] Abdul Haq, Ahmad. Ibid.,. 2009
[8] Ibid.
[9] Abdul Haq, Ahmad. FORMULASI NALAR FIQH, Telaah kaidah fiqh Konspetual.
Khalista. Surabaya. 2009
[10] Abdul Haq, dkk, Formulasi Nalar
Fiqh. Surabaya: Khalista. 2006. Hal. 140-144
[11] Nashr Farid
Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzaam, Qawa`id Fiqhiyyah, Hal. 15
[12] Ibid.,. Hal. 16
[13] Djazuli. Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan
Penerapan Hukum Islam. Jakarta: Kencana, 2015. Hal. 107
[14] Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih…, Ibid. Hal. 47
[15] Abdul Haq, dkk. Ibid, Hal. 148
[16] Djazuli, Kaidah – Kaidah Fikih,…, Ibid. Hal. 51
[17] Ibid. Hal. 151
[18] M Hamim dan Ahmad Muntaha. Pengantar Kaidah Fiqh Syafi`iyyah. Kediri: Santri Salaf
Press. 2013. Hal 54
[19] Djazuli, Kaidah – Kaidah., Ibid.,. Hal. 54
Comments
Post a Comment
Thank You