KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM



Oleh: Krisnanda


DEFINISI

A. Ekonomi Konvensional

Para ahli ekonomi neo klasik mengajukan pengertian lain bahwa inti kegiatan ekonomi itu adalah aspek pilihan dalam penggunaan sumber daya yang langka. 
mendefinisikan:

“Ilmu ekonomi merupakan suatu
studi tentang perilaku orang dan masyarakat dalam  memilih cara menggunakan sumberdaya yang langka dan memiliki beberapa alternatif penggunaan, dalam rangka memproduksi sebagai komoditi, untuk menyalurkannya baik saat ini maupun dimasa depan kepada berbagai individu dan kelompok yang ada dalam suatu masyarakat.”

Definisi ini mengandung arti bahwa segala perilaku manusia mengandung konskuensi , ia dituntut untuk memilih satu dari berbagai pilihan yang ia hadapi. Ia dituntut untuk memilih satu dari berbagai pilihan yang ia hadapi. Ekonomi dalam definisi ini dianggap mempengaruhi sikap manusia untuk lebih memperhatikan kepentingan pribadi daripada sesamanya.

Sesuatu yang telah menjadi pilihan kita belum tentu pilihan yang terbaik untuk orang lain. Tetapi dengan konsep ini orang bisa saja bertahan pada anggapan individu , sampai akhirnya orang mendefinisikan ekonomi adalah upaya manusia dalam memenuhi pilihan kebutuhan yang tidak terbatas dan pilihan sumber daya yang terbatas.

Manusia semaksimal mungkin memanfaatkkan sumber daya yang ada guna memenuhi kebutuhannya. Mannusia yang tidak mempunyai sarana untuk mengelola sumbeer daya yang ada akan kehilangan peluang untuk mengikatkan pendapatannya. Bila pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasarnya maka ia akan mencari jalan pintas dalam memenuhi kebutuhannya, misalkan dengan melakukan praktek ekonomi yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Intinya, hal ini merupakan gambaran manusia yang telah memahami bahwa sumber daya ini terbatas dan untuk mendapatkannya harus dengan berebut, kalau tidak berebut makan tidak akan mendapatkan bagian sumber daya yang dianggapnya terbatas.

Baca Juga: AKAD DALAM TRANSAKSI BISNIS SYARIAH BERDASARKAN PERSPEKTIF AL-QURAN

B. Hakikat Ekonomi Islam

Ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi konvensional. Dalam ekonomi Islam “kebutuhan (need) terbatas dengan dengan sumber daya yang tidak terbatas, yang tidak terbatas bukan kebutuhan teteapi keinginan (want)”. Sedangkan pengertian ekonomi menurut ekonomi konvensional adalah bahwa ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari “kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas”.Dalam ekonomi Islam kebutuhan manusia terbatas, karena pemenuhannya disesuaikan dengan kapasitas jasmani manusia, misalnya makan, minum dan sebagainya. Kalau sudah merasakan kenyang dengan tiga piring nasi dan sayuran dalam sehari, maka manusia tidak akan makan lagi, karena kalau makan lagi tidak akan memenuhi kapasitas perut, kalau ia paksa makan maka  makanan tidak terasa enak atau merasa  mau muntah. Contoh sesederhana ini menunjukkan bahwa kebutuhan sebenarnya sangat tebatas, jadi untuk hidup manusia perlu makanan yang sekedar bisa digunakan  untuk memenuhi kapasitas perut. Sedangkan yang tidak terbatas adalah keinginan, karena keinginan merupakan wujud pemenuhan manusia yang dipengaruhi faktor dari luar dirinya(preferensi), misalnya pengaruh keluarga dan lingkungan, promosi, iklan, film, dan sebagainya.

Menurut ekonomi islam sumber daya tidak terbatas, Allah menciptakan alam semesta bagi manusia tidak akan habis-habis, karena dialam semesta ada potensi kekayaan yang sepenuhnya belum tergali oleh manusia. oleh karena itu, manusia dituntut untuk menggali kekayaan alam yang tidak ada batasannya, sehingga timbul kreativitas dalam menemukan hal-hal baru guna memenuhi kebutuhan. Manusia dituntut untuk bekerjakeras guna memanfaatkan nikmat Allah, karena yakin apa yang diciptakan di alam semesta ini tidak mungkin sia-sia dan habis dipergunakan manusia.

Ekonomi Islam juga merupakan ilmu yang dihasilkan dari sebuah upaya manusia untuk keluar dari persoalan ekonomi dengan cara yang sistematis, sehingga menumbuhkan keyakinan akan kebenaran al-Qur’an dan al-Hadist. Manusia membutuhkan kaidah yang berlaku secara umum dan mensapat pengakuan secara umum untuk membuktikan ekonomi islam juga sebagai ilmu pengetahuan. Maka ekonomi islam bisa dipraktekkan dalam tata kehidupan yang dikehendaki menurut aturan ekonomi islam dan pelaksanaannya pun dapat dipaksakan karena alasan ke-maslahatan manusia, misalnya memaksa membayar zakat bagi yang telah memenuhi nisab.

Perbedaan ekonomi islam dan ekonomi konvensional tidak pada sisi teknis penggunaan metodologinya tetapi lebih menekankan pada perbedaan dasar dari cara berpikir tentang masalah manusia. Oleh karena itu, Bagir Sadr menyatakan bahwa perbedaan ekonomi islam dengan ekonomi konvensional terletak filosofinya bukan sainsnya.

C. Definisi Menurut Ekonom Muslim

Muhammad Abdul Mannan mendifinisikan ekonomi Islam sebagai upaya untuk mengoptimalkan nilai islam dalam kehidupan ekonomi masyarakat. Mannan mengaatakan:

Ekonomi Islam merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari maslahah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.

Definisi Mannan hampir semakna dengan apa yang didefinisikan oleh M. M Metwally. Metwally menekankan pada usaha dalam mempelajari masalah masarakatIslam dalam memenuhi kebutuhannya.12

Sedangkan menurut Hassanuzzaman : Ilmu ekonomi islam adalah pengetahuan dan aplikasi dari anjuran dan aturan syariah yang mencegah ketidakadilan dalam memperoleh sumber daya material sehingga tercipta kepuasan.13

Khursid Ahmad menyatakan bahwa Ekonomi islam adalah suatu usaha sistematis untuk memahami masalah ekonomi dan perilaku manusia dalam hubungannya kepada persoalan tersebut dalam perspektif Islam.14

Sedangkan Nejatullah Siddiq mengatakan Bahwa Ekonomi Islam adalah jawaban dari pemikir muslim terhadap tantangan-tantangan ekonomi pada jamannya. Dalam upaya ini mereka dibantu oleh al-Qur’an dan as-Sunnah, akal dan pengalaman.15

Menurut Arkham Khan, Ilmu Ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan studi terhadap kesejahteraan (falah) manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan sumber-sumber daya dibumi berdasarkan kerjasama dan partisipasi.16

D. Tujuan Hidup

Pada dasarnya setiap manusia selalu menginginkan kehidupan didunia ini dengan kebahagiaan, baik secara materil maupun secara spiritual, individu maupun sosial. Namun, dalam praktiknya kebahagiaan multidimensi ini sangat sulit untuk diraih karena keterbatassan kemampuan manusia dalam memahami dan menerjemamhkan keinginannya secara komprehennsif, keterbatasan daalam menyeimbangkan antar aspek kehidupan. Maupun keterbatasan sumber daya yang digunakan untuk meraih tujuan tersebut. Masalah ekonomi hanyalah merupakan satu bagian dari aspek kehidupan yang diharapka akan membawa manusia kepada tujuan hidupnya. Oleh karena itu ada tiga hal pokok yang diperlukan utuk memahami bagaimana mencapai tujuan hidup.

1. Falah sebagai tujuan hidup

Falah berasal dari bahasa Arab dari kata kerja aflaha-yuflihu yaitu berarti kesuksesan, kemuliaaan dan kemenangan. Dalam pengertian literal, Falah adalah kemuliaan dan kemenangan, yaitu kemuliaan dalam hidup.Isltilah falah menurut islam dari kata-kataAl Quran, yang sering dimaknai sebagai keberuntungan  jangka panjang, dunia dan akhirat, sehingga tidak hanya memandang aspek materil namun justru lebih ditekankan kepada aspek spiritual.

Untuk kehidupan dunia, falah mencankup tiga pengertian, yaitu kelangsungan hidup, kebebasan berkeiginan,  serta kekuatan dan kehormatan. Sedangkan untuk kehidupa akhirat, falah mencakup pengertian kelangsingan hidup yang abadi, kesejahteraan abadi,kemuliaan abadi, dna pengetahuan abadi (bebasa dari segala kebodohan).

2. Maslahah sebagai Tujuan Antara untuk Mencapai Falah

Tercukupinya kebutuhan masyarakat aka memberikan dampak yang disebut dengan Maslahah. Maslahah adalah segala bentuk keadaan, baik materil maupun non materil, yaitu mampu meningkatkan kedudukan manusia sebagai mahluk yang paling mulia. Menurut as-Shatibi, maslahah dasar bagi kehidupan manusia terdiri dari lima hal, yaitu agama (dien), jiwa (nafs), intelektual (aql) keluarga dan keturunan (nasl), dan material (wealth). Kelima hal tersebut merupakan kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan dasar yang mutlak harus dipenuhi agar manusia dapat hidup bahagia didunia dan diakhirat. Jika salah satu dari kebutuhan diatas tidak terpenuhi atau terpenuhi dengan tidak seimbang niscaya kebahgiaan hidup juga tidak dapat tercapai dengan sempurna.

3. Permasalahan dalam Mencapai Falah

Dalam upaya untuk mencapai falah manusia menghadapi banyak permasalahan. Permasalahan ini sangat kompleks dan sering kali terkait antara satu faktor dengan faktor yang lainya. Adanya berbagai keterbatasan, kekurangan, dan kelemahan yang ada pada diri manusia serta kemungkinan adanya interdependesi berbagia aspek kehidupan sering kali menjadi permasalahan besar dalam mewujudkan falah. Permasalahan lain adalah kekurangan sumber daya (Resources) yang tersedia dibandingkan dengan kebutuhan atau keinginan manusia dalam rangka mencapai falah. Kekurangan sumber daya inilah sering disebut oleh para ekonom dengan sebutan “kelangkaan”.

Kelangkaan ini sebenarnya adalah “kelangkaan relatif” yaitu kelangkaan sumber daya yang terjadi dalam jangka waktu yang pendek atau dalam area tertentu saja. Kelangkaan relatif terjadi disebabkan oleh tiga hal pokok yaitu:

a. Ketidakmerataan Distribusi Sumber Daya

Distribusi sumber daya yang tidak merata antarindividu atau wilayah merupakan salah satu penyebab kelangkaan relatif. Sumber daya ini yang meliputi sumber daya alam maupun manusia. Terdapat suatu daerah yang kaya akan sumber daya alamnya, kaya akan tenaga kerjanya, tetapi juga terdapat pula daerah daerah yang miskin sumber daya alamnya. Dalam jangka pendek,  keberagaman ini seolah menimbulkan problem kelangkaan relatif, namun dalam jangka panjang dimungkinkan manusia untuk belajar dan melakukan inovasi agar kebutuhanya terpenuhi. Sebagai misal kelangkaan bahan bakar minyak telah melahirkan energi biogas dan energi listrik di berbagai negara. Disinilah manusia diuju untuk mengelola sumber daya yang telah dipercyakan secara benar.

b. Keterbatasan Mausia

Manusia tercipta sebagai mahluk yang paling sempurna diantara mahluk mahluk yang lainya, dengan dibekali nafsu, naluri, akal dan hati. Namun begitu manusia juga memliki keterbatasan sumber daya, yaitu keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai manusi yang menyebabkan hanya mampu mengelola sebagian kecil kekayaan alam atau mengelolanya secara tidak maksimal sehingga tidak cukup memberikan kesejahteraan. Naluri manusia yang tidak pernah merasa puas menyebabkan ia rakus uang yang dapat menghabiskan sumber daya untuk kebutuhan jangka pendek atau menghalangi orang lain untuk memanfaatkan sumber daya tersebut. Hal inilah yang menyebabkan makin habisnya sumber daya.

c. Konflik antartujuan hidup

Dimugkinkanya terjadi konflik antartujuan hidup seseorang, misalnya jangka pendel (kebhagiaan duniawi) dengan jangka panjang (kebahgiaan dunia-akhirat) atau benturan antar individu.

Peran ilmu ekonomi sesungguhnya adalah mengatasi masalah “kelangkaan elatif” ini sehingga dapat dicapai dengan falah, yang diukur dengan maslahah. Oleh karena itu ilmu ekonomi islam mencakup tiga aspek dasar, yaitu sebagai berikut:

1) Konsumsi, yaitu komoditas apa yang dibutuhkan untu mewujudkan maslahah. Pada intinya masyarakan harus memutuskan komoditas apa yang diperlukan untuk mencapai maslahah, maka dari itu imu ekonomi berkewajiban untuk memilih pemanfaatan sumber daya untuk berbagai komoditas yang benar benar dibutuhka untuk mencapai falah.

2) Produksi, yaitu bagaimana komoditas yang dibutuhkan itu dihasilkan agar maslahah tercapai. Masyarakat harus memutuskan siapakah yang memproduksi, bagaimana teknologi produksi ayng digunakan dan bagaimana cara mengelola sumber daya alam agr maslahah dapat terwujud.

3) Distribusi, yaitu bagaimana sumber daya dan kooditas didistribusikan i masyarakat agar setiap individu dapat mempercayai maslahah. Dalam hal ini masyarakat harus memutuskan siapakah yang harus menerima barang dan jasa ini.

a.jpg


Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

E. Karakteristik Ekonomi Islam

Ada beberapa hal yang mendorong perlunya mempelajari karakteristik ekonomi Islam (Yafie, 2003: 27):

Meluruskan kekeliruan pandangan yang menilai ekonomi kapitalis (memberikan penghargaan terhadap prinsip hak milik) dan sosialis (memberikan penghargaan terhadap persamaan dan keadilan) tidak bertentangan dengan metode ekonomi Islam.Membantu para ekonom muslim yang telah berkecimpung dalam teori ekonomi konvensional dalam memahami ekonomi Islam.

Membantu para peminat studi fikih muamalah dalam melakukan studi perbandingan antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional.

Sedangkan sumber karakteristik ekonomi Islam adalah Islam itu senddiri yang meliputi tiga asas pokok. Ketiganya secara asasi dan bersama mengatur teori ekonomi dalam Islam, yaitu asas akidah, akhlak, dan anas hukum (muamalah). Ada beberapa karakteristik ekonomi Islam sebagaimana disebutkan dalam al-mawsu’ah al-ilmiyah wa al-amaliyah al-islamiyah yang dapat diringkas sebagai berikut:

1. Harta kepunyaan Allah dan manusia khalifah harta, karakteristik pertama ini terdiri dari dua bagian, yaitu:

a. Semua harta, baik benda maupun alat produksi adalah milik (kepunyaan Allah), Firman Allah (QS: al-Baqarah/2: 284):

“Kepunyaan Allahlah segala apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa  siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu”.

b. Manusia adalah khalifah atas harta miliknya, diantara ayat yang menjelaskan fungsi manusia senagai khalifah Allah atas harta adalah Firman Allah dalam QS. al-Hadid/57: 7:

“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya [1454]. Maka orang-orang yang beriman di antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang besar”. 

[1454] yang dimaksud dengan menguasai di sini ialah penguasaan yang bukan secara mutlak. Hak milik pada hakikatnya adalah pada Allah. Manusia menafkahkan hartanya itu haruslah menurut hukum-hukum yang telah disyariatkan Allah. Karena itu tidaklah boleh kikir dan boros.

Dari hal ini dapat disimpulkan bahwa semua harta yang ada di tangan manusia pada hakikatnya kepunyaan Allah, karena Dialah yang menciptakannya.  Akan tetapi, Allah memberikan hak kepada kamu (manusia) untuk memanfaatkannya.

2. Ekonomi terikat dengan akidah, syariah (hukum) dan moral

Hubungan ekonomi Islam dengan akidah Islam tampak jelas dalam banyak hal, seperti pandangan Islam terhadap alam semesta yang ditundukkan (disediakan) untuk kepentingan manusia. Hubungan ekonomi Islam dengan akidah dan syariah tersebut memungkinkan aktivitas ekonomi dalam Islam menjadi ibadah. Sedangkan diantara bukti hubungan ekonomi dan moral dalam Islam (Yafie, 2003: 41-42) adalah: 

a. Larangan terhadap pemilik dalam penggunaan hartanya yang dapat menimbulkan kerugian atas harta orang lain atau kepentingan masyarakat. Nabi Muhammad SAW. bersabda: Tidak boleh merugikan diri sendiri dan juga orang lain. (HR. Ahmad).

b. Larangan melakukan penipuan dalam transaksi. Nabi Muhammad SAW bersabda: orang-orang yang menipu kita bukan termasuk golongan kita.

c. Larangan menimbun (menyimpan) emas dan perak atau sarana-sarana moneter lainnya, sehingga mencegah peredaran uang, karena uang sangat diperlukan buat mewujudkan kemakmuran perekonomian dalam masyarakat. Menimbun (menyimpan) uang berarti menghambat fungsinya dalam memperluas lapangan produksi dan penyiapan lapangan kerja buat para buruh.

d. Larangan melakukan pemborosan, karena akan menghancurkan individu dalam masyarakat

3. Keseimbangan antara keruhanian dan kebendaan

Beberapa ahli Barat menyatakan bahwa Islam sebagai agama yang menjaga diri, tetapi toleran (membuka diri). Selain itu, para ahli tersebut menyatakan Islam adalah agama yang memiliki unsur keagamaan (mementingkan segi akhirat) dan sekularitas (segi dunia).

4. Keadilan dan keseimbangan dalam melindungi kepentingan individu dan masyarakat 

Arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi mempunyai batasan-batasan tertentu, termasuk dalam bidang hak milik. Hanya keadilan yang dapat melindungi keseimbangan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan individu dan umum.

5. Bimbingan konsumsi

Dalam hal bimbingan konsumsi Allah berfirman dalam QS. al-A’raf/7: 31:

“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan jangan berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.

6. Petunjuk investasi

Tentang kriteria atau standar dalam menilai proyek investasi, al-mawsu’ah al-ilmiyah wa al-amaliyah al-islamiyah memandang ada 5 kriteria yang sesuai dengan Islam untuk dijadikan pedoman dalam menilai proyek investasi, yaitu:

a. Proyek yang baik menurut Islam.

b. Memberikan rezeki seluas mungkin kepada anggota masyarakat.

c. Memberantas kekafiran, memperbaiki pendapatan, dan kekayaan.

d. Memelihara dan menumbuh kembangkan harta.

e. Melindungi kepentingan anggota masyarakat.

7. Zakat

Zakat adalah salah satu karakteristik ekonomi Islam mengenai harta yang tidak dimiliki dalam bentuk perekonomian lain, karena sistem perekonomian diluar Islam tidak mengenal tuntutan Allah kepada pemilik harta agar menyisihkan sebagian harta tertentu sebagai pembersih jiwa dari sifat kikir, dengki dan dendam.

8. Larangan riba 

Islam menekankan pentingnya memfungsikan uang pada bidangnya yang normal, yaitu fasilitas transaksi dan alat penilaian barang. Di antara faktor yang menyelewengkan uang dari bidnagnya yang normal adalah bunga (riba).

F. Konsep Riba, Maysir, dan Gharar

1. Pengertian Riba

Riba menurut bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-nuwum), dan membesar (al-uluw). Dengan kata lain, riba adalah penambahan, perkembangan, peningkatan, dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau berpisah dari sebagai modalnya selama periode wakktu tertentu.

Menurut Sayyid Sabiq dalam kitab Fikih Sunnah, yang dimaksud riba adalah tambahan atas modal baik penambahan tu sedikit atau banya. Begitu juga menurut Ibn Hajar `Askalani, riba adalah kelebihan, baik dalam bentuk barang maupun uang.

Sedangkan dalam UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah disebutkan bahwa:

“riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah)”.

Muhammad Syafi’i Antonio dalam bukunya Bank Syariah mengatakan bahwa: 

“riba adalah tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam Islam”.

Secara umum, ekonom muslim menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan yang harus dibayarkan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam yang bertentangan dengan prinsip syari`ah.

Jenis-Jenis Riba

Berdasarkan ayat suci Al-Quran dan hadits Nabi Muhammad SAW, kita bisa mengkategorikan riba, berdasarkan cara terjadinya, menjadi dua jenis yaitu riba akibat jual-beli dan riba akibat utang-piutang.

Riba akibat jual beli dapat kita bagi menjadi dua bagian yaitu:

1. Riba fadl, disebut juga riba buyu’ yaitu riba yang terjadi akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadin bi yadin). 

2. Riba nasi’ah, disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat utang piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama risiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Nasi’ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan antara barang yang diserahkan hari ini dan barang yang diserahkan kemudian. 

Riba akibat utang-piutang dibagi menjadi dua jenis yaitu: 

1. Riba qardh yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang. 

Riba qardh ini adalah jenis riba yang terjadi pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari, dimana atas utang yang dimiliki si peminjam, diharuskan membayar sejumlah  tertentu yang disebut bunga sebagai balas jasa atas uang yang dipinjamnya.

2. Riba jahiliyyah. Menurut buku pintar ekonomi syariah, ada dua pengertian riba jahilliyyah, yang pertama adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Pengertian yang kedua adalah utang yang dibayar melebihi dari pokok pinjaman karena si peminjam tidak mampu mengembalikan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Riba jahiliyyah dilarang karena pelanggaran kaedah kullu qardin jarra manfaah fahuwa riba (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahannya, riba jahiliyyah tergolong riba nasi’ah, dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong riba fadl.

Contoh riba jahiliyyah pada perbankan konvensional dapat dilihat dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh pada saat jatuh tempo penagihannya.

2. Pengertian Maysir

Kata maysir dalam arti harfiahnya adalah memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa bekerja. Oleh karena itu disebut berjudi. Prinsip berjudi itu adalah terlarang, baik itu terlibat secara mendalam maupun hanya berperan sedikit saja atau tidak berperan sama sekali. Dalam berjudi kita menggantungkan keuntungan hanya pada keberuntungan semata, bahkan sebagian orang yang terlibat melakukan kecurangan, kita mendapatkan apa yang semestinya kita tidak dapatkan, atau menghilangkan suatu kesempatan. Kata azlam dalam bahasa arab yang di gunakan dalam Al Qur’an juga berarti praktek perjudian. Sementara itu maysir, menggunakan segala bentuk harta dengan maksud untuk memperoleh suatu keuntungan misalnya , lotre, bertaruh, atau berjudi dan sebagainya. Judi pada umumnya dan penjualan undian khususnya (azlam) dan segala bentuk taruhan, undian atau lotre yang berdasarkan pada bentuk-bentuk perjudian adalah haram dalam Islam.

Dalam peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 dalam penjelasan  pasal 2 ayat 3 menjelaskan bahwa  maysir  adalah  transaksi  yang mengandung perjudian, untung-untungan  atau spekulatif  yang tinggi.

3. Pengertian Gharar

Menurut bahasa Arab, makna al-gharar adalah al-khathr (pertaruhan) sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan al-gharar adalah yang tidak jelas hasilnya (majhul al-’aqibah). Sedangkan menurut Syaikh As-Sa’di, al-gharar adalah al-mukhatharah (pertaruhan) dan al-jahalah (ketidakjelasan). Perihal ini masuk dalam kategori perjudian. Dari penjelasan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa yang dimaksud jual beli gharar adalah, semua jual beli yang mengandung ketidakjelasan; pertaruhan, atau perjudian.

Dalam syari’at Islam, jual beli gharar ini terlarang dengan dasar sabda Rasulullah SAW dalam hadits Abu Hurairah yang berbunyi:

“Rasulullah SAW melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar.”

Dalam sistem jual beli gharar ini terdapat unsur memakan harta orang lain dengan cara batil padahal Allah melarang memakan harta orang lain dengan cara batil sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:

“Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui” (QS. Al-Baqarah 2: 188).

Sedangkan jula-beli gharar, menurut keterangan Syaikh As-Sa’di, termasuk dalam katagori perjudian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sendiri menyatakan, semua jual beli gharar, seperti menjual burung di udara, onta dan budak yang kabur, buah-buahan sebelum tampak buahnya, dan jual beli al-hashah, seluruhnya termasuk perjudian yang diharamkan Allah di dalam Al-Qur’an.

Baca Juga: Urgensi Maqasid al-Shariah dalam Keuangan Islam

G. Metodologi Ekonomi Islam

Metodologi Ekonomi Islam diperlukan untuk menjawab pertanyaan bagaimana dan apakah syarat suatu perilaku atau perekonomian dikatakan benar menurut Islam. Dan tujuan utama dari metodologi adalah membantu mencari kebenaran. Islam meyakini bahwa terdapat dua sumber kebenaran mutlak yang berlaku untuk setiap aspek kehidupan pada setiap ruang dan waktu, yaitu Alquran dan Sunnah. 

1.    Konsep Rasionalitas Islam 

Terminologi rasionalitas merupakan terminologi yang sangat longgar. Argumen apapun yang dibangun, selama hal tersebut memenuhi kaidah-kaidah logika yang ada, dan oleh karenanya dapat diterima akal, maka hal ini dapat dianggap sebagai bagian dari ekspresi rasionalitas. Oleh karena itu, terminologi rasionalitas dibangun atas dasar kaidah-kaidah yang diterima secara universal dan tidak perlu dilakukan pengujian untuk membuktikan kebenarannya, yang disebut sebagai aksioma. Aksioma-aksioma ini akan diposisikan sebagai acuan dalam pengujian rasinalitas dalam suatu argumen atau perilaku. 

Rasionalitas Islam secara umum dibangun atas dasar aksioma-aksioma yang diderivasikan dari agama Islam. Meskipun demikian, beberapa aksioma ini merupakan kaidah yang berlaku umum dan universalitas agama Islam. Secara garis besar sebagai berikut.

a. Setiap pelaku ekonomi bertujuan untuk mendapatkan mashlahah

Berkait dengan perilaku mencari mashlahah ini, seseorang akan selalu:

1) Mashlahah yang lebih besar lebih disukai daripada yang lebih sedikit.

2) Mashlahah diupayakan terus meningkat sepanjang waktu (atau setidaknya menetap).

b. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha utnuk tidak melakukan kemubadziran (non-wasting)

Perilaku mencegah wasting ini diinginkan oleh setiap pelaku karena dengan terjadinya kemubadziran berarti telah terjadi pengurangan dari sumber daya yang dimiliki tanpa kompensasi berupa hasil yang sebanding. 

c. Setiap pelaku ekonomi selalu berusaha untuk meminimumkan risiko (risk aversion) 

Risiko adalah sesuatu yang tidak menyenangkan dan oleh karenanya menyebabkan menurunkan mashlahah yang diterima. Untuk itu dalam pembahasan aksioma ini, risiko dibedakan menjadi: 

1) Risiko yang bernilai (Worthed Risk)

Risiko ini mengandung dua elemen yaitu risiko (risk) dan hasil (return). Suatu risiko tidak dianggap worthed jika dan hanya risiko yang dihadapinya nilainya lebih kecil daripada hasil.

2) Risiko yang tak bernilai (Unworthed Risk) 

Terdapat pula risiko-risiko yang unworthed, yaitu ketika nilai hasil yang diharapkan lebih kecil dari risiko yang ditanggung ataupun ketika risiko dan hasil tersebut tidak dapat diantisipasi dan dikalkulasi. Hanya jenis risiko inilah yang setiap pelaku berusaha untuk menghindarinya. 

d.    Setiap pelaku ekonomi dihadapkan pada situasi ketidak pastian

Ketidakpastian dapat menurunkan mashlahah yang diterima. Secara spesifik, situasi ketidakpastian akan dapat menimbulkan risiko. Maka, situasi ini juga dianggap sebagai situasi yang dapat menurunkan nilai mashlahah.

e.    Setiap pelaku berusaha melengkapi informasi dalam upaya meminimumkan risiko 

Terdapat juga aksioma yang diyakini dalam Islam, antara lain:

a.    Adanya kehidupan setelah mati

b.    Kehidupan akhirat merupakan akhir pembalasan atas kehidupan di dunia

c.    Sumber informasi yang sempurna hanyalah Alquran dan Sunnah

 Para pelaku ekonomi berperilaku seperti di atas, selanjutnya disebut rasional Islami, yang akan memaknai mashlahah dan mengupayakannya dengan petunjuk yang diberikan oleh Alquran dan Sunnah. Lima mashlahah mendasar yang diperlukan oleh manusia, yaitu mashlahah fisik, mashlahah intelektual, mashlahah antargenerasi dan waktu, mashlahah agama, dan mashlahah materi/kekayaan. Tiap pelaku ekonomi Islami akan berusaha untuk meningkatkan kelima mashlahah tersebut. 

2. Etika dan Rasionalitas Ekonomi Islam

Ekonomi Islam mempelajari perilaku ekonomi pelaku ekonomi yang rasional Islami. Oleh karena itu, standar moral suatu perilaku ekonomi didasarkan pada ajaran Islam dan bukan semata-mata didasarkan atas nilai-nilai yang dibangun oleh kesepakatan sosial. Moralitas Islam diposisikan sebagai pilar atau patokan dalam menyusun ekonomi Islam.

3.    Syariah, Fiqih, dan Ekonomi Islam

Fungsi syariah Islam yang kedua adalah memberikan kontrol terhadap perilaku manusia agar manusia selamat dari menjauhkan falah. Syariah lebih dikenal sebagai fiqh yang berisikan kaidah yang menjadi tolak ukur yang dipergunakan untuk menilai tingkah laku manusia. Fiqh digunakan sebagai satu-satunya pedoman yang digunakan untuk menilai tindakan benar atau salah.

Dalam memahami syariah dan menetapkannya dalam bentuk fiqh diperlukan proses pemikiran dan reinterpretasi terhadap sumber-sumber hukum Islam, yang disebut Ijtihad. Prinsip-prinsip umum yang harus dipegang dalam hukum Islam telah banyak dianalisis oleh para ahli hukum Islam dan telah ditemukan pula al-qawa’id al-fiqhiyyah yang digali dari Alquran dan Sunnah. 

4.    Kerangka Metodologis Ekonomi Islam

a.    Kebenaran dan Kebaikan

Pertanyaan yang selalu menyertai suatu teori adalah seberapa jauh teori tersebut benar yaitu mampu mengungkapkan kenyataan yang hidup di dunia nyata. Hal yang sama adalah jika suatu teori melakukan spekulasu ataupun prediksi mengenai sesuatu hal yang menjadi fokus areanya, maka hasil prediksi tersebut akan di “uji” keandalannya. 

b.    Metodologi Ilmu Alam versus Metodologi Ilmu Sosial

Metodologi ilmu pengetahuan seperti yang digambarkan sebelumnya, lebih cocok untuk ilmu alam karena karakter dari subjek ilmu bersifat pasti. Subjek tidak mempunyai pilihan lain kecuali berperilaku sebagaimana yang ditentukan oleh aturan-aturan yang ada pada hukum Allah yang juga merupakan perintah Allah.

Hal yang disampaikan di atas juga dapat terjadi pada proses munculnya ilmu pengetahuan yang selama ini dianggap benar oleh manusia. 

c.    Objek Ekonomi Islam 

sesuai dengan prinsip yang dikembangkan pada gambar A, sebagaimana diresepkan oleh Islam dapat diobservasi betapapun sedikit jumlahnya, tetap diyakini sebagai suatu kebenaran sekaligus ilmu. Ekonomi Islam merupakan manifestasi ajaran Islam dalam perilaku ekonomi, baik mulai penentuan tujuan kegiatan ekonomi, analisis, dan respons terhadap fenomena sosial.

 

Referensi

Baqir Sadr (1979), Iqtisadunna, Bairut Darut Ta arufi dalam adiwaman A Karim (2001), Islamic Microeconomic, Muamalat Institut, Jakarta.

Huda, Nurul. et al. Ekonomi Makro Islam : Pendekatan Teoretis. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Rahardja, Dawan. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi, Lembaga Studi Agam dan Filsafat, Jakarta. 1999.

Samuelson, Paul. And Nordhau, William. Economic, Irwin McGraw-Hill, New York, 2001.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar. 2002.

Sudarsono  Heri. Bank dan Lembaga Keuangan Syari`ah (Deskripsi dan Ilustrasi), Edisi 3. EKONISIA: Yogyakarta. 2005.

P3EI UII dan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).

http://kangmasgalihpermadi.blogspot.com/2011/10/normal-0-false-false-false-en-us-x-none.html

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

Comments

Popular Posts