KONDISI NUSANTARA SEBELUM ISLAM

 


Oleh: Krisnanda

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Islam  merupakan salah satu agama terbesar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pembawa ajaran ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke

seluruh dunia.

            Indonesia adalah Negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam di Indonesia merupakan mayoritas terbesar ummat Muslim di dunia. Ada sekitar 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari total 234.693.997 jiwa penduduk. Walau Islam menjadi mayoritas, namun Indonesia bukanlah negara yang berasaskan Islam.[1]

            Sebelum Islam datang masyarakat di Indonesia sudah mempunyai agama seperti Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal lain. Di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak, Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur (dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok; Naurus di Pulau Seram di Provinsi Maluku, dll. Didalam Negara Republik Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran animisme, penyembah berhala atau hanya sebagai aliran kepercayaan.[2]

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

            Akan tetapi Islam yang datang sesudah agama dan kepercayaan tersebut bisa diterima oleh masyarakat. Banyak masyarakat yang awal mula beragama Hindu - Budha berbalik memeluk agama Islam yang datangnya kemudian. Bahkan Islam dapat tersebar luas dengan lebih cepat.

1.2  Rumusan Masalah

a.     Apa kepercayaan yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu – Budha?

b.     Darimana asal agama Hindu dan apa perbedaan Hindu di India dengan di Nusantara?

c.  Bagaimana proses masuknya Hindu - Buhda ke Nusantara dan apa perubahan yang terjadi setelah kedatangan Hindu – Budha di Nusantara?

1.3  Tujuan

a.     Mengetahui apa kepercayaan yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu – Budha.

b.     Mengetahui asal agama Hindu dan apa perbedaan Hindu di India dengan di Nusantara.

c.     Mengetahui proses masuknya Hindu – Budha ke Nusantara dan apa perubahan yang terjadi.

PEMBAHASAN

2.1. Pra Hindu - Budha

            Religi atau kepercayaan merupakan bagian kebudayaan yang sukar berubah. Koentjaraningrat dengan mengutip konsep R. Linton menyatakan bahwa bagian kebudayaan yang sulit berubah adalah inti suatu kebudayaan (covert Culture), antara lain keyakinan – keyakinan keagamaan yang dianggap keramat dan sistem nilai budaya. Adapun bagian dari kebudayaan yang lebih mudah berubah adalah perwujudan lahiriah (overt culture) seperti peralatan.[3]

            Secara hipotesis dapat dikatakan bahwa tidak mungkin suatu sistem religi dari sekelompok masyarakat tertentu dapat musnah, karena religi adalah inti dari kebudayaan (covert culture) masyarakat. Itulah sebabnya mengap religi yang dianut pada masa prasejarah masih banyak yang bertahan hingga sekarang, khususnya pada masyarakat tradisional yang tinggal di daerah pedalaman.[4]

Isme yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budah adalah:

1.     Animisme, ialah suatu paham; setiap benda mempunyai animus atau jiwa yang diyakini mempunyai pengaruh bagi manusia, seperti macam azimat, tongkat, dan sebagainya. Orang mentawai yang tinggal di gunung Sabirut masih mempercayai paham ini. Di Jawa, masih ada yang meyakini bahwa banyak roh yang tidak terpelihara menjadi terpelihara menjadi jahat, seperti gendruwo, keblak, tuyul, peri, dan jin.[5]

2.     Dynamisme, ialah kepercayaan; setiap benda mempunyai kekuatan seperti gunung, bebatuan, dan sebagainya. Di Dayak misalnya, dikenal adat memotong kepala (mengajau, dan di Toraja, para wanita menanam padi dengan rambut terurai, karena kekuatan yang terletak di dalam rambut. Di keraton Yogyakarta dan Solo. Prang tjebol, buta (buto), bule yang dianggap sakti, didekatkan kepada raja untuk menambah kesaktian.[6]

3.     Veteisme, yaitu suatu paham yang berkeyakinan bahwa setiap benda mempunyai makna (kekuatan ghaib). Menurut paham ini, benda merupakan timbunan makna. Benda itu antara lain pusaka, jimat, dan mascot seperti boneka kecil dalam mobil.[7]

4.     Shammanisme; suatu paham yang berkeyakinan, roh dapat menjelama pada seseorang. Biasanya roh diundang kedalam tubuh seseorang dengan jalan menari hingga mabuk. Saat merasuki orang yang mabuk, roh dapat menceritakan berbagai macam informasi ghaib yang diperlukan masyarakatnya. Di Sumatera, mereka dikenal dengan pawang, di Jawa dalang, dan jatilan. Pada umumnya, masyarakat yang masih meyakini isme – isme itu merupakan masyarakat primitif. Meskipun susunan masyarakat primitif banyak ragamnya, tetapi ada persamaan yang dapat didekati yaitu:[8]

1.     Rasa persatuan yang besar.

2.     Perasaan bersatu di antara mereka menimbulkan solidaritas yang besar.

a.  Kemerdekaan individu sangat tipis, setiap setiap orang terikat erat dengan aturan bersama.

b.   Pelanggaran terhadap aturan bersama oleh seorang anggota menyebabkan bahaya bagi seluruh masyarakat.

c.  Di dalam kehidupan ekonomi didapati persamaan kepentingan pada usaha. Yang penting adalah bekerja sama di antara sesama anggota, kekuatan individu diabaikan.

d.  Setiap orang tunduk kepada pemimpin. Setiap usaha tanpa restu pemimpin tidak berhasil.

Ketika terjadi perpindahan bangsa – bangsa di Asia, terjadi pula arus imigrasi budaya yang ikut mengisi budaya Indonesia, teruutama budaya Hindu dan Budha.  Budaya yang dibawa agama Hindu terdiri dari ajaran, institusi ata pranata, institut atau kelembagaan, dan ritual. Begitu juga budaya yang dibawa oleh agama Budha, terdiri dari unsur yang sama seperti Hindu. Monumen peninggalan Hindu dan Budha, dapat dibedakan dari bentuknya. Candi yang berbentuk lingga; Candi Prambanan, merupakan peninggalan Hindu, sedangkan monumen yang berbentuk hamparan kain, bangunan separuh kubah, dang langkat, seperti Borobudur, merupakan peninggalan Budha.[9]

Di Indonesia, agama yang datang dari India seperti; Hindu-Budha, banyak berpengaruh, sedangkan dari China dan Jepang, seperti Kong Hu Cu, Lao Tse, dan Sintho, tidak. Padahal, perdagangan dengan China boleh dikatakan sama ramainya dengan perdagangan dengan India. Tetapi dalam budaya yang lain, pengaruh China cukup besar, yaitu aneka obat – obatan dan makanan seperti Ta Ucho, Tahu, Tempe, Kecap, Bakwan, Bakmi, Bakso, dan sebagainya.[10]

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

2.2 Pada Masa Hindu - Budha

Awal munculnya kerajaan Hindu – Budha telah banyak dibahas oleh para ahli pada awal abad XX. Mereka telah menunjukkan bahwa munculnya kerajaan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan India. Sejak abad IV, beberapa kerajaan Hindu – Budha muncul di Indonesia diantara lain Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, Sriwijaya di Sumatra Selatan, Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan Bali.[11]

R.C Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum kesatria atau para prajurit India. Para prajurit India diduga mendirikan koloni – koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.[12]

N.J Krom lebih menekankan peranan para pedagang India dalam proses munculnya kerajaan Hindu – Budha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, yang dikenal dengan teori weisa. Para pedagang India dikatakan telah melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembankan kebudayaan India.[13]

Proses Indianisasi di indonesia menurut J.C van Leur disebabkan oleh peranan kaum brahmana. Para brahmana India telah diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan, seperti pelaksanaan vratyastoma, yakni upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agae mereka menjadi golongan kesatria.[14]

F.D.K. Bosch menyatakan bahwa proses indianisasi di Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat yaitu para administratur atau clerk. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses indianisasi adalah suatu “penyuburan” (fecundation) terhadap kebudayaan lokal.[15]

Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu –Budha tampaknya perlu dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini, sumbangan ahli arkeologi sangat penting untuk dapat mengidentifikasi kondisi sosial masyarakat Indonesia sebelum munculnya kerajaan Hindu – Budha di Indonesia.[16]

Sejarah dan Ajaran Agama Hindu

Agama Hindu adalah agama yang dianut oleh sebagian besar penduduk India. Agama ini dinamakan Hindu, karena di dalamnya mengandung adatistiadat, budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang Hindu. Agama ini juga dinamakan Agama Brahma, dari agama inilah diambil kata Brahmana yang merupakan gelar bagi pemuka agama yang dipercaya karena ketinggian ilmunya.[17]

Di India, agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma, yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para sarjana, agama tersebut terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya.

Sebelum kedatangan bangsa Arya di India telah lama hidup bangsabangsa Dravida yang telah mencapai suatu tingkat peradaban yang tinggi sebagaimana dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan terhadap wilayah Lembah Indus. Peradaban lembah ini dalam satu segi juga menunjukkan gambaran keagamaan yang ada pada waktu itu, yang tetap dapat dilacak dalam agama Hindu sekarang ini.[18]

Agama Hindu tidak hanya terdapat di India, tetapi juga telah masuk ke Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama di Jawa. Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang ada di sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami bahwa masuknya pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya ataupun Ksatria, tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci dan menentukan peribadatan. Ajaran tentang samsara, karma, yang tidak terlepas dari ajaran kasta yang dikaitkan dengan kelahiran seseorang memungkinkan dugaan bahwa agama Hindu bukan agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Namun yang sering menjadi persoalan adalah bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan kraton tersebut.

Dugaan kuat dalam hal ini ialah bahwa yang aktif adalah orang-orang Indonesia sendiri. Karena adanya hubungan dagang dengan orang-orang India, maka banyak rakyat yang juga hidup berdagang dan menjadi kaya. Hubungan raja dan rakyat juga baik sehingga para raja juga menghargai para Brahmana tersebut. Dalam lingkungan kehidupan beragama, para pedagang yang beragama Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh karena itu para Brahmana tersebut memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan kraton. Hal ini terbukti dengan penemuan prasasti di Kutai yang menunjukkan bahwa untuk keperluan sedekah raja memberikan beberapa ekor sapi kepada para Brahmana tersebut.[19]

Dari penemuan prasasti dapat diketahui bahwa perkembangan pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar kraton, sungguhpun ada juga, karena jarak yang jauh, berpusat di biara-biara dan pemakaman- pemakaman. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman (abad ke-5) menunjukkan bahwa korban sesajian oleh raja dilaksanakan dan diselenggarakan sesuai dengan ajaran kitab Manusmrti. Pemujaan ditujukan mungkin kepada Siwa dan mungkin kepada Wisnu. Di Jawa Barat, prasasti dari raja Purnawarman menunjukkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Wisnu; sementara prasasti di Jawa Tengah dari zaman raja-raja Sanjaya (723) memperlihatkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Siwa.

Tahun 928, pusat kraton yang ada di Jawa Timur (dinasti raja Sendok) lebih bercorak Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab sesudah zaman itu (yaitu sekitar abad ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang di antara isinya adalah tentang penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi, keteranganketerangan tentang kasta, asrama, yogi dan sebagainya. Juga terdapat uraian tentang kitab Weda dan penjelasan tentang Manu yang semuanya berupa mitos. Kitab Agastyaparwa (akhir abad 10 memuat dialog antara Agastya dan puteranya, Didhastu. Isi kitab tersebut adalah tentang kosmogoni, lahirnya para Brahmarsi, lahirnya Manu dan lahirnya Manwatara.

Aliran Tantra mencapai puncak perkembangannya pada zaman Singasari dan Majapahit Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa raja Kertanegara menekuni kitab Subhuti Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang erat hubungannya dengan upacara pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman dinobatkan dalam upacara Bhairawa karena ia adalah penganut sekte Siwa yang menekankan pada aliran Tantrayana. Menurut prasasti Surowaso (1375), ia dinobatkan menjadi Bhairawa di Ksetra dengan duduk di atas singgasana yang terdiri dari tumpukan mayat sambil tertawa terbahak-bahak dan minum darah. Sebagai korban dibakar mayat-mayat yang baunya dikatakan seperti harumnya berjutajuta bunga. Di Padang Lawas Sumatra, paham Tantrayana juga mengutamakan Bhairawa.[20]

Dalam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat keagamaan di kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut Paguron atau mandala atau kasturi. Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tantu Panggelaran, juga kitab Nawaruci yang juga disebut dengan kitab Tattwajnana. Kitab terakhir ini penting karena mistik yang terdapat di dalamnya sampai sekarang masih berlaku di kalangan tertentu. Dasar fikiran dan mistik itu sendiri juga terdapat dalam kitab-kitab Suluk yang sudah mendapat pengaruh dari Islam. Di Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat. Oleh karena itu, agama Hindu Jawa pun sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan agama asli Bali yang disebut agama Tirta dan kemudian disebut agama Hindu Dharma.

Agama asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap para dewa yang dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari HinduJawa disebut dengan Bhatara, yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (dewa api), Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara Yama (penguasa maut) dan Dhatari Durga (dewi maut atau kematian). Bhatara Siwa adalah dewa tertinggi yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya. Bahkan, semua dewa adalah penjelmaannya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting adalah Bhatara Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga.[21]

Karena arwah nenek moyang juga didewakan di Bali, maka di Bali lalu terdapat pengkultusan terhadap orang yang sudah mati. Ada dua macam pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Menurut kepercayaan Bali asli, mayat tersebut cukup ditempatkan di hutan-hutan atau di aliran sungai-sungai; dan menurut kepercayaan Hindu-Jawa, pemujaan terhadap orang mati dilakukan dengan cara membakar mayatnya terutama di kalangan bangsawan. Orang mati dipuja terutama karena ada anggapan bahwa dengan pemujaan tersebut arwahnya akan dapat segera sampai di tempat yang tenang dari mengganggu orang yang masih hidup. Jiwa orangyang masih hidup. Jiwa orang yang masih hidup dianggap terbelenggu oleh jasad sehingga menjadi kotor. Agar jiwa lepas dari belenggu tersebut makajiwa ban-is dis'udkan dengan cara-cara tertentu. Melalui kematian jiwa berpisah dari jasad, tetapi masih belum sempurna karena belum bebas sebebas-bebasnya dan masih harus mengalami kelahiran kembali. Jiwa macam ini disebut pirata, dan dapat mendatangkan petaka bagi keluarganya.

Sesudah penyucian karena kematian, maka penyucian tahap berikutnya adalah penyucian dengan mempergunakan api dan air yang dilakukan dengan membakar mayat dan abunya dibuang ke laut atau ke sungai-sungai agar noda- noda dan karat-karat yang mengotorinya menjadi bersih dan suci secara sempurna sehingga jiwa dapat menuju ke Indraloka. Di sini jiwa sudah berubah menjadi piara dan tidak lagi membahayakan keluarga. Sesudah penyudan ini, baru dilakukan upacara sraddha supaya jiwa dapat langsung berada di Siwaloka. Upacara mayat yang disebut Ngaben ini terdiri dari tertib upacara tertentu dan biasanya penyelenggaraannya memerlukan biaya yang relatif besar, serta berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kasta yang bersangkutan. Akan tetapi dewasa ini, biasanya karena alasan ekonomis dan sebagainya, penyelenggaraan upacara Ngaben sudah tidak begitu lengkap lagi.[22]

Dalam perkembangan selanjutnya, agama Hindu di Indonesia mengalami perkembangan sekaligus perubahan-perubahan yang sangat mendasar karena faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan perkembangan agama Islam. Penyempurnaan dan perubahan tersebut bukan hanya menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan tetapi juga dalam konsep keagamaannya.

Agama Tirta mulai berubah sudah sejak zaman pemerintah Belanda, di antaranya adalah usaha untuk mendapatkan tempat dalam Kementerian Agama Republik Indonesia. Usaha lain ialah usaha untuk menyempurnakan agama Tirta agar mendapatkan tempat yang pasti di tengah-tengah masyarakat Salah satu caranya ialah dengan menyusun kitab suci yang selama ini belum ada. Selain itu, juga dilakukan usaha untuk merumuskan kembali ajaran-ajaran keagamaan, juga dengan mendirikan lembaga-lembaga keagamaan, yang dirasa sudah sangat mendesak adanya, di tengah-tengah kemajuan masyarakat Beberapa tokoh muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan yang disebut Trimurti, yang bertujuan menembus pembaharuan di bidang keagamaan. Di Singaraja, Bali,. lahir organisasi Bali.

Dharma Laksana yang berusaha untuk menyusun kitab suci yang jelas. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh pemerintah yang dimaksudkan untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan sebagai perantara dengan pemerintah Jepang. Pada waktu itu agama disebut dengan Siwa Raditya atau agama Sanghyang Surya yang mengutamakan pemujaan terhadap matahari. Pada tahun 1950, badan tersebut berubah menjadi Majelis Hinduisme. Sejak tahun ini ada lagi organisasi-organisasi keagamaan yang muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti Agama Hindu Bali. Dari sinilah muncul ide pengakuan agar Hindu Bali sebagai agama resmi di Indonesia, yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958. Sejak saat itu minat untuk memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat Langkah pertamanya adalah pemurnian agama Hindu.[23]

Sesudah mendapatkaa pengakuan resmi, para pemimpin Hindu Bali membentuk muktamar Parisada Dharma Hindu Bali pada tahun 1959 yang kemudian menjadi Parisada Hindu Dharma pada tahun 1964. Usaha utama orgaanisasi tersebut ialah memajukan Hindu, Dharma dengan. Mendirikan pendidikan menengah yaitu Pendidikan Guru Agama Atas dan pendidikan tinggi yaitu Institut Hindu Dharma yang salah satu fakultasnya adalah Fakultas Agama. lai berarti telah terjadi suatu perubahan dan perkembangan yang sangat besar dalam agama Hindu. Kitab-kitab suci sekarang harus dipelajari oleh seluruh umat Hindu, dan pendidikan agama juga merupakan hak semua orang Hindu. Bahkan, dengan adanya mobilitas sosial yang cepat dewasa ini, agama Hindu juga mengalami perluasan yang.sangat berarti. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya usaha-usaha para cendikiawan. Hindu untuk menyesuaikan agama mereka dengan suasana Indonesia.

Diantara perubahan-perubahan tersebut ada yang menyangkut konsep ajaran agama. Menurut agama Hindu Bali Sang Hyang Widi adalah Tuhan yang Maha Esa. Dalam Kitab Weda disebutkan bahwa Brahma hanya satu, tidak ada duanya. Dalam Sutasoma dikatakan bahwa tuhan berbeda-beda telapi satu, tidak ada dharma yang dua. Dalam Upanishad juga diungkapkan bahwa Sang Hyang Widi adalah tidak berbentuk, tidak beranggauta badan, tidak berpanca-indera tetapi mengetahui segala yang ada dan yang terjadi pada semua makhluk. Sang Hyang Widi tidak pernah lahir, tidak pernah tua, tidak pernah berkurang dan juga tidak pernah bertambah. la disebut dengan banyak nama, dan yang terpenting adalah Tri-Sakti, yaitu Brahma (sebagai pencipta), Wisnu (sebagai pelindung dan pemelihara), dan Siwa (sebagai perusak untuk dikembalikan ke daur yang semestinya).[24]

Agama Hindu mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan Sang Hyang Widi dalam bentuk beberapa dewa yang banyak jumlahnya, akan tetapi mempunyai fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan kepentingan makhluk hidup ini. Sebagai Bhatara Brahma, ia memberikan pegangan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertindak. Dalam hal ini Brahma bertindak sebagai Sang Hyang Saraswati yang memberikan ilham kepada para maharesi [salah satu literatur menyebut seperti nabi dalam Islam?]. Hubungan antara San Hyang Saraswati dengan Brahman diungkapkan seperti hubungan antara api dengan panasnya. Saraswati dianggap sebagai dewi ilmu pengetahuan karena hanya dengan pengetahuan saja penciptaan-penciptaan baru itu timbul. la adalah sumber ilham, sumber gerak dan sumber ciptaan manusia.

Sebagai Bhatara Wisnu, Sang Hyang Widi menjadi pelindung dan pemelihara dunia

la mempunyai dua sakti, yaitu Dewi Sri (dewi kesuburan) dan Dewi Lakshmi (dewi kebahagiaan). Sebagai Bhatara Siwa, Sang Hyang Widi menguasai keadilan dan mewujudkan (jin sebapai Dewi Durga dan Dewi Uma (Parwati). Kepada orang yang berbuat dosa ia berlaku dan berujud Dewi Durga yang mengerikan dan kepada orang yang berbuat baik ia berlaku dan berujud Dewi Uma yang penuh cinta kasih; Mengenai agama dikatakan bahwa agama adalah jalan untuk sampai kepada moksa (kelepasan). Oleh sebab itu agama berisi petunjuk-petunjuk yang benar. Agama adalah jalan yang lengkap dengan petunjuk dan pedoman ke arah yang benar. Dalam ungkapan sering dikatakan bahwa agama adalah "perahu" untuk menyebarangkan manusia dan dunia yang tidak kekal menuju surga (moksa); jiwa (atman) adalah "bendega" tukang perahu' layar adalah pikiran manusia; angin adalah hawa nafsu; air laut adalah persoalan keduniaan, dan tujuannya adalah pulau harapan (surga).[25]

Tujuan agama adalah moksa artham jagadhitaya, ca iti Dharmah, yang berarti untuk mendapatkan moksa dan jagadhita, untuk kesejahteraan jasmani dan rohani. Jasmani penting karena jasmani adalah alat untuk mendapatkan dharma, artha, kama dan moksa. Moksa adalah lepas bebas dari segala ikatan dunia, lepas dari karma dan lepas dari samsara. Moksa dapat dicapai pada waktu manusia masih hidup di dunia atau dapat dicapai setelah ia mati. Jalan kelepasan dapat ditempuh oleh seseorang sesuai dengan kemampuannya. Ada empat macam jalan kelepasan, yaitu Jnanayoga (jalan pengetahuan), bhaktiyoga (jalan bakti dan taat kepada tuhan), karmayoga (jalan beramal dengan ikhlas), dan rajayoga (jalan semadi).[26]

Mengenai 'kitab suci, Weda adalah kitab suci agama Hindu yang mengutamakan pengetahuan suci tcntang Sang Hyang Widi dan perintahperintahnya. Ke dalam Weda tercakup kitab-kitab Upanishad, Wedapari krama. Bhagavadgita dan Sang Hyang Kamahayanikan. Kitab-kitab tersebut wajib dibaca dan dipelajari oleh segenap umat Hindu, tidak terbatas hanya pada kalangan pendeta saja. Karena itu lalu muncul pula beberapa kitab semacam Smriti, berupa Manu-Smriti dan Sarasamuccaya, kitab-kitab Parana, kitab-kitab Itihasa. dan Wiracarita. Terlepas dari kebenaran yang mereka percaya, pengertian kitab suci di Bali agaknya berbeda dengan di India, apalagi dengan agama Brahmana, yang sudah amat jauh perbedaannya.

Mengenai masalah kasta atau caturvarna, yang semula selalu dikaitkan dengan persoalan kelahiran, maka pada agama Hindu di Bali sudah memperoleh pengertian yang lain juga. Dikatakan, varna adalah sifat dan bakat kelahiran dalam mcngabdi masyarakat, yang mementingkan sumber gairah kerja, minat atau bakat, untuk berkarya. Kasta brahmana adalah golongan orang yang mengabdi pada masyarakat karena memiliki sumber gairah dan minat untuk menyejahterakan masyarakat, negara.dan rakyat dengan jalan mengabdikan dan mengamalkan ilmu pengetahuannya sehingga mampu memimpin masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, bernegara dan beragama. Ksatria adalah golongan orang yang mengabdi pada masyarakat karena mempunyai sumber gairah dan minat untuk memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat berdasarkan agamanya.

Waisya adalah orang yang mengabdi kepada masyarakat karena mempunyai sumber gairah dan minat untuk menyelenggarakan kemakmuran negara, masyarakat dan kemanusiaan dengan jalan mengabdikan dan mengamalkan watak-watak tekun, terampil, hemat dan cermat. Adapun sudra adalah orang yang mengabdi kepada masyarakat karena memiliki sumber gairah dan minat untuk memakmurkan masyarakat dengan jalan mengabdikan kekuatan jasmani dan ketaatannya kepada seluruh masyarakat.[27]

Dengan pengertian caturvarna seperti itu, berarti sudah tidak ada lagi persoalanpersoalan yang timbul karena pengertian bahwa kasta (bahkan juga karma) seseorang itu ditentukan oleh kelahiran.[28]

Dalam perkembangan yang mutakhir, rupa-rupanya rumusan-rumusan ajaran agama Hindu di Bali sudah mengalami perubahan-perubahan yang begitu jauh dibanding pengertian semula di tempat asalnya, India, bahkan sudah menyesuaikan dengan Indonesia dalam kekiniannya. Agama ini sudah tidak terbatas hanya di Bali saja, tetapi, seperti telah disebutkan di atas, dengan mobilitas yang tinggi, agama Hindu (Bali) sudah memperluas diri dengan sendirinya.

Agama Hindu di Bali

Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari kelas-kelas sosial sebagai unsure dan komponen dari kehidupan berkelompok (kolekif). Di dalam agama Hindu ajaran tentang masyarakat disebut dengan Kasta. Di dalam ajaran agama Hindu tentang Kasta, masyarakat dibagi menjadi empat golongan yang dapat dikategorikan sebagai kelas-kelas atau strata sosial, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.[29]

Berkenaan dengan Kasta, Kasta lahir di India berawal dari datangnya bangsa Turan dan Arya, dimana bangsa penjajah sangat merendahkan bangsa lokal (pribumi). Kasta ini lahir dari pertemuan bangsa Arya dengan bangsa Turan serta Bumiputera. Awal mulanya Kasta berdasarkan jenis bangsa, hal ini diperkuat oleh pendapat Weech yang mengatakan bahwa; “Bangsa Arya adalah suatu bangsa yang mempunyai kecerdasan dan tingkah laku kehidupan diatas para penduduk asli. Mereka benar-benar percaya terhadap ketinggian bangsa mereka di atas bangsa-bangsa yang lain. Perkataan “Arya” yang dinamakan pada mereka berarti orang bangsawan.”[30]

Di Indonesia, stratifikasi sosial berdasarkan Kasta dapat kita jumpai pada masyarakat Bali. Sistem Kasta yang ada di Bali merupakan propaganda yang dilakukan oleh bangsa Portugis untuk menguasai Bali. Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang mempraktekkan politik pemecah belah, Kasta dibuat dengan nama yang diambilkan dari ajaran agama Hindu, yaitu dari Catur Warna. Lama-lama orang Bali mulai bingung, kebingungan itu terus berlanjut yang menyebabkan susah untuk membedakan yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahpahaman itu terus berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.[31]

Pada masyarakat Hindu di Bali telah terjadi kesalahpahaman mengenai Kasta, kekaburan dalam pemahaman atau pemaknaan Warna, Kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta, istilah Kasta di Indonesia hanya di kenal di Bali.[32]

Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN

KESIMPULAN

Isme yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budah adalah: 1) Animisme, ialah suatu paham; setiap benda mempunyai animus atau jiwa yang diyakini mempunyai pengaruh bagi manusia, seperti macam azimat, tongkat, dan sebagainya. 2) Dynamisme, ialah kepercayaan; setiap benda mempunyai kekuatan seperti gunung, bebatuan, dan sebagainya. 3) Veteisme, yaitu suatu paham yang berkeyakinan bahwa setiap benda mempunyai makna (kekuatan ghaib). 4) Shammanisme; suatu paham yang berkeyakinan, roh dapat menjelama pada seseorang.

Agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana Dharma, yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para sarjana, agama tersebut terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan bangsa Arya. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta, istilah Kasta di Indonesia hanya di kenal di Bali.

R.C Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum kesatria atau para prajurit India. Para prajurit India diduga mendirikan koloni – koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya. 

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

DAFTAR PUSTAKA

                AG. Honig, JR, Ilmu Agama I, di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, Jakarta: Gunung Mulia. 1992.

                   Arifin, HM. Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: CV Serajaya. 1981.

                   Bakry, Hasbullah. Ilmu Perbandingan Agama, Wijaya, Jakarta, 1980.

            C. J. Bleeker, Pertemuan Agama-Agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan Perdamaian Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama. 2004.

            Djam’annuri. Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar), Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2000.

Ghazali, M. Bagri. Studi Agama-Agama Dunia (Bagian Agama non Semetik) (Jakarta:

CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994.

            Hakim, Agus. Perbandingan Agama, Bandung: CV Diponegoro. 1993.

            Karim, M. Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya, 2014.

            Munandar, Agus Aris, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu – Budha. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve 2012.

                   Rasjidi, H.M, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang. 1974.

            Roham, Abujamin, Agama Wahyu dan Kepercayaan Budaya, Jakarta: Media Da’wah 1999.

                   Shalaby, Ahmad, Perbandingan Agama Agama-Agama Besar Di India Hindu-Jaina Budha, Jakarta: Bumi Aksara, 1998.

                   Smith, Houston. Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001.Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: PT al-Husna Dzikra. 1996.

http://jerosetia.blogspot.com/2009/04/kasta-di-bali-kesalahpahaman-yangsudah.html diakses pada (20 Maret 2016, 20:15 WIB)

http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sistim-kasta-di-bali.html, diakses pada (21 Maret 2016, 20:20 WIB)

http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia diakses pada (21 Maret 2016, 10:15 WIB)

http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara diakses pada (21 Maret 2016, 10:19 WIB)



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia diakses pada (21 Maret 2016, 10:15 WIB)

[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara diakses pada (21 Maret 2016, 10:19 WIB)

[3] Agus Aris Munandar, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu – Budha. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve) 2012. hlm. 344

[4] Ibid,...

[5] M. Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Gramasurya, 2014) Hlm. 128

[6] M. Abdul Karim, Ibid,.. hlm. 128

[7] Ibid,...

[8] Ibid,...

[9] Ibid,...

[10] Ibid,...

  [11] Agus Aris Munandar, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu – Budha. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve 2012. hlm. 37

[12] Ibid,...

[13] Ibid,...

[14] Ibid,...

[15] Ibid,...

[16] Ibid,.. hlm. 38

[17] Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama, Agama Agama Besar di Dunia, Hindu-Jaina Budha Jakarta: Bumi Aksara. 1998. hlm. 18.

[18] AG. Honig, JR, Ilmu Agama I, di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, Jakarta: Gunung Mulia. 1992, hlm. 77-89

[19] Agus Hakim, Perbandingan Agama, Bandung: CV Diponegoro. 1993, hlm. 127.

[20] HM. Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: CV Serajaya. 1981, hlm. 120-121.

[21] Houston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001, hlm. 42

[22] Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar), Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2000.

[23] H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan Bintang. 1974, hlm. 53

[24] Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: PT al-Husna Dzikra. 1996, hlm. 49.

[25] Abujamin Roham, Agama Wahyu dan Kepercayaan Budaya, Jakarta: Media Da’wah. 1999, hlm. 82

[26] C. J. Bleeker, Pertemuan Agama-Agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan Perdamaian Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama. 2004, hlm 5-10

[27] Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Wijaya, Jakarta, 1980, hlm. 41-48

[28] Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama Agama-Agama Besar Di India Hindu-Jaina Budha, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm. 37.

[29] M. Bagri Ghazali, Studi Agama-Agama Dunia (Bagian Agama non Semetik) (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h. 34.

[30] Shalaby, Perbandingan Agama, h. 33.

[32] Lihat situs http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sistim-kasta-di-bali.html, diakses tanggal, 20/03/2016.

Comments

Popular Posts