KONDISI NUSANTARA SEBELUM ISLAM
Oleh: Krisnanda
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Islam merupakan salah satu agama terbesar di dunia saat ini. Agama ini lahir dan berkembang di Tanah Arab. Pembawa ajaran ialah Muhammad. Agama ini lahir salah satunya sebagai reaksi atas rendahnya moral manusia pada saat itu. Islam mulai disiarkan sekitar tahun 612 di Mekkah. Karena penyebaran agama baru ini mendapat tantangan dari lingkungannya, Muhammad kemudian pindah (hijrah) ke Madinah pada tahun 622. Dari sinilah Islam berkembang ke
seluruh dunia. Indonesia adalah Negara yang
mayoritas penduduknya beragama Islam. Islam di Indonesia merupakan mayoritas
terbesar ummat Muslim di dunia. Ada sekitar 85,2% atau 199.959.285 jiwa dari
total 234.693.997 jiwa penduduk. Walau Islam menjadi mayoritas, namun Indonesia
bukanlah negara yang berasaskan Islam.[1]
Sebelum Islam datang masyarakat di
Indonesia sudah mempunyai agama seperti Hindu, Budha, dan kepercayaan lokal
lain. Di setiap daerah telah ada agama-agama atau kepercayaan asli, seperti
Sunda Wiwitan yang dipeluk oleh masyarakat Sunda di Kanekes, Lebak,
Banten; Sunda Wiwitan aliran Madrais, juga dikenal sebagai agama Cigugur
(dan ada beberapa penamaan lain) di Cigugur, Kuningan, Jawa Barat; agama Buhun
di Jawa Barat; Kejawen di Jawa Tengah dan Jawa Timur; agama Parmalim, agama
asli Batak; agama Kaharingan di Kalimantan; kepercayaan Tonaas Walian di
Minahasa, Sulawesi Utara; Tolottang di Sulawesi Selatan; Wetu Telu di Lombok;
Naurus di Pulau Seram di Provinsi Maluku, dll. Didalam Negara Republik
Indonesia, agama-agama asli Nusantara tersebut didegradasi sebagai ajaran
animisme, penyembah berhala atau hanya sebagai aliran kepercayaan.[2]
Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
Akan tetapi Islam yang datang
sesudah agama dan kepercayaan tersebut bisa diterima oleh masyarakat. Banyak
masyarakat yang awal mula beragama Hindu - Budha berbalik memeluk agama Islam yang
datangnya kemudian. Bahkan Islam dapat tersebar luas dengan lebih cepat.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Apa kepercayaan
yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu – Budha?
b.
Darimana asal
agama Hindu dan apa perbedaan Hindu di India dengan di Nusantara?
c. Bagaimana proses masuknya Hindu - Buhda ke Nusantara dan apa perubahan yang terjadi setelah kedatangan Hindu – Budha di Nusantara?
1.3 Tujuan
a.
Mengetahui apa
kepercayaan yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu – Budha.
b.
Mengetahui asal
agama Hindu dan apa perbedaan Hindu di India dengan di Nusantara.
c. Mengetahui proses masuknya Hindu – Budha ke Nusantara dan apa perubahan yang terjadi.
PEMBAHASAN
2.1. Pra Hindu - Budha
Religi atau kepercayaan merupakan
bagian kebudayaan yang sukar berubah. Koentjaraningrat dengan mengutip konsep
R. Linton menyatakan bahwa bagian kebudayaan yang sulit berubah adalah inti
suatu kebudayaan (covert Culture), antara lain keyakinan – keyakinan
keagamaan yang dianggap keramat dan sistem nilai budaya. Adapun bagian dari
kebudayaan yang lebih mudah berubah adalah perwujudan lahiriah (overt
culture) seperti peralatan.[3]
Secara hipotesis dapat dikatakan
bahwa tidak mungkin suatu sistem religi dari sekelompok masyarakat tertentu
dapat musnah, karena religi adalah inti dari kebudayaan (covert culture)
masyarakat. Itulah sebabnya mengap religi yang dianut pada masa prasejarah
masih banyak yang bertahan hingga sekarang, khususnya pada masyarakat
tradisional yang tinggal di daerah pedalaman.[4]
Isme
yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budah adalah:
1.
Animisme, ialah suatu paham; setiap benda mempunyai animus atau jiwa
yang diyakini mempunyai pengaruh bagi manusia, seperti macam azimat, tongkat,
dan sebagainya. Orang mentawai yang tinggal di gunung Sabirut masih mempercayai
paham ini. Di Jawa, masih ada yang meyakini bahwa banyak roh yang tidak
terpelihara menjadi terpelihara menjadi jahat, seperti gendruwo, keblak, tuyul,
peri, dan jin.[5]
2.
Dynamisme, ialah kepercayaan; setiap benda mempunyai kekuatan seperti gunung,
bebatuan, dan sebagainya. Di Dayak misalnya, dikenal adat memotong kepala (mengajau,
dan di Toraja, para wanita menanam padi dengan rambut terurai, karena kekuatan
yang terletak di dalam rambut. Di keraton Yogyakarta dan Solo. Prang tjebol,
buta (buto), bule yang dianggap sakti, didekatkan kepada raja untuk
menambah kesaktian.[6]
3.
Veteisme, yaitu suatu paham yang berkeyakinan bahwa setiap benda mempunyai makna
(kekuatan ghaib). Menurut paham ini, benda merupakan timbunan makna.
Benda itu antara lain pusaka, jimat, dan mascot seperti boneka kecil
dalam mobil.[7]
4.
Shammanisme; suatu paham yang berkeyakinan, roh dapat menjelama pada seseorang.
Biasanya roh diundang kedalam tubuh seseorang dengan jalan menari hingga mabuk.
Saat merasuki orang yang mabuk, roh dapat menceritakan berbagai macam informasi
ghaib yang diperlukan masyarakatnya. Di Sumatera, mereka dikenal dengan pawang,
di Jawa dalang, dan jatilan. Pada umumnya, masyarakat yang
masih meyakini isme – isme itu merupakan masyarakat primitif. Meskipun susunan
masyarakat primitif banyak ragamnya, tetapi ada persamaan yang dapat didekati
yaitu:[8]
1.
Rasa persatuan
yang besar.
2.
Perasaan
bersatu di antara mereka menimbulkan solidaritas yang besar.
a. Kemerdekaan
individu sangat tipis, setiap setiap orang terikat erat dengan aturan bersama.
b. Pelanggaran
terhadap aturan bersama oleh seorang anggota menyebabkan bahaya bagi seluruh
masyarakat.
c. Di dalam
kehidupan ekonomi didapati persamaan kepentingan pada usaha. Yang penting
adalah bekerja sama di antara sesama anggota, kekuatan individu diabaikan.
d. Setiap orang
tunduk kepada pemimpin. Setiap usaha tanpa restu pemimpin tidak berhasil.
Ketika
terjadi perpindahan bangsa – bangsa di Asia, terjadi pula arus imigrasi budaya
yang ikut mengisi budaya Indonesia, teruutama budaya Hindu dan Budha. Budaya yang dibawa agama Hindu terdiri dari
ajaran, institusi ata pranata, institut atau kelembagaan, dan ritual. Begitu
juga budaya yang dibawa oleh agama Budha, terdiri dari unsur yang sama seperti
Hindu. Monumen peninggalan Hindu dan Budha, dapat dibedakan dari bentuknya.
Candi yang berbentuk lingga; Candi Prambanan, merupakan peninggalan Hindu,
sedangkan monumen yang berbentuk hamparan kain, bangunan separuh kubah, dang
langkat, seperti Borobudur, merupakan peninggalan Budha.[9]
Di
Indonesia, agama yang datang dari India seperti; Hindu-Budha, banyak
berpengaruh, sedangkan dari China dan Jepang, seperti Kong Hu Cu, Lao Tse, dan
Sintho, tidak. Padahal, perdagangan dengan China boleh dikatakan sama ramainya
dengan perdagangan dengan India. Tetapi dalam budaya yang lain, pengaruh China
cukup besar, yaitu aneka obat – obatan dan makanan seperti Ta Ucho, Tahu,
Tempe, Kecap, Bakwan, Bakmi, Bakso, dan sebagainya.[10]
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
2.2
Pada Masa Hindu - Budha
Awal munculnya kerajaan Hindu – Budha telah
banyak dibahas oleh para ahli pada awal abad XX. Mereka telah menunjukkan bahwa
munculnya kerajaan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh kebudayaan India.
Sejak abad IV, beberapa kerajaan Hindu – Budha muncul di Indonesia diantara
lain Kutai di Kalimantan Timur, Tarumanagara di Jawa Barat, Sriwijaya di
Sumatra Selatan, Mataram di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan Bali.[11]
R.C Majundar berpendapat bahwa munculnya
kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum kesatria atau para prajurit
India. Para prajurit India diduga mendirikan koloni – koloni di kepulauan
Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.[12]
N.J Krom lebih menekankan peranan para pedagang
India dalam proses munculnya kerajaan Hindu – Budha di Asia Tenggara, termasuk
Indonesia, yang dikenal dengan teori weisa. Para pedagang India dikatakan telah
melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut
mereka mengembankan kebudayaan India.[13]
Proses Indianisasi di indonesia menurut J.C van
Leur disebabkan oleh peranan kaum brahmana. Para brahmana India telah diundang
ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan, seperti pelaksanaan vratyastoma,
yakni upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agae mereka menjadi
golongan kesatria.[14]
F.D.K. Bosch menyatakan bahwa proses indianisasi
di Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu dalam masyarakat yaitu para
administratur atau clerk. Lebih lanjut Bosch mengemukakan bahwa proses
indianisasi adalah suatu “penyuburan” (fecundation) terhadap kebudayaan
lokal.[15]
Berdasarkan teori yang dikemukakan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu –Budha tampaknya perlu dikaji lebih lanjut. Dalam hal ini, sumbangan ahli arkeologi sangat penting untuk dapat mengidentifikasi kondisi sosial masyarakat Indonesia sebelum munculnya kerajaan Hindu – Budha di Indonesia.[16]
Sejarah dan Ajaran Agama Hindu
Agama Hindu adalah agama yang dianut oleh
sebagian besar penduduk India. Agama ini dinamakan Hindu, karena di dalamnya
mengandung adatistiadat, budi pekerti, dan gambaran kehidupan orang Hindu.
Agama ini juga dinamakan Agama Brahma, dari agama inilah diambil kata Brahmana
yang merupakan gelar bagi pemuka agama yang dipercaya karena ketinggian
ilmunya.[17]
Di India, agama Hindu sering disebut dengan
nama Sanatana Dharma, yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang
berarti agama yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para sarjana, agama
tersebut terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau
kepercayaan bangsa Arya.
Sebelum kedatangan bangsa Arya di India telah
lama hidup bangsabangsa Dravida yang telah mencapai suatu tingkat peradaban
yang tinggi sebagaimana dibuktikan oleh penelitian-penelitian yang dilakukan
terhadap wilayah Lembah Indus. Peradaban lembah ini dalam satu segi juga
menunjukkan gambaran keagamaan yang ada pada waktu itu, yang tetap dapat
dilacak dalam agama Hindu sekarang ini.[18]
Agama Hindu tidak hanya terdapat di India,
tetapi juga telah masuk ke Indonesia, bahkan sangat kuat pengaruhnya terutama
di Jawa. Ada beberapa bukti pengaruh agama Hindu dan kebudayaan India terhadap
Indonesia dalam bidang sastra dan agama, seni bangunan dan adat kebiasaan yang
ada di sekitar kraton. Dari sini barangkali dapat dipahami bahwa masuknya
pengaruh tersebut bukan melalui kasta-kasta Sudra, Waisya ataupun Ksatria,
tetapi oleh para Brahmana, karena merekalah yang berwenang membaca kitab suci
dan menentukan peribadatan. Ajaran tentang samsara, karma, yang tidak terlepas
dari ajaran kasta yang dikaitkan dengan kelahiran seseorang memungkinkan dugaan
bahwa agama Hindu bukan agama dakwah dan tidak mencari pengikut. Namun yang sering
menjadi persoalan adalah bagaimana pengaruh para Brahmana terhadap lingkungan
kraton tersebut.
Dugaan kuat dalam hal ini ialah bahwa yang
aktif adalah orang-orang Indonesia sendiri. Karena adanya hubungan dagang
dengan orang-orang India, maka banyak rakyat yang juga hidup berdagang dan
menjadi kaya. Hubungan raja dan rakyat juga baik sehingga para raja juga menghargai
para Brahmana tersebut. Dalam lingkungan kehidupan beragama, para pedagang yang
beragama Hindu memerlukan para Brahmana. Oleh karena itu para Brahmana tersebut
memiliki kesempatan untuk berada dalam lingkungan kraton. Hal ini terbukti
dengan penemuan prasasti di Kutai yang menunjukkan bahwa untuk keperluan
sedekah raja memberikan beberapa ekor sapi kepada para Brahmana tersebut.[19]
Dari penemuan prasasti dapat diketahui bahwa
perkembangan pengaruh agama Hindu di Indonesia tetap berpusat di sekitar
kraton, sungguhpun ada juga, karena jarak yang jauh, berpusat di biara-biara
dan pemakaman- pemakaman. Prasasti Kutai dari zaman raja Mulawarman (abad ke-5)
menunjukkan bahwa korban sesajian oleh raja dilaksanakan dan diselenggarakan
sesuai dengan ajaran kitab Manusmrti. Pemujaan ditujukan mungkin kepada Siwa
dan mungkin kepada Wisnu. Di Jawa Barat, prasasti dari raja Purnawarman
menunjukkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Wisnu;
sementara prasasti di Jawa Tengah dari zaman raja-raja Sanjaya (723)
memperlihatkan bahwa agama yang berpengaruh adalah agama Hindu aliran Siwa.
Tahun 928, pusat kraton yang ada di Jawa Timur
(dinasti raja Sendok) lebih bercorak Wisnu. Peninggalan-peninggalan kitab
sesudah zaman itu (yaitu sekitar abad ke-10) adalah kitab Brahmandapurana yang
di antara isinya adalah tentang penciptaan (kosmogoni), silsilah para Resi,
keteranganketerangan tentang kasta, asrama, yogi dan sebagainya. Juga terdapat
uraian tentang kitab Weda dan penjelasan tentang Manu yang semuanya berupa
mitos. Kitab Agastyaparwa (akhir abad 10 memuat dialog antara Agastya dan
puteranya, Didhastu. Isi kitab tersebut adalah tentang kosmogoni, lahirnya para
Brahmarsi, lahirnya Manu dan lahirnya Manwatara.
Aliran Tantra mencapai puncak perkembangannya
pada zaman Singasari dan Majapahit Dalam kitab Nagarakertagama disebutkan bahwa
raja Kertanegara menekuni kitab Subhuti Tantra. Menurut kitab Pararaton, ia
adalah seorang pemabuk, seorang pemuja yang erat hubungannya dengan upacara
pancatattwa (Lima-M). Raja Adityawarman dinobatkan dalam upacara Bhairawa
karena ia adalah penganut sekte Siwa yang menekankan pada aliran Tantrayana.
Menurut prasasti Surowaso (1375), ia dinobatkan menjadi Bhairawa di Ksetra
dengan duduk di atas singgasana yang terdiri dari tumpukan mayat sambil tertawa
terbahak-bahak dan minum darah. Sebagai korban dibakar mayat-mayat yang baunya
dikatakan seperti harumnya berjutajuta bunga. Di Padang Lawas Sumatra, paham
Tantrayana juga mengutamakan Bhairawa.[20]
Dalam perkembangan selanjutnya, selain pusat-pusat
keagamaan di kraton, juga terdapat pusat-pusat keagamaan Hindu yang disebut
Paguron atau mandala atau kasturi. Ditempat-tempat ini para pendeta memberikan
pelajaran. Kitab-kitab yang ada pada waktu itu adalah kitab Tantu Panggelaran,
juga kitab Nawaruci yang juga disebut dengan kitab Tattwajnana. Kitab terakhir
ini penting karena mistik yang terdapat di dalamnya sampai sekarang masih
berlaku di kalangan tertentu. Dasar fikiran dan mistik itu sendiri juga
terdapat dalam kitab-kitab Suluk yang sudah mendapat pengaruh dari Islam. Di
Bali, pengaruh Majapahit sangat kuat. Oleh karena itu, agama Hindu Jawa pun
sangat berpengaruh di sana, yang lama kelamaan bercampur dengan agama asli Bali
yang disebut agama Tirta dan kemudian disebut agama Hindu Dharma.
Agama asli Bali mempunyai kepercayaan terhadap
para dewa yang dihindukan sesuai dengan agama Hindu-Jawa. Orang-orang asli Bali
mempercayai para dewa yang dulunya adalah arwah nenek moyang mereka, di samping
percaya terhadap roh-roh jahat. Dewa-dewa yang berasal dari HinduJawa disebut
dengan Bhatara, yang terpenting di antaranya adalah Bhatara Brahma (dewa api),
Bhatara Surya (dewa matahari), Bhatara Indra (dewa penguasa surga), Bhatara
Yama (penguasa maut) dan Dhatari Durga (dewi maut atau kematian). Bhatara Siwa
adalah dewa tertinggi yang menguasai dan memiliki kekuatan para dewa lainnya.
Bahkan, semua dewa adalah penjelmaannya. Penjelmaan Siwa yang dianggap penting
adalah Bhatara Guru, Bhatara Kala dan Bhatari Durga.[21]
Karena arwah nenek moyang juga didewakan di
Bali, maka di Bali lalu terdapat pengkultusan terhadap orang yang sudah mati.
Ada dua macam pemujaan terhadap orang yang sudah mati. Menurut kepercayaan Bali
asli, mayat tersebut cukup ditempatkan di hutan-hutan atau di aliran
sungai-sungai; dan menurut kepercayaan Hindu-Jawa, pemujaan terhadap orang mati
dilakukan dengan cara membakar mayatnya terutama di kalangan bangsawan. Orang
mati dipuja terutama karena ada anggapan bahwa dengan pemujaan tersebut
arwahnya akan dapat segera sampai di tempat yang tenang dari mengganggu orang
yang masih hidup. Jiwa orangyang masih hidup. Jiwa orang yang masih hidup
dianggap terbelenggu oleh jasad sehingga menjadi kotor. Agar jiwa lepas dari
belenggu tersebut makajiwa ban-is dis'udkan dengan cara-cara tertentu. Melalui
kematian jiwa berpisah dari jasad, tetapi masih belum sempurna karena belum
bebas sebebas-bebasnya dan masih harus mengalami kelahiran kembali. Jiwa macam
ini disebut pirata, dan dapat mendatangkan petaka bagi keluarganya.
Sesudah penyucian karena kematian, maka
penyucian tahap berikutnya adalah penyucian dengan mempergunakan api dan air
yang dilakukan dengan membakar mayat dan abunya dibuang ke laut atau ke
sungai-sungai agar noda- noda dan karat-karat yang mengotorinya menjadi bersih
dan suci secara sempurna sehingga jiwa dapat menuju ke Indraloka. Di sini jiwa
sudah berubah menjadi piara dan tidak lagi membahayakan keluarga. Sesudah
penyudan ini, baru dilakukan upacara sraddha supaya jiwa dapat langsung berada
di Siwaloka. Upacara mayat yang disebut Ngaben ini terdiri dari tertib upacara
tertentu dan biasanya penyelenggaraannya memerlukan biaya yang relatif besar,
serta berbeda-beda sesuai dengan tingkatan kasta yang bersangkutan. Akan tetapi
dewasa ini, biasanya karena alasan ekonomis dan sebagainya, penyelenggaraan
upacara Ngaben sudah tidak begitu lengkap lagi.[22]
Dalam perkembangan selanjutnya, agama Hindu di
Indonesia mengalami perkembangan sekaligus perubahan-perubahan yang sangat
mendasar karena faktor-faktor sosial ekonomi, kebudayaan, pendidikan, dan
perkembangan agama Islam. Penyempurnaan dan perubahan tersebut bukan hanya
menyangkut penyelenggaraan upacara keagamaan tetapi juga dalam konsep
keagamaannya.
Agama Tirta mulai berubah sudah sejak zaman
pemerintah Belanda, di antaranya adalah usaha untuk mendapatkan tempat dalam
Kementerian Agama Republik Indonesia. Usaha lain ialah usaha untuk
menyempurnakan agama Tirta agar mendapatkan tempat yang pasti di tengah-tengah
masyarakat Salah satu caranya ialah dengan menyusun kitab suci yang selama ini belum
ada. Selain itu, juga dilakukan usaha untuk merumuskan kembali ajaran-ajaran
keagamaan, juga dengan mendirikan lembaga-lembaga keagamaan, yang dirasa sudah
sangat mendesak adanya, di tengah-tengah kemajuan masyarakat Beberapa tokoh
muda kemudian mendirikan lembaga pendidikan dan organisasi keagamaan yang
disebut Trimurti, yang bertujuan menembus pembaharuan di bidang keagamaan. Di
Singaraja, Bali,. lahir organisasi Bali.
Dharma Laksana yang berusaha untuk menyusun
kitab suci yang jelas. Pada zaman Jepang didirikan Paruman Pandita Dharma oleh
pemerintah yang dimaksudkan
untuk mempersatukan paham keagamaan Bali dan sebagai perantara dengan
pemerintah Jepang. Pada waktu itu agama disebut dengan Siwa Raditya atau agama
Sanghyang Surya yang mengutamakan pemujaan terhadap matahari. Pada tahun 1950,
badan tersebut berubah menjadi Majelis Hinduisme. Sejak tahun ini ada lagi
organisasi-organisasi keagamaan yang muncul yaitu Wiwada Sastra Sabda dan Panti
Agama Hindu Bali. Dari sinilah muncul ide pengakuan agar Hindu Bali sebagai
agama resmi di Indonesia, yang baru berhasil diperjuangkan pada tahun 1958.
Sejak saat itu minat untuk memajukan agama Hindu Bali semakin meningkat Langkah
pertamanya adalah pemurnian agama Hindu.[23]
Sesudah mendapatkaa pengakuan resmi, para pemimpin
Hindu Bali membentuk muktamar Parisada Dharma Hindu Bali pada tahun 1959 yang
kemudian menjadi Parisada Hindu Dharma pada tahun 1964. Usaha utama orgaanisasi
tersebut ialah memajukan Hindu, Dharma dengan. Mendirikan pendidikan menengah
yaitu Pendidikan Guru Agama Atas dan pendidikan tinggi yaitu Institut Hindu
Dharma yang salah satu fakultasnya adalah Fakultas Agama. lai berarti telah
terjadi suatu perubahan dan perkembangan yang sangat besar dalam agama Hindu.
Kitab-kitab suci sekarang harus dipelajari oleh seluruh umat Hindu, dan
pendidikan agama juga merupakan hak semua orang Hindu. Bahkan, dengan adanya
mobilitas sosial yang cepat dewasa ini, agama Hindu juga mengalami perluasan
yang.sangat berarti. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari adanya usaha-usaha
para cendikiawan. Hindu untuk menyesuaikan agama mereka dengan suasana
Indonesia.
Diantara perubahan-perubahan tersebut ada yang
menyangkut konsep ajaran agama. Menurut agama Hindu Bali Sang Hyang Widi adalah
Tuhan yang Maha Esa. Dalam Kitab Weda disebutkan bahwa Brahma hanya satu, tidak
ada duanya. Dalam Sutasoma dikatakan bahwa tuhan berbeda-beda telapi satu,
tidak ada dharma yang dua. Dalam Upanishad juga diungkapkan bahwa Sang Hyang
Widi adalah tidak berbentuk, tidak beranggauta badan, tidak berpanca-indera
tetapi mengetahui segala yang ada dan yang terjadi pada semua makhluk. Sang
Hyang Widi tidak pernah lahir, tidak pernah tua, tidak pernah berkurang dan
juga tidak pernah bertambah. la disebut dengan banyak nama, dan yang terpenting
adalah Tri-Sakti, yaitu Brahma (sebagai pencipta), Wisnu (sebagai pelindung dan
pemelihara), dan Siwa (sebagai perusak untuk dikembalikan ke daur yang
semestinya).[24]
Agama Hindu mempersonifikasikan
kekuatan-kekuatan Sang Hyang Widi dalam bentuk beberapa dewa yang banyak
jumlahnya, akan tetapi mempunyai fungsi-fungsi tertentu sesuai dengan
kepentingan makhluk hidup ini. Sebagai Bhatara Brahma, ia memberikan pegangan dan
tuntunan bagaimana manusia harus bertindak. Dalam hal ini Brahma bertindak
sebagai Sang Hyang Saraswati yang memberikan ilham kepada para maharesi [salah
satu literatur menyebut seperti nabi dalam Islam?]. Hubungan antara San Hyang
Saraswati dengan Brahman diungkapkan seperti hubungan antara api dengan
panasnya. Saraswati dianggap sebagai dewi ilmu pengetahuan karena hanya dengan
pengetahuan saja penciptaan-penciptaan baru itu timbul. la adalah sumber ilham,
sumber gerak dan sumber ciptaan manusia.
Sebagai Bhatara Wisnu, Sang Hyang Widi menjadi
pelindung dan pemelihara dunia
la mempunyai dua sakti, yaitu Dewi Sri (dewi
kesuburan) dan Dewi Lakshmi (dewi kebahagiaan). Sebagai Bhatara Siwa, Sang
Hyang Widi menguasai keadilan dan mewujudkan (jin sebapai Dewi Durga dan Dewi
Uma (Parwati). Kepada orang yang berbuat dosa ia berlaku dan berujud Dewi Durga
yang mengerikan dan kepada orang yang berbuat baik ia berlaku dan berujud Dewi
Uma yang penuh cinta kasih; Mengenai agama dikatakan bahwa agama adalah jalan
untuk sampai kepada moksa (kelepasan). Oleh sebab itu agama berisi
petunjuk-petunjuk yang benar. Agama adalah jalan yang lengkap dengan petunjuk
dan pedoman ke arah yang benar. Dalam ungkapan sering dikatakan bahwa agama
adalah "perahu" untuk menyebarangkan manusia dan dunia yang tidak
kekal menuju surga (moksa); jiwa (atman) adalah "bendega" tukang
perahu' layar adalah pikiran manusia; angin adalah hawa nafsu; air laut adalah
persoalan keduniaan, dan tujuannya adalah pulau harapan (surga).[25]
Tujuan agama adalah moksa artham jagadhitaya,
ca iti Dharmah, yang berarti untuk mendapatkan moksa dan jagadhita, untuk
kesejahteraan jasmani dan rohani. Jasmani penting karena jasmani adalah alat
untuk mendapatkan dharma, artha, kama dan moksa. Moksa adalah lepas bebas dari
segala ikatan dunia, lepas dari karma dan lepas dari samsara. Moksa dapat
dicapai pada waktu manusia masih hidup di dunia atau dapat dicapai setelah ia
mati. Jalan kelepasan dapat ditempuh oleh seseorang sesuai dengan kemampuannya.
Ada empat macam jalan kelepasan, yaitu Jnanayoga (jalan pengetahuan),
bhaktiyoga (jalan bakti dan taat kepada tuhan), karmayoga (jalan beramal dengan
ikhlas), dan rajayoga (jalan semadi).[26]
Mengenai 'kitab suci, Weda adalah kitab suci
agama Hindu yang mengutamakan pengetahuan suci tcntang Sang Hyang Widi dan
perintahperintahnya. Ke dalam Weda tercakup kitab-kitab Upanishad, Wedapari
krama. Bhagavadgita dan Sang Hyang Kamahayanikan. Kitab-kitab tersebut wajib
dibaca dan dipelajari oleh segenap umat Hindu, tidak terbatas hanya pada kalangan
pendeta saja. Karena itu lalu muncul pula beberapa kitab semacam Smriti, berupa
Manu-Smriti dan Sarasamuccaya, kitab-kitab Parana, kitab-kitab Itihasa. dan
Wiracarita. Terlepas dari kebenaran yang mereka percaya, pengertian kitab suci
di Bali agaknya berbeda dengan di India, apalagi dengan agama Brahmana, yang
sudah amat jauh perbedaannya.
Mengenai masalah kasta atau caturvarna, yang
semula selalu dikaitkan dengan persoalan kelahiran, maka pada agama Hindu di
Bali sudah memperoleh pengertian yang lain juga. Dikatakan, varna adalah sifat
dan bakat kelahiran dalam mcngabdi masyarakat, yang mementingkan sumber gairah
kerja, minat atau bakat, untuk berkarya. Kasta brahmana adalah golongan orang
yang mengabdi pada masyarakat karena memiliki sumber gairah dan minat untuk
menyejahterakan masyarakat, negara.dan rakyat dengan jalan mengabdikan dan
mengamalkan ilmu pengetahuannya sehingga mampu memimpin masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, bernegara dan beragama. Ksatria adalah golongan orang
yang mengabdi pada masyarakat karena mempunyai sumber gairah dan minat untuk
memimpin dan mempertahankan kesejahteraan masyarakat berdasarkan agamanya.
Waisya adalah orang yang mengabdi kepada
masyarakat karena mempunyai sumber gairah dan minat untuk menyelenggarakan kemakmuran
negara, masyarakat dan kemanusiaan dengan jalan mengabdikan dan mengamalkan
watak-watak tekun, terampil, hemat dan cermat. Adapun sudra adalah orang yang
mengabdi kepada masyarakat karena memiliki sumber gairah dan minat untuk
memakmurkan masyarakat dengan jalan mengabdikan kekuatan jasmani dan
ketaatannya kepada seluruh masyarakat.[27]
Dengan pengertian caturvarna seperti itu,
berarti sudah tidak ada lagi persoalanpersoalan yang timbul karena pengertian
bahwa kasta (bahkan juga karma) seseorang itu ditentukan oleh kelahiran.[28]
Dalam perkembangan yang mutakhir, rupa-rupanya
rumusan-rumusan ajaran agama Hindu di Bali sudah mengalami perubahan-perubahan
yang begitu jauh dibanding pengertian semula di tempat asalnya, India, bahkan
sudah menyesuaikan dengan Indonesia dalam kekiniannya. Agama ini sudah tidak
terbatas hanya di Bali saja, tetapi, seperti telah disebutkan di atas, dengan
mobilitas yang tinggi, agama Hindu (Bali) sudah memperluas diri dengan
sendirinya.
Agama Hindu di Bali
Masyarakat pada hakekatnya terdiri dari
kelas-kelas sosial sebagai unsure dan komponen dari kehidupan berkelompok
(kolekif). Di dalam agama Hindu ajaran tentang masyarakat disebut dengan Kasta.
Di dalam ajaran agama Hindu tentang Kasta, masyarakat dibagi menjadi empat
golongan yang dapat dikategorikan sebagai kelas-kelas atau strata sosial, yaitu
Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.[29]
Berkenaan dengan Kasta, Kasta lahir di India
berawal dari datangnya bangsa Turan dan Arya, dimana bangsa penjajah sangat
merendahkan bangsa lokal (pribumi). Kasta ini lahir dari pertemuan bangsa Arya
dengan bangsa Turan serta Bumiputera. Awal mulanya Kasta berdasarkan jenis
bangsa, hal ini diperkuat oleh pendapat Weech yang mengatakan bahwa;
“Bangsa Arya adalah suatu bangsa yang mempunyai kecerdasan dan tingkah laku
kehidupan diatas para penduduk asli. Mereka benar-benar percaya terhadap
ketinggian bangsa mereka di atas bangsa-bangsa yang lain. Perkataan “Arya” yang
dinamakan pada mereka berarti orang bangsawan.”[30]
Di Indonesia, stratifikasi sosial berdasarkan
Kasta dapat kita jumpai pada masyarakat Bali. Sistem Kasta yang ada di Bali
merupakan propaganda yang dilakukan oleh bangsa Portugis untuk menguasai Bali.
Ketika Bali dipenuhi dengan kerajaan-kerajaan kecil dan Belanda datang
mempraktekkan politik pemecah belah, Kasta dibuat dengan nama yang diambilkan
dari ajaran agama Hindu, yaitu dari Catur Warna. Lama-lama orang Bali mulai
bingung, kebingungan itu terus berlanjut yang menyebabkan susah untuk
membedakan yang mana Kasta dan yang mana ajaran Catur Warna. Kesalahpahaman itu
terus berkembang dan menyebar ke seluruh penjuru Nusantara.[31]
Pada masyarakat Hindu di Bali telah terjadi kesalahpahaman mengenai Kasta, kekaburan dalam pemahaman atau pemaknaan Warna, Kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta, istilah Kasta di Indonesia hanya di kenal di Bali.[32]
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
KESIMPULAN
Isme
yang berlaku di Nusantara sebelum kedatangan Hindu dan Budah adalah: 1) Animisme,
ialah suatu paham; setiap benda mempunyai animus atau jiwa yang diyakini
mempunyai pengaruh bagi manusia, seperti macam azimat, tongkat, dan sebagainya.
2) Dynamisme, ialah kepercayaan; setiap benda mempunyai kekuatan seperti
gunung, bebatuan, dan sebagainya. 3) Veteisme, yaitu suatu paham yang
berkeyakinan bahwa setiap benda mempunyai makna (kekuatan ghaib). 4) Shammanisme;
suatu paham yang berkeyakinan, roh dapat menjelama pada seseorang.
Agama Hindu sering disebut dengan nama Sanatana
Dharma, yang berarti agama yang kekal, atau Waidika Dharma, yang berarti agama
yang berdasarkan kitab suci Weda. Menurut para sarjana, agama tersebut
terbentuk dari campuran antara agama India asli dengan agama atau kepercayaan
bangsa Arya. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta, istilah Kasta di
Indonesia hanya di kenal di Bali.
R.C Majundar berpendapat bahwa munculnya kerajaan Hindu di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum kesatria atau para prajurit India. Para prajurit India diduga mendirikan koloni – koloni di kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara pada umumnya.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
DAFTAR PUSTAKA
AG. Honig,
JR, Ilmu Agama I, di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, Jakarta:
Gunung Mulia. 1992.
Arifin, HM.
Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: CV Serajaya. 1981.
Bakry,
Hasbullah. Ilmu Perbandingan Agama, Wijaya, Jakarta, 1980.
C. J. Bleeker, Pertemuan
Agama-Agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan Perdamaian Universal,
Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama. 2004.
Djam’annuri. Agama
Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar), Yogyakarta: Kurnia
Kalam Semesta. 2000.
Ghazali, M. Bagri. Studi
Agama-Agama Dunia (Bagian Agama non Semetik) (Jakarta:
CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994.
Hakim, Agus. Perbandingan
Agama, Bandung: CV Diponegoro. 1993.
Karim, M. Abdul. Islam
Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya, 2014.
Munandar, Agus
Aris, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu – Budha.
Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve 2012.
Rasjidi,
H.M, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta: Bulan
Bintang. 1974.
Roham, Abujamin, Agama
Wahyu dan Kepercayaan Budaya, Jakarta: Media Da’wah 1999.
Shalaby,
Ahmad, Perbandingan Agama Agama-Agama Besar Di India Hindu-Jaina Budha,
Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Smith, Houston. Agama-Agama
Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2001.Sou’yb, Joesoef. Agama-Agama
Besar di Dunia, Jakarta: PT al-Husna Dzikra. 1996.
http://jerosetia.blogspot.com/2009/04/kasta-di-bali-kesalahpahaman-yangsudah.html diakses
pada (20 Maret 2016, 20:15 WIB)
http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sistim-kasta-di-bali.html, diakses
pada (21 Maret 2016, 20:20 WIB)
http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
diakses pada (21 Maret 2016, 10:15 WIB)
http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara
diakses pada (21 Maret 2016, 10:19 WIB)
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Islam_di_Indonesia
diakses pada (21 Maret 2016, 10:15 WIB)
[2] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_asli_Nusantara
diakses pada (21 Maret 2016, 10:19 WIB)
[3]
Agus Aris Munandar, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu –
Budha. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve) 2012. hlm. 344
[4] Ibid,...
[5] M.
Abdul Karim, Islam Nusantara (Yogyakarta: Gramasurya, 2014) Hlm. 128
[6] M. Abdul
Karim, Ibid,.. hlm. 128
[7] Ibid,...
[8] Ibid,...
[9] Ibid,...
[10] Ibid,...
[11]
Agus Aris Munandar, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kerajaan Hindu –
Budha. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve 2012. hlm. 37
[12] Ibid,...
[13] Ibid,...
[14] Ibid,...
[15] Ibid,...
[16] Ibid,..
hlm. 38
[17]
Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama, Agama Agama Besar di Dunia, Hindu-Jaina
Budha Jakarta: Bumi Aksara. 1998. hlm. 18.
[18] AG.
Honig, JR, Ilmu Agama I, di Indonesiakan oleh Soesastro dan Sugiarto, Jakarta:
Gunung Mulia. 1992, hlm. 77-89
[19] Agus
Hakim, Perbandingan Agama, Bandung: CV Diponegoro. 1993, hlm. 127.
[20] HM.
Arifin, Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar, Jakarta: CV Serajaya.
1981, hlm. 120-121.
[21]
Houston Smith, Agama-Agama Manusia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
2001, hlm. 42
[22]
Djam’annuri, Agama Kita Perspektif Sejarah Agama-Agama (Sebuah Pengantar),
Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta. 2000.
[23]
H.M. Rasjidi, Empat Kuliah Agama Islam pada Perguruan Tinggi, Jakarta:
Bulan Bintang. 1974, hlm. 53
[24]
Joesoef Sou’yb, Agama-Agama Besar di Dunia, Jakarta: PT al-Husna Dzikra.
1996, hlm. 49.
[25]
Abujamin Roham, Agama Wahyu dan Kepercayaan Budaya, Jakarta: Media
Da’wah. 1999, hlm. 82
[26] C.
J. Bleeker, Pertemuan Agama-Agama Dunia Menuju Humanisme Relijius dan Perdamaian
Universal, Yogyakarta: Pustaka Dian Pratama. 2004, hlm 5-10
[27]
Hasbullah Bakry, Ilmu Perbandingan Agama, Wijaya, Jakarta, 1980, hlm.
41-48
[28]
Ahmad Shalaby, Perbandingan Agama Agama-Agama Besar Di India Hindu-Jaina
Budha, Jakarta: Bumi Aksara, 1998, hlm. 37.
[29] M.
Bagri Ghazali, Studi Agama-Agama Dunia (Bagian Agama non Semetik)
(Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1994, h. 34.
[30]
Shalaby, Perbandingan Agama, h. 33.
[31]
Lihat situs http://jerosetia.blogspot.com/2009/04/kasta-di-bali-kesalahpahaman-yangsudah.html, diakses
tanggal, 20/03/2016.
[32]
Lihat situs http://cakepane.blogspot.com/2012/07/sistim-kasta-di-bali.html, diakses
tanggal, 20/03/2016.
Comments
Post a Comment
Thank You