ISLAM DARI DEMAK SAMPAI MATARAM


Oleh: Krisnanda

PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang

            Pulau Jawa adalah daerah Nusantara yang dikunjungi para Muballigh Islam setelah Sumatera. Pulau Sumatera adalah tempat pertama yang dikunjungi para Muballigh Islam sebelum yang lain – lain. Jalur perjalanan Muballigh Islam dari Sumatera ke Malaka dan Jawa, dan di Malaka dipasang pula jalur da`wah ke Jawa. Jadi pulau Jawa dikunjungi para Muballigh yang sebagian langsung dari Sumatera dan sebagian yang lain melalui

Malaka. Arti dari Sumatera ialah dari Pase dan Perlak.[1]

            Di pantai barat laut pulau Sumatera telah ditemukan sekelompok perkampungan prang – orang Arab pada tahun 684 Masehi. Diantara ahli sejarah bangsa Indonesia ada yang menduga dengan sangat kuat, bahwa tempat itu ialah kota kecil yang bernama Baros di Sumatera Utara yang dikemudian hari pada abad 16 Masehi lahir seorang penya`ir dan ahli tashawwuf terkenal bernama Hamzah al Fansuri.[2]

            Agama Islam datang ke pulau Jawa dari Pase atau Perlak baik langsung maupun melalui Malaka. Tetapi sumbernya Cuma satu, sama – sama datang dari Makkah (Arab). Rakyat Indonesia penduduk pulau Jawa menerima Islam dengan penuh kesadaran. Islam dipandang sebagai roh-pembebas yang memerdekakan mereka dari ikatan belenggu yang mengungkung kehidupan rohani dan jasmani sejak ratusan tahun, disebabkan karena penderitaan mereka di bawah kekuasaan kaum bangsawan yang otokratis dan pemuka – pemuka agama yang reaksioner dan menjadi alat kaun feodal yang berkuasa. Ruang bergerak yang lingkupnya kian menciut lagi pengap senantiasa menimbulkan perlawanan baik secara terang – terangan maupun sembunyi – sembunyi untuk mendatangkan pembaharuan. Islam dipandang sebagai suatu dinamika terpendam yang mengajarkan: Idza dloqal amru ittasa`a “kesempitan yang memuncak akan mendatangkan kesempatan leluasa”.[3]

            Kesempatan leluasa bukan untuk kemudharatan, akan tetapi untuk menciptakan kemaslahatan umum. Untuk melenyapkan kesempitan – kesempitan yang merusak nilai rohani dan jasmani yang merendahkan martabat manusiawi. Untuk mendatangkan kelonggaran – kelonggaran kearah terbukanya langkah – langkah memperkembangkan kesejahtraan rohani dan jasmani. Akan tetapi kelonggaran yang melahirkan leluasa yang absolut, mutlak dan tak terkendalikan, atau yang menciptakan kebebasan yang tiada batas akan menyempitkan ruang rohaniah yang merendahkan nilai keluhuran manusia sebagai makhluk yang paling mulia.[4] Demikianlah maka Islam memasuki pulau Jawa dalam suasana penduduknya sedang dilanda kehausan rohaniah dan kekeringan alam berfikir yang membawa derita batin.

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

            Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak untuk berkembang menjadi kota besardan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Wali Sanga, Demak berkembang menjadi pusat penyebaran agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.

            Demak terletak di pesisir utara Pulau Jawa dengan lingkungan alamnya yang subur, bermula dari sebuah kampung yang dalam babad lokal disebut Gelagahwangi. Tempat inilah konon dijadikan permukiman muslim di bawah pimpinan Raden Patah. Raden Patah adalah putra raja Majapahit, Brawijaya (1468-1478 M), dan ibunya adalah seorang putri dari Campa.[5]

            Mataram merupakan daerah yang subur, terletak antara Kali Opak dan Kali Progo yang mengalir ke Samudera Hindia, dan kemungkinan untuk tumbuh serta berkembang menjadi pusat Kesultanan Mataram. Daerah Mataram awalnya termasuk Kesultanan Pajang.[6]

1.2  Rumusan Masalah

a.     Bagaimana sejarah Islam di Demak?

b.     Bagaimana pemindahan kekuasaan terjadi?

1.3  Tujuan

a.     Mengetahui bagaimana sejarah Islam di Demak.

b.     Mengetahui bagaimana pemindahan kekuasaan terjadi.

PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Islam di Demak

            Ketika Gajah Mada memangku jabatan sebagai mahapatih atau perdana mentri Majapahit, Nusantara Indonesia mencapai kemashuran pada titik tertinggi.    

Prof. Haji Muhammad Yamin melukiskan kebesaran Gajah Mada sebagai berikut:[7]

            “Dalam tangan beliau maka tatanegara Majapahit meriah danberkembang dengan baiknya seperti dikagumi oleh rakawi Prapanca yang melihat dan mengalami dari dekat. Zaman gemilang itu banyak berhubungan dengan kegiatan Gajah Mada di lapangan politik, tetapi tatanegara Majapahit bagian pusat dan pucuk selama patih Mangkubumi itu berkuasa memang tidak biasa. Di dalam tangannya terlalu banyak jawatan berkumpul, hingga batas – batas antara segalah kekuasaan yang bergabung dalam satu tangan menjadi kabur, jikalau tidak hilang sama sekali. Setelah Gajah Mada meninggal pada tahun 1364 maka ia tidak diganti; tidak diganti sebagai orang yang cakap memegang semua jawatan itu, tentulah di antaranya karena menurut pemandangan persidangan saptaprabu tak ada orang yang secakap Gajah Mada”.

            Raja – raja silih berganti dalam memerintah Majapahit, namun Gajah Mada tetaplah perdana Menteri. Ialah sebenarnya yang memerintah Majapahit sampai ke mercu kemshurannya. Tiga puluh lamanya ia mempin Majapahit, mempersatukan kerajaan – kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara Indonesia, walau ia gagal menaklukan Kerajaan Islam Pase di Sumatra Utara (Aceh).[8]

            Ia menduduki jabatan sebagai mahapatih Majapahit pada tahun 1334. Ketika ia meninggal pada tahun 1364, sejak itu Majapahit mengalami titik turun. Tiga tahun lamanya Majapahit membiarkan berjalan tanpa perdana mentri. Jabatan yang ditinggalkan Gajah Mada dibiarkan kosong tak terisi. Para santana kerajaan tidak sanggup menemukan pengganti mahapati yang telah berlalu. Namun tidak hanya itu, seluruh kerajaan merasakan dukacita lantaran ditinggalkan oleh seorang negarawan yang paling dibanggakan.

            Dukacita yang lama mencekam seluruh negara menyebabkan Majapahit kehilangan kegairahan menjalankan tugas sehari – harinya sebagai suatu Negara Kerajaan yang paling Mashur di Asia Tenggara. Agama yang dianut oleh masyarakat tak bisa lain kecuali seagama dengan yang dianut oleh Gajah Mada, oleh punggawa Majapahit, Brahma, Shiwa, Wisnu, dan Budha dipersatukan sebagai satu agama, dan itulah agama resmi negara.

Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN

            Ditinjau dari segi sosial budaya dan mental spirituil, Majapahit dari suatu kerajaan yang berjaya dengan kemakmuran yang melimpah menjadi kerajaan yang buruk dikarenakan para pembinanya. Para pembina tidak berhasil membina kekayaan rohani dan jasmani lantaran dihanyutkan oleh pola hidup yang mewah di kalangan santana kerajaan. Hal tersebut dengan sendirinya meleyapkan semangat dan daya juang hilang untuk mengabdi bagi kepentingan orang banyak, sehingga agama yang dianut rakyat Majapahit tinggal nama saja, disebabkan karena isi ajaran – ajarannya tidak kuat membendung nafsu jahat, kepalsuan dan kebatilah. Para pembesar Majapahit hidup dalam kemewahan kini lupa tanggung jawab sebagai pelindung negara. Raja Majapahit tidak lagi berunding kepada siapa – siapa kecuali kepada kepercayaan kebatinannya yang sudah lama kosong dan goyah, mereka tidak mengendalikan nasibnya kepada siapa – siapa kecuali kepada sisa umurnya yang sudah lama menderita. Mereka putus asa sudah, memandang hari depan dengan sayu dan kosong.[9]

2.1.1.     Kedatangan Islam

            Rakyat Majapahit memandang kedatangan Islam sebagai cahaya yang membawa harapan pembaruan. Karena masih ada orang yang belum berputus asa, yaitu orang – orang ini lah  yang menjadi pelopor untuk memandang Islam sebagai harapan baru. Orang – orang inilah yang membangun kesadaran penduduk Majapahit yang sudah berputus asa untuk melihat Islam sebagai cahaya pembebas.[10] Rakyat Majapahit dapat menerima Islam disebabkan norma dan akhlak yang diajarkan dalam Islam yang dapat menyentuh hati mereka. Seperti, para pedagang Muslim yang kalau berdagang berpenampilan rapih dan bersih, kerbersihan sebagian dari Iman, melakukan ibadah di lapangan terbuka yang tidak mengeluarkan banyak biaya, hingga para masyarakat merasa dibohongi oleh para Brahmana, dan lain sebagainya.[11]

            Tidak diketahui secara pasti kapan kedatangan Islam pertama kali ke pulau Jawa. Apakah pada tahun sebelum 1102 Masehi ketika datang Fatimah binti Maimun bin Hibadillah, ataukah pada tahun 1399 Masehi saat kedatangan Maulana Malik Ibrahim, ataukah pada tahun 1416 Masehi menurut teori Dr. B.J.O. Schrieke. Namun pada kesimpulannya bahwa kedatangan Islam ke Jawa disambut oleh penduduk pulai ini dengan keterbukaan hati yang bersih. Lambat laun da`wah Islam itu menyentuh hati nurani kawula Majapahit yang telah lama merindukan kedatangan suatu pembaruan.

2.1.2.     Sebab – sebab Warga Majapahir Melepas Agamanya

            Ada beberapa sebab pokok mengapa warga kawula Majapahit terutama di daerah pedalaman, juga sebagian para punggawanya rela melepaskan kepercayaan Hindu-Budha yang telah dipeluk sejak nenek-moyangnya beratus tahun.

            Pertama, mereka memandang Islam sebagai suatu Agama yang memberi kecerdasan berfikir dalam soal kepercayaan – kepercayaannya sehingga prinsip – prinsip yang dipeluk menjadi `Aqidah yang masuk diakal mereka. Iman kepada Allah SWT, kepada Rasul, kepada Malaikat, kepada Kitab-suci, kepada Hari Qiamat dan kepada Hukum Taqdir yang memberikan pimpinan jalan berfikir mereka mengenai segala kepercayaan-ghaib yang masuk akal tidak atas dasar dogma lantaran main ikut – ikutan. Itulah Sebabnya maka Al-`Alamah Syekh Ibrahim Al-Laqani mengajarkan: “Tiap orang yang imannya terhadap ke-Esaan Allah hanya ikut – ikutan, ia tak akan sunyi mengalami kegoncangan batin dalam beriman”.

            Salah satu sebab utama keruntuhan Majapahit disebabkan karena kepercayaan rakyatnya tidak kokoh akibat membabi-buta terhadap kepercayaan yang dangkal tanpa sendi – sendi kebenaran hingga tidak sanggup memberi jawaban atau sekosongan batin mereka. Kerapuhan batin mereka tidak dikawal oleh alam berfikir mengenai kebenaran yang dianut, akibatnya menjadi beku sambil menerima nasib yang dibagi – bagikan oleh para pembesar atasan mereka. Dalam Islam, beribadah boleh mengikuti norma – norma yang berlaku sekalipun tidak tahu dalilnya. Akan tetapi dalam Iman, tidak boleh seseorang Cuma sekedar ikut –ikutan dalam kepercayaan, karena kepercayaan itu mestilah dibina menjadi keyakinan atas hasil pemikiran berdasarkan Wahyu Ilahi melalui utusannya.

            Kedua, kawula warga Majapahit menemukan di dalam Islam suatu jenis kebudayaan serta ritus (upacara ibadat) yang amat praktis. Semua berjalan tanpa berlebihan, tanpa menghamburkan waktu dan pembiayaan. Menjadi orang Islam cukup membaca Syahadat disertai kesadaran dan keyakinan bahwa tiada Tuhan yang layak disembah melainkan Allah SWT, dan Muhammad SAW adalah utusanNya.[12] Manusia dalam Islam adalah sama, letak perbedaan barang siapa paling terpuji taqwanya tidak perduli dia dari keturunan siapa dan dia golongan apa. Yang kuat melindungi yang lemah dan yang lemah ikut menjaga kewibawaan yang kuat. Pada tahun 1400 M (detik – detik jatuhnya Majapahit), di pesisir pantai utara Pulau Jawa telah banyak pemeluk agama Islam.[13]

            Ketiga, rakyat Majapahit memandang Islam sebagai satu kesatuan baru yang sedang tumbuh mendatangkan harapan pembaharuan. Dipandangan mereka Islam ialah suatu kekuatan sosial-politik, sosial-ekonomi, dan sosial-nudaya yang akan membentuk Orde-Keadilan yang mendatangkan kesejahteraan lahir maupun batin. Mereka menoleh kebelakang menyaksikan Majapahit yang sudah rapuh dan keropos luar-dalamnya akibat penumpukan kekuatan baik politik, ekonomi, maupun sosial-budaya bahkan agama, dalam hal ini penguasa Majapahit yang tidak mendidik rakyat untuk berpartisipasi dalam suka dan duka. Rakyat Majapahit tak lain dan tak bukan cumalah abdi-kawila untuk disuruh dan di perintah. Akibatnya mereka menjadi apatis dan tak pernah merasa ikut memiliki negara. Inilah sumber kerapuhan dan keruntuhan Majapahit. Sementara itu di kalangan klas penguasa tiada pembagian tugas secara adil, akibatnya menimbulkan rasa dendam, irihati dan ambisi untuk saling merebut kekuasaan. Nafsu-angkara telah menanam cita dunia secara berlebihan sehingga menimbulkan pola hidup dalam kemewahan.[14]

2.2 Biografi Raden Patah

             Raden Patah adalah raja Demak yang pertama. Kraton Demak Bintoro berdiri ditandai dengan sengkalan: geni mati siniraman janma atau tahun 1478 M, setelah mundurnya Sinuwun Prabu Brawijaya V dari dhampar kencana Kraton Majapahit. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan sebagai berikut: Sinuwun Prabu Brawijaya V di Majapahit, memiliki istri selir seorang putri Cina, yang cantik rupawan. Sang Prabu sangat berkenan dengan putri itu, sehingga akan dinobatkan sebagai permaisuri. Namun, permaisuri beliau yang bernama Ratu Dwarawati tidak mau menerimanya,  bahkan mengancam untuk mengundurkan diri jika putri Cina itu diangkat menjadi permaisuri. Sang Prabu kemudian memberikan surat kepada putranya, Raden Harya Damar di Palembang, supaya datang ke Gresik. Kemudian Putri Cina ke Gresik untuk diserahkan kepada Harya Damar agar dibawa ke Palembang.

            Putri Cina itu kemudian melahirkan bayi laki – laki yang diberi nama Raden Patah. Setelah dewasa ia kemudian pulang ke Majapahit, mengunjungi ayahandanya. Oleh Sinuwun Prabu Brawijaya, Raden Patah diangkat sebagai Adipati di Glagahwangi dengan nama Raden Adipati Natapraja di Demak.

            Raden Patah adalah putra terakhir raja Majapahit bernama Brawijaya.[15] Ibu Raden Patah seorang putri Cina dari kraton raja Majapahit. Waktu hamil putri Cina dihadiahkan kepada seorang anaknya yang menjadi gubernur di Palembang. Di situlah Raden Patah lahir. Sekitar tahun 1480 M, Raden Patah, yang sudah memeluk Islam kemudia terang – terangan memutuskan segala ikatannya kepada Majapahit yang sudah tidak berdaya lagi.

2.3 Pemindahan Kekuasaan

            Raden Patah, seorang pangeran Majapahit, lahir pada tahun 1455. Ia tidak tinggal diam menyaksikan Srikertabumi ayahnya, ketika dalam kebingungan serta ketakutan menghadapai pemberontakan yang dipimpin oleh sentana-keraton untuk menentang tahta Majapahit yang sah. Ia menyadari begitu banyak intrik-intrik atau persekongkolan kaum istana yang saling berebut menguasai Majapahit yang sudah diambang keruntuhan.

            Pada tahun 1478 pangeran muda yang masih berusia 23 tahun bangkit menyelamatkan negara Majapahit dan martabat bangsanya yang sedang dirobek – robek oleh komplotan golongan petualang dalam Istana. Ia tidak menemukan bumi Majapahit maupun mengemban pemulihan ketertiban dan keamanan negara namun ia tidak membiarkan kemorat-maritan anarchisme yang sudah meraja lela mengurung kehidupan masyarakat. Ia mengambil kepemimpinan negara dengan memindahkan pusat pemerintahan di pantai uatara pualau Jawa, di Demak atau Bintaro. Jiakalau ia mengambil Islam sebagai dasar Kerajaan Demak, itu adalah haknya, seperti juga yang dilakukan oleh raja – raja Majapahit sebelumnya yang mengambil Hindu dan Budha sebagai Kerajaan baru. Kalau tidak mendapat dukungan rakyat dan kaum santana-istana pastilah usahanya mendirikan Kerajaan Demak akan mengalami kegagalan, bahkan ia bisa mengalami nasib ketika Bhre Wirabhumi memproklamirkan dirinya sebagai raja Majapahit menggantikan Hayam Wuruk ayahnya, yang dipancung kepalanya oleh Wikranawardhana, iparnya hampir satu abad yang lalu.[16]

            Demak berdiri sebagai suatu Kerajaan penerus Majapahit. Suatu bukti bahwa Raden Fatah mendapat simpati an dukungan rakyat serta santana dan punggawa serta memperoleh restu para sesepuh masyarakat. Raden Fatah kini memakai gelar Sultan Al-Fattah Alamsyah Akbar, raja kerajaan Demak atau Bintoro. Ia cikal bakal yang menurunkan raja – raja di Jawa Hingga sekarang yang memakai gelar Sultan atau Sunan.[17]

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

            Ayahandanya, Sri Kertabumi Raja Majapahit yang terakhir tidak dibunuh, akan tetapi dibawa ke Demak untuk diselamatkan dari kemungkinan korban pembunuhan gelap oleh komplotan yang mendendam. Majapahit tidak dihancurkan hingga pada tahun 1527 bekas kerajaan itu dibiarkan hidup dibawah perlindungan Demak. Demak berdiri sebagai lambang kemenangan kekuatan baru yang bergelora. Sebaliknya, Majapahit lambang peradaban lama yang rapuh da terpecah – pecah. Suatu imbangan kekuatan antara yang baru dan sedang naik dengan penuh semangat menghadapi kekuatan lama yang lunglai dan sedang meluncur turun. Yang lebih dulu mengalami kekalahan ialah pusat kekuatanpolitik Majapahit yang diliputi intrik – intrik dan kacau balau dipercepat oleh penguasa Demak atas pelayaran pantai dan penguasaan ekonomi dan perdagangan pada khususnya.

            Kekuasaan Sultan Demak Bintoro mendapat restu para wali. Sekitar tahun 1480 M Adipati Demak yang bernama Raden Patah mendirikan kerajaan Islam. Ia mendapatkan dukungan tlatah – tlatah lainnya di Jawa Timur yang sudah Islam pula, seperti Jepara, Tuban, dan Gresik.[18]

2.4 Kerajaan Mataram

            Sunan Giri merupakan guru spiritual para raja Jawa. Di aliran sungai Opak dan Progo, yang bermuara di laut Selatan, sebelum tahun 1000 telah ngrembaka kebudayaan krusial yang mendapat banyak pengaruh dari India.[19] Puing candi – candi Syiwa dan Budha banyak terdapat di Kedu dan Mataram Hadiningrat yang merupakan peninggalan dari jaman pemerintah raja di Jawa Tengah bagian selatan.

            Ki Ageng Pemanahan adalah ayah kandung Kanjeng Penembahan Senopati. Ki Ageng Pemanahan memiliki 7 orang anak. Sibgkat cerita bahwa keberangkatan Ki Ageng Pemanahan ke negara Mataram Hadiningrat diketahui oleh sahabatnya Ki Ageng Karang Lo. Sesampai di tlatah Taji, Ki Ageng Karang Lo menjamu Ki Ageng Pemanahan bersama seluruh rombongan. Pada saat itulah mulai nama Ki Ageng Pemanahan akrab dipanggil Ki Gede Mataram Hadiningrat.[20] Ki Ageng Karang Lo mengantar Ki Ageng Mataram Hadiningrat hingga Kali Opak. Ki Ageng Pemanahan tidak memakai gelar yang lebih tinggi dari Ki Ageng Mataram Hadiningrat, namun anaknya yang menjadi penggantinya sewaktu diangkat di Kraton Pajang Hadiningrat telah diberi nama dan sekaligus gelar senopati ing Alaga oleh Sultan Pajang Hadiningrat. Gelar itu selanjutnya merupakan bagian tetap dari nama raja – raja Mataram Hadiningrat.

            Senopati yang masih muda itu pada 1584, mulai bersiap memerdekakan tanah warisnya. Yang paling mencolok dari kegiatannya itu ialah pembangunan tembok sekeliling istananya. Ini dilakukan atas nasihat dan petunjuk salah seorang dari para wali Islam, Kangjeng Sunan Kalijaga atau seorang penggantinya sebagai ulama dari Kadilangu.

            Senopati Mataram Hadiningrat yang masih muda mengabaikan kewajibannya terhadap Sultan Pajang Hadiningrat yang sudah tua, ia tidak menghadap Raja di kraton untuk memberikan penghormatan tahunan. Ia juga menggagalkan pelaksanaan hukuman yang harus dilakukan atas perintah raja terhadap keluarga Kanjeng Tumenggung di Mayang. Kanjeng Tumenggung Mayang itu adalah ipar Sinopati Mataram Hadiningrat.

            Setelah kembali ke kraton, Sultan Pajang Hadiningrat tidak lama kemudian wafat. Kemudian Kanjeng Sultan dimakamkan di Butuh. Manantunya, Sultan Demak Bintaro, memerintah di Pajang Hadiningrat hanya untuk waktu yang singkat. Ia segera ditundung oleh Kanjeng Pangeran Benawa, putra almarhum Raja yang lebih muda, yang bekerja sama dengan Senopati Mataram Hadiningrat. Baru sesudah Kanjeng Pangeran Benawa menyerahkan kekuasaan Panjang Hadiningrat kepada Senopati, Narendra Pajang Hadiningrat kepada Senopati, Narenda Mataram Hadiningrat yang muda itu dapat menganggap dirinya raja merdeka di Jawa Tengah bagian selatan. Sejak itu ia memakai gelar “Kanjeng Panembahan” pada tahun 1588.

            Kraton Mataram merupakan kelanjutan kraton Pajang. Kanjeng Panembahan Senopati, raja baru itu, karena merasa dirinya pengganti Kanjeng Sultan yang sah, berkeinginan menyatukan semua kedipaten di seluruh Jawa dalam satu payung kekuasaan. Mungkin Sultan Demak Bintoro pada mulanya menyesuaikan diri dengan perubahan kekuasaan, ia mengikuti Kanjeng Panembahan Senopati dalam perlawatannya ke Jawa Timur. Tetapi, trah terakhir Trah Demak Bintaro yang mulia itu akhirnya terpaksa meninggalkan tanah warisannya. Mula – mula ia hijrah ke Malaka dan kemudian ke Banten Darussalam.

            Raja Pragola dari Pati ialah adik ipar Kanjeng Panembahan Senopati Mataram Hadiningrat. Pragola ini pun mula – mula mengakui kekuasaan tertinggi Mataram Hadiningrat. Pangeran Kudus, trah wali yang besar peranannya dalam keruntuhan Kraton Majapahit pada sekitar 1590 hijrah ke Jawa Timur untuk menghindari penjajahan Narendra Mataram Hadiningrat. Kanjeng Pangeran Benawa, anak Kanjeng Sultan Panjang Hadiningrat, Hanya sebentar berposisi di Jipang, sebelum ia dengan bantuan Senopati dari Mataram Hadiningrat menjadi Sultan Panjang Hadiningrat pad 1587-1588. Pada 1591 wadyabala Mataram Hadiningrat merebut Jipang, sesudah Madiunn diduduki. Menurut babad Jawa, pada 1598 Senopati memerintahkan untuk memperkuat Jipang lagi dengan menggunakan angkatan kerja paksa dari tlatah Pajang Hadiningrat. Ini terjadi karena Jipang dan Bojonegoro meruakan tlatah perbatasan anatara Jawa Tengah dan Jawa Timur.

KESIMPULAN

Agama Islam datang ke pulau Jawa dari Pase atau Perlak baik langsung maupun melalui Malaka. Tetapi sumbernya Cuma satu, sama – sama datang dari Makkah (Arab). Rakyat Indonesia penduduk pulau Jawa menerima Islam dengan penuh kesadaran.

Raden Fatan, seorang pangeran Majapahit, lahir pada tahun 1455. Ia tidak tinggal diam menyaksikan Srikertabumi ayahnya, ketika dalam kebingungan serta ketakutan menghadapai pemberontakan yang dipimpin oleh sentana-keraton untuk menentang tahta Majapahit yang sah.

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

DAFTAR PUSTAKA 

Karim, M. Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya, 2014.

Munandar, Agus Aris, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Kedatangan Islam. Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve 2012.

Purwadi dan Maharsi. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam Tanah Jawa, Jogjakarta: Tunah Harapan. 2005.

Zuhri, Saifuddin. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: ALMA`ARIF. 1981.


[1] Saifuddin Zuhri. Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia. Bandung: ALMA`ARIF. 1981. Hlm. 214

[2] Ibid.,. Hlm. 214

[3] Ibid,. Hlm. 220

[4] Ibid,. Hlm. 220

[5] Agus Aris Munandar, dkk. Indonesia dalam Arus Sejarah, Kedatangan dan Peradaban Islam. (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve) 2012. hlm. 35

[6] Ibid., Hlm. 37

[7] Saifuddin Zuhri. Ibid., Hlm. 221

[8] Ibid., Hlm. 221

[9]  Ibid., Hlm. 229

[10] Ibid., Hlm. 230

[11] Penjelasan dari dosen M. Abdul Karim dalam diskusi kelas pada 04/05/16.

[12] Ibid., Hlm. 239

              [13] M. Abdul Karim. Islam Nusantara. Yogyakarta: Gramasurya, 2014. Hlm. 29.

[14] Saifuddin Zuhri. Ibid,.. Hlm. 242

[15] 38

[16] Ibid., Hlm. 243

[17] Ibid., Hlm. 244

[18] Purwadi dan Maharsi. Babad Demak, Sejarah Perkembangan Islam Tanah Jawa, Jogjakarta: Tunah Harapan. 2005. Hlm. 53

[19] 275

[20] 291

Comments

Popular Posts