Al-Ghozali dan Ibnu Rusyd (Kritik dan Pembelaan Filsafat)
Oleh: Krisnanda
PEMBAHASAN
A. Pendahuluan
Ibn Rusyd dikenal sebagai pembela filsuf dan filsafat Aristoteles dari
kesalahan pemahaman al-Farabi dan Ibn-Sina, serta dari serangan kritis
al-Ghazali. Dan juga menggunakan logika sebagai metode berpikir logis dan benar
dalam memproduksi pemikiran. Selain itu dia juga menggunakan logika sebagai
metode kritik, baik kritik nalar filsafat maupun kritik nalar syari’at.[1]
Ibn Rusyd (1126-1198) adalah filosof Muslim Barat terbesar di
abad pertengahan. Dia adalah pendiri pikiran merdeka sehingga memiliki pengaruh yang sangat tinggi di Eropa.[2] Ibnu Rusyd menanggapi pernyataan
tersebut dengan membuat analogi bahwa Allah sebagai sang pencipta mengeluarkan
banyak sifat produksi dan mampu mendatangkan sifat-sifat yang spektakuler, namun
ada saja yang meremehkan hal tersebut. Sehingga yang meremehkan itu menunjukkan
bahwa mereka tergolong ulama yang bodoh.
Menanggapi hal tersebut Ibnu Rusyd tampil sebagai pembela para
filosof dengan menulis buku yang cukup terkenal, tahafut at-tahafut
sebagai sanggahan terhadap tuduhan al-Gazali. Berfilsafat merupakan bagian dari
peradaban manusia.[3]
B. Al-Ghozali: Kritik Terhadap Para Filosof
Pada kali ini, al-Ghozali menyelidiki apakah pendapat – pendapat
para filosof sudah benar. Namun, argumen mereka tidak kuat dan menurut
keyakinan al-Ghazali ada yang bertentangan dengan ajaran Islam. Pada waktu
inilah ia mengarang buku “Maqasid al-Falasifah (Pemikir kaum Filosof). Dalam
buku ini ia menjelaskan pemikiran falsafat, terutama menurut Ibnu Sina. Sebagai
mana yang dijelaskan al-Ghozali sendiri dalam pendahuluan buku itu, yang mana buku
tersebut dikarang untuk mengkritik dan menghancurkan falsafat. Kritikan itu
berwujud buku yang berjudul Tahafut al-Falsifah (Kekaxcauan Pemikiran Filosof –
filosof).
Begitu juga halnya dalam ilm al-kalam, dalam falsafat al-Ghozali
juga menjumpai argumen – argumen yang tidak kuat. Akhirnya dalam tasawwuf lah
ia mendapat apa yang dicarinya. Ketidak puas dengan ilm al-kalam dan falsafat,
ia pun meninggalkan kedudukannya yang tinggi di Madrasah al-Nizamiah-Bagdad di
tahun 1095 M. dan pergi ke Damaskus bertapa di dalah satu menara mesjid Umawi
yang ada di sana.
Tasawwuf lah yang dapat rasa syak yang lama mengganggu
dirinya. Dalam tasawwuf ia memperoleh keyakinan yang dicari – carinya.
Pengetahuan mistiklah, cahaya yang diturunkan Tuhan ke dalam dirinya yang membuat
al-Ghozali mendapatkan keyakinannya kembali.
Mengenai cahaya ini ia mengatakan:
“Cahaya itu
adalah kunci dari kebanyakan pengetahuan dan siapa yang menyangka bahwa kasyf
(pembukaan tabir) bergantung pada argumen-argumen sebenarnya telah mempersempit
rahmat Tuhan yang demikian luas.... Cahaya yang dimaksud adalah cahaya yang
disinarkan Tuhan ke dalam hati sanubari seseorang.”
Dengan demikian, satu – satunya pengetahuan yang menimbulkan
keyakinan akan kebenaran bagi al-Ghozali adalah pengetahuan yang diperoleh
secara langsung dari Tuhan dengan tasawwuf.
Sebagaimana yang dijelaskan di atas, al-Ghozali tidak percaya pada
falsafat, bahkan memandang filosof-filosof sebagai alh al-bida yaitu
tersesat dalam beberapa pendapat mereka. Di dalam buku Tahafut al-Falasifah,
al-Ghozali menyalahkan filosof-filosof dalam pendapat berikut:
1.
Tuhan tidak
mempunyai sifat.
2.
Tuhan mempunyai
substansi basit (sederhana) dan tidak mempunyai mahiah (hakikat).
3.
Tuhan tidak
mengetahui juz`iat (perincian).
4.
Tuhan tidak
dapat diberi sifat al-jins (jenis) dan al-fasl (bagian).
5.
Planet – planet
adalah binatang yang bergerak dengan kemauan.
6.
Jiwa planet –
planet mengetahui semua juz`iat.
7.
Hukum alam
tidak dapat berubah.
8.
Pembangkitan
jasmani tidak ada.
9.
Alam ini tidak
bermula.
10.
Alam ini akan kekal.
Dari sepuluh pendapat diatas, ada 3 pendapat yang menurut al-Ghozali
membawa kepada kekufuran, yaitu:
1.
Alam kekal
dalam arti tak bermula.
2.
Tuhan tak
mengetahui perincian dari apa – apa yang terjadi di alam.
3.
Pembangkitan
jasmani tak ada.
Pendapat bahwa alam kekal dalam arti tidak bermula tak dapat
diterima dalam teologi Islam. Dalam teologi, Tuhan adalah Pencipta dan yang
dimaksud dengan Pencipta ialah yang menciptakan suatu dari tiada. Dan kalau
alam (dalam arti segala yang ada selain dari Tuhan) dikatakan tidak permula,
maka alam bukanlah diciptakan dan dengan demikian Tuhan bukanlah Pencipta. Dan
dalam al-Qur`an disebut bahwa Tuhan adalah Pencipta segala – galanya menurut
al-Ghozali tidak ada orang Islam yang menganut faham bahwa alam ini tidak
bermula. Dalam ketiga hal tersebut diatas, kau filosof kata al-Ghozali dengan
terang – terangan menentang nas atau teks al-Qur`an.
Jawaban dari pihak filosof terdapat serangan – serangan al-Ghozali
ini diberikan kemudian oleh Ibn Rusyd dalam bukunya Tahafut al-Tahafut
(kekacauan dalam kekacuan).
C.
Ibn Rosyd:
Filsafat Tidak Bertentangan dengan Islam
Menurut Ibn Rusyd falsafat tidak bertentangan dengan Islam, bahkan
orang Islam diwajibkan atau sekurang – kurangnya dianjurkan mempelajarinya.
Tugas falsafat tidak lain dari pada berfikir tentang wujud untuk mengetahui
Pencipta semua yang ada ini. Dan dalam ayat al-Qur`an:
Yang artinya: Tanda – tanda bagi orang yang berfikir, apakah
tidak mereka renungkan, apakah tidak mereka lihat, perhatikanlah apakah tidak
mereka ketahui, dan sebagainya menyuruh manusia suaya berfikir tentang wujud
dan alam sekitarnya untuk mengetahui Tuhan. Dengan demikian, al-Qur`an
sebenarnya menyuruh manusia supaya berfalsafat. Kalau pendapat Ibn Rusyd
selanjutnya, teks wahyu harus diberi interpretasi demikian rupa sehingga
menjadi sesuai dengan pendapat akal.
Maka dari itu dipakai ta`wil, ayat – ayat al-Qur`an yang
mepunyai arti – arti lahir dan batin. Arti batin disini hanya bisa diketahui
oleh para filosof. Menurut Ibn Rusyd, ada beberapa hal yang boleh diketahui
hanya oleh filosof. Oleh karena itu ulama yang tidak mau mengeluarkan pendapat
mereka kepada umum tentang masalah – masalah tertentu.
Dengan demikian, apa yang disebut ijma` ulama (konsensus
ulama) dalam persoalan tertentu tidak ditemukan. Oleh karena menurut Ibnu Rusyd
bahwa al-Ghazali tak mempunyai pegangan untuk menuduh kaum filosof menjadi
kafir atas alasan ijma` ulama.
Lebih lanjut Ibn Rosyd
mengatakan bahwa tiap Muslim mesti percaya pada tiga dasar keagamaan
yaitu: adanya Tuhan, adanya Rasul, dan adanya pembangkitan. Hanya orang yang
tidak percaya pada salah satu dari ketiga dasar inilah yang boleh dicap orang
kafir.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
Dalam mengkritik al-Ghozali, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa dalam
pandangan Islam segalanya dalam alam ini berlaku menurut hukum alam, yaitu
menurut sebab-musabab (causality). Al-Ghozali sendiri tidak percaya pada adanya
hubungan causality antara sebab dan musabab. Api membakar bukan karena
api mempunyai sifat membakar, tetapi karena kehendak mutlak Tuhan supaya api
membakar. Kalau Tuhan tidak menghendaki supaya api membakar, api tidak akan
membakar. Bagi al-Ghozali api biasanya membakar, jadi tidak selamanya membakar.
Menurut Ibn Rusyd sebaliknya, segala-galanya di alam ini berlaku menurut
peraturan –peraturan yang tertentu lagi sempurna. Menurut hukum sebab musabab.
Kalau api sifatnya membakar, api mesti selama-lamanya membakar dan bukan hanya
terkadang. Kalau ada kalanya api kelihatan tak membakar, maka itu mesti ada
sebabnya.
Pembelaan Ibnu Rusyd Terhadap Para Filosof
Pindah ke soal pembelaan Ibn Rusyd terhadap kaum filosof atas
serangan – serangan al-Ghazali, yang tersebut akhir ini, sebagai telah dilihat menuduh
kaum filosof menjadi kafir atas pemikiran – pemikiran mereka yang berikut:
1.
Alam bersifat
kekal.
2.
Tuhan tidak
mengetahui perincian yang terjadi di alam ini.
3.
Pembangkitan
jasmani tidak ada.
Mengenai soal pertama kaum teolog berpendapat bahwa “alam dijadikan
Tuhan” dalam arti “dijadikan dari tiada”. Pendapat kaum teolog ini, menurut Ibn
Rusyd, tidak mempunyai dasar syari`at yang kuat. Tidak ada ayat yang mengatakan
bahwa Tuhan pada mulanya berwujud sendiri, yaitu tidak ada wujud selain
diriNya, dan kemudian baru lah dijadikan alam. Ini kata Ibn Rusyd hanyalah
merupakan pendapat dan interpretasi kaum teolog.
Bahkan ayat – ayat
Qur`an menyatakan, kemudia Ibn Rusyd melanjutkan bahwa alam dijadikan bukanlah
dari tiada, tetapi dari sesuatu yang telah ada, seperti ayat al-Qur`an:
Yang artinya: “Dan Ialah yang menciptakan langit – langit dan
bumi dalam enam hari dan takhtaNya. (pada waktu itu) berada diatas air, agar Ia
uji siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya.” (Hud: 8).
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
Ayat ini, menurut Ibn Rusyd, mengandung arti bahwa sebelum adanya
wajud langit dan bumi telah ada wujud yang lain, yaitu wujud air yang di
atasnya terdapat tahta kekuasaan Tuhan. Tegasnya, sebelum langit – langit dan
bumi diciptakan telah ada air dan tahta.
Yang artinya: “Kemudian Iapun naik ke langit sewaktu ia masih
merupakan ua.:” (Hamim 11).
Ayat – ayat sebelum ayat ini mengatakan bahwa Tuhan menciptakan
bumi dalam dua hari, yang dihiasiNya dengan gunung – gunung dan diisiNya dengan
berbagai macam makanan. Kemudian barulah Tuhan naik ke langit yang pada waktu
itu masih merupakan uap. Ibn Rusyd mentafsirkan ayat ini mengandung arti bahwa langit
dijadikan sesuatui yaitu uap.
“Apakah orang – orang yang tak
percaya tidak melihat bahwa langit – langit dan bumi (pada mulanya) bersatu dan
kemudian kami pisahkan?! Kami jadikan segala yang hidup dari air.” (Al-Anbiya: 30).
Ayat ini diberi intrepretasi bahwa langit dan bumi pada mulanya
berasal dari unsur yang sama dan kemudian baru dipecah menjadi dua benda yang
berlainan. Dari ayat – ayat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebelum bumi
dan langit dijadikan, telah ada benda lain. Dalam sebagian ayat benda itu
diberi nama air, dan dalam ayat lain disebut uap. Uap dan air adalah
berdekatan. Selanjutnya dapat pula ditarik kesimpulan bahwa bumi dan langit
dijadikan dari uap atau air, dan bukan dijadikan dari tiada. Jadinya, alam
dalam arti unsurnya bersifat kekal dalam zaman lampau yaitu qadim. Bahwa
alam bersifat kekal dalam zaman depan dapat pula disimpulkan dari ayat
al-Qur`an.
Yang artinya:” Janganlah sangka bahwa Allah akan menyalahi janji
bagi Rasul-rasulNya, sesungguhnya Allah maha kuasa dan maha pemberi balasan. Di
hari bumi ditukar dengan bumi lain dan (demikian pula) langit: semuanya akan
datang ke hadirat yang maha Esa dan Maha kuasa.” (Ibrahim 47-48).\
Dalam ayat ini jelas kelihatan bahwa bumi dan langit akan ditukar
dengan bumi dan langit yang lain. Sesudah alam materi sekarang akan ada alam
materi lain.
Oleh karena itu, Ibn Rusyd dengan berpegang pada ayat ini
berpendapat bahwa alam ini betul
diwujudkan tetapi diwujudkan terus – menerus. Dengan kata lain alam adalah
kekal. Dengan demikian pendapat para fiosof tentang kekekalan alam tidak
bertentangan dengan al-Qur`an, apalagi tidak ada ayat al-Qur`an yang dengan
jelas dan tegas mengatakan bahwa alam diadakan dari tiada. Selanjutnya Ibnu Rusyd
melihat adanya perbedaan antara kaum teolog dan kaum filosof dalam mengartikan
kata al-ihdas (mewujudkan). Bagi kaum teolog mengandung arti “mewujudkan,
dari tiada” sedang bagi kaum filosof kata itu mengandung arti “mewujudkan, yang
tak bermula dan tak berakhir.” Demikian pula terdapat perbedaan faham antara
kedua golongan itu tentang apa yang dimaksud dengan qadim. Bagi kaum
teolog, qadim mengandung arti “sesuatu yang berwujud tanpa sebab.” Bagi
kaum filosof qadim tidak mesti mengandung arti hanya “sesuatu yang
berwujud tanpa sebab”. Dengan kata lain sesungguhnya ia disebabkan kalau ia
boleh bersifat qadim, yaitu tidak mempunyai permulaan dalam wujudnya. Dengan
demikian qodim adalah sifat bagi sesuatu yang dalam kejadian kekal,
“kejadian terus – menerus yaitu kejadian yang tak bermula dan tak berakhir. Dalam
arti inilah alam dijadikan Tuhan bagi kau filosof.
Tentang soal kedua, bahwa Tuhan
tidak mengetahui perincian yang ada dalam alam, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa
al-Ghazali salah faham: karena tidak pernah kaum filosof mengatakan yang
demikian. Yang dikatakan kaum filosof, menurut Ibnu Rusyd ialah bahwa
pengetahuan Tuhan tentang perincian yang terjadi di alam tidak sama dengan
pengetahuan manusia tentang perincian itu. Pengetahuan manusia dalam hal ini
mengambil bentuk effek, sedang pengetahuan Tuhan merupakan sebab, yaitu sebab
bagi wujudnya princian tersebut. Selanjutnya pengetahuan manusia bersifat
baharu dan pengetahuan Tuhan bersifat qadim, yaitu semenjak azal Tuhan mengetahui
segala hal – hal yang terjadi di alam, sungguh betapapun kecilnya.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
Adapun mengenai soalnya ketiga, bahwa kebangkitan jasmani tidak
ada, Ibnu Rusyd menuduh al-Ghazali mengatakan hal-hal yang saling bertentangan.
Di dalam Tahaful al-Falasifah, al-Ghazali menulis bahwa tidak ada orang
Islam yang mengatakan pembangkitan akan terjadinya hanya dalam bentuk rohani.
Keterangan ini, menurut Ibn Rusyd, bertentangan dengan tulisan al-Ghazali
sendiri dalam buku lain. Di dalam buku itu al-Ghazali menyebut bahwa
pembangkitan bagi kaum sufi akan terjadinya dalam bentuk jasmani. Oleh karena
itu tidak terdapat ijma` ulama` tentang soal pembangkitan di hari
kiamat. Dengan demikian, kaum filosof yang berpendapat bahwa pembangkitan
jasmani, tidak ada, maka tidak dapat dikafirkan.
Tetapi walaupun demikian, Ibn Rusyd berpendapat bahwa bagi orang
awam soal pembangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasamani lebih
mendorong bagi kaum awam untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan baik dan untuk
menjauhi perbuatan – perbuatan jahat.
Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
Daftar Pustaka
Nasution, Harun. Falsafat dan mistisisme dalam Islam. –Cet.
7. Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
Comments
Post a Comment
Thank You