AKAD DALAM TRANSAKSI BISNIS SYARIAH BERDASARKAN PERSPEKTIF AL-QURAN



Oleh : Achmad Nur Alfianto

ABSTRAK

Dewasa ini istilah Ekonomi Islam menjadi trend bagi sebagian besar masyarakat di Indonesia. Hal tersebut disebabkan banyaknya lembaga keuangan syariah yang digunakan oleh masyarakat dalam bertransaksi. Lembaga keuangan syariah terbukti menjadi solusi dan alternatif bagi masyarakat dalam bertransaksi.
Akan tetapi tidak sedikit juga masyarakat yang menganggap bahwa transaksi di lembaga keuangan syariah tidak ada bedanya dengan transaksi yang ada di lembaga keuangan konvensional.
Apabila di telaah lebih lanjut, perbedaan yang mendasar pada transaksi di lembaga keuangan syariah dengan transaksi yang ada di lembaga keuangan konvensional adalah pada sisi Akadnya. Akad dalam transaksi di lembaga keuangan syariah diatur dalam sumber hukum islam baik Al Quran, hadist maupun ijtihad ulama. Selain itu akad juga diatur oleh pasal-pasal dalam KUH Perdata. Sehingga akad selain mempunyai konsekuensi hukum yang bersifat ukhrowi, tetapi juga akad mempunyai konsekuensi terhadap hukum yang bersifat duniawi.
Kata kuci : Akad, Transaksi Syariah, Hukum

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dewasa ini lembaga keuangan syariah mulai menjadi “primadona” bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Lembaga keuangan syariah di Indonesia sudah banyak digunakan sebagai alternatif dalam transaksi keuangan.[1]

Perkembangan lembaga keuangan syariah diawali dengan berdirinya Bank Muamalat Indonesia pada tahun 1992 yang menjadi Bank Syariah pertama di Indonesia.[2] Lembaga keuangan syariah dan perbankan syariah mulai dilirik oleh masyarakat dan bahkan pemerintah semenjak lembaga keuangan syariah terbukti kebal terhadap krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997-1998.[3]

Krisis moneter tersebut tentunya mengakibatkan dampak negatif terhadap perekonomian Indonesia tidak terkecuali di dunia perbankan karena banyak Bank Konvensional yang akhirnya dilikuidasi. Pemerintah akhirnya mengambil tindakan dengan merestrukturisasi dan merekapitalisasi sebagian bank-bank di Indonesia.[4]

Kemudian pada tahun 1999 berdiri Bank Syariah Mandiri[5] yang merupakan bank umum syariah dan berasal dari bank mandiri yang merupakan bank konvensional sebagai tindak lanjut UU Nomor 10 tahun 1998.[6] Lembaga keuangan syariah pun semakin berkembang di Indonesia. Hal ini karena adanya dukungan pemerintah dengan mengeluarkan UU Nomor 21 tahun 2008[7] yang diantaranya berisi pernyataan bahwa Bank Konvensional boleh melayani transaksi keuangan syariah dengan memiliki Unit Usaha Syariah (UUS).

Mengingat sebagian besar masyarakat Indonesia mayoritas beragama Islam, merupakan peluang besar bagi kemajuan lembaga keuangan syariah di Indonesia. Lembaga keuangan syariah semakin familiar dan menjadi alternatif solusi keuangan bagi masyarakat baik umum maupun di dunia usaha. Selain karena sistem keuangan syariah yang lebih menguntungkan, banyak masyarakat yang menilai “cocok” dengan sitem keuangan syariah karena menggunakan akad yang jelas.

Akan tetapi di sisi lain pendapat masyarakat kita tentang perbankan syariah dan lembaga keuangan syariah masih mengalami delima terutama dalam hal pemahaman lembaga keuangan syariah, dimana masih ada masyarakat yang beranggapan bahwa lembaga keuangan syariah sama dengan lembaga keuangan konvensional. Sebagian masyarakat menganggap bahwa bagi hasil/nisbah lembaga keuangan syariah sama atau bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan lembaga keuangan konvensional.[8]

Dalam hal ini masyarakat tidak melihat bahwa lembaga keuangan syariah adalah sebuah lembaga yang telah memenuhi standar syariah, tunduk dan patuh kepada Dewan Syariah dan Pengawas Syariah Nasional serta dikelola sesuai dengan sistem syariah sesuai dengan kaidah hukum Islam (Syar’i). Dan yang sangat substansial adalah dalam hal akad antara pihak lembaga keuangan dengan nasabah, dimana terdapat keterbukaan dan kebersamaan  dalam hal penetapan bagi hasil / nisbah yang akan disepakati, bukan berdasarkan tingkat suku bunga seperti yang berlaku pada bank konvensional.[9]

Sehingga dengan adanya akad dalam setiap transaksi syariah kemudian menjadi perbedaan antara transaksi di lembaga keuangan syariah dengan transaksi di lembaga keuangan konvensional.

B.      Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas dapat diperoleh rumusan masalah sebagai berikut:
1.       Apa pengertian dari Akad?
2.       Bagaimana pentingnya peranan Akad dalam transaksi syariah?

C.   Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui pengertian dari Akad baik menurut Al-Quran maupun Hadist, ataupun secara istilah.
2.  Untuk mengetahui pentingnya peranan Akad dalam transaksi syariah.


PEMBAHASAN
A.     Metodologi Tafsir Al Quran mengenai Akad
Sebagai  sebuah  metodologi,  tafsir  ekonomi  al-Qur‟an  mempunyai  peluang yang  baik  bagi  pengembangan  ilmu  ekonomi  Islam.  Model  tafsir  ini  dimodifikasi dari  metode  tafsir  tematik    dengan  tahapan  kerja  sebagai  berikut:  pertama, menginventarisasi ayat-ayat  yang terkait dengan permasalahan ekonomi yang akan dibahas,  baik  berdasar  pada  kata  kunci  maupun  pada  kandungan  ayat.  Kedua, mengurutkan  ayat-ayat tersebut berdasar urutan turunnya surat  yang didukung oleh asbabun  nuzul  baik  secara  mikro  maupun  makro.  Ketiga,  menafsirkan  ayat-ayat dengan  corak  adabi  al-ijtima’i  wal-iqtishadiyyah. Keempat,  melakukan konstektualisasi dalam realitas perekonomian.

B.      Pengertian Akad
Hukum Islam yang mengatur hubungan antar sesama manusia yang menyangkut kegiatan ekonomi dan bisnis dikenal dengan istilah fikih muamalah. Adapun kegiatan operasionalnya dilakukan oleh manusia sesuai dengan kebutuhan. Dengan demikian, praktik muamalah dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan masyarakat. Umumnya, aspek dan materi muamalah berkaitan dengan masalah akad atau transaksi.[1]

Akad berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata العقد yang berarti menyimpulkan, membuhul tali, perjanjian, persetujuan, penghitungan, mengadakan pertemuan.[2] Kata akad berasal dapat juga diartikan sebagai ikatan atau simpul baik ikatan yang nampak maupun tidak nampak.[3] Kamus al-Mawrid, menterjemahkan al-‘Aqd sebagai contract and agreement atau kontrak dan perjanjian.[4]

Sedangkan akad atau kontrak menurut istilah adalah suatu kesepakatan atau komitmen bersama baik lisan, isyarat, maupun tulisan antara dua pihak atau lebih yang memiliki implikasi hukum yang mengikatuntuk melaksanakannya.[5]

Akad dalam bahasa Indonesia juga dikenal dengan istilah perjanjian, perikatan, atau kontrak.[6] Perjanjian berarti suatu peristiwa yang mana seseorang berjanji kepada orang lain atau pihak lain (perorangan maupun badan hukum) atau suatu peristiwa yang mana dua orang atau pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal.[7] Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, yang mana satu pihak berhak menuntut suatu hal dari pihak yang lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.[8]

Akad dalam kehidupan umat manusia begitu penting karena merupakan salah satu faktor menjadi halalnya sesuatu bagi mereka. Hal tersebut disebutkan dalam hadist yang artinya sebagai berikut:

Orang-orang muslim itu terikat kepada perjanjian-perjanjian (Klausul-klausul) mereka, kecuali perjanjian (klausul) yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram”. (Hadis riwayat Bukhari, Tirmizi dan al-Hakim)[9]

Hal lain juga terjadi dalam berbagai interaksi kehidupan manusia. Jual beli, sewa menyewa dan lain sebagainya merupakan contoh di mana terjadi kontrak (akad) atau perjanjian sebagai landasan hukumnya.[10]

Di antara ahli hukum ada yang beranggapan bahwa antara istilah perjanjian dan perikatan terdapat kesamaan dalam pengertiannya, karena diterjemahkan dari bahasa Belanda yaitu dari kata verbintenis sehingga diantara ahli hukum ada yang memakai keduanya sebagai istilah akad atau transaksi yang dilakukan.[11]

Menurut Wahbah az­Zuhaili, akad berarti pengikatan ijab dengan kabul sesuai dengan cara yang telah ditentukan oleh syara’ dan mempunyai akibat hukum tertentu bagi pelakunya.  Menurut Tahir Azhary, hukum perjanjian Islam adalah merupakan seperangkat kaidah hukum yang bersumber dari al­Quran, Hadits, dan Ijtihad yang mengatur hubungan antara dua orang atau lebih mengenai suatu benda yang dihalalkan menjadi obyek suatu transaksi.[12]

Sementara Ahmad Azhar Basyir, memberikan definisi akad sebagai suatu perikatan antara ijab dan kabul dengan cara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan adanya akibat­akibat hukum pada obyek. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan, sedang kabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[13]

Dalam berbagai hukum perjanjian, apabila suatu akad (perjanjian) telah memenuhi semua syarat­syaratnya dan menurut hukum perjanjian Islam apabila telah memenuhi rukun dan syarat­syaratnya perjanjian tersebut mengikat dan wajib dipenuhi serta berlaku sebagai hukum.[14] Rukun adalah unsur-unsur yang membentuk terjadinya akad. Tidak adanya rukun menjadikan tidak sahnya suatu akad. Adapun rukun dan syarat akad adalah sebagai berikut:
1. Al ‘aqidain (pihak-pihak yang melakukan akad).
2. Obyek akad.
3. Sighat al ‘aqd (pernyataan untuk mengikat/pernyataan akad).
4. Tujuan akad.[15]

Rukun dan syarat yang dikemukakan oleh para ulama bertujuan agar akad yang dilakukan menjadi sempurna, sehingga tidak ada peluang bagi seseorang mencari cela untuk berbuat curang kepada sesamanya dan akad yang dilakukan akan memberikan hasil yang maksimal bagi semua pihak yang berakad. Rukun dan syarat akad sangat menentukan sahnya sebuah akad (perjanjian/perikatan) dalam hukum Islam.

C.     Ayat-ayat Akad dalam Al Quran
Dalam al-Qur‟an terdapat beberapa kata yang sesuai dengan akad seperti ‘aqad (akad/kontrak), ‘ahdun (perjanjian), dan ribath (ikatan). Pada kata ‘aqad  disebutkan sebanyak 6 kali dalam ayat alquran. Sedangkan kata ‘ahdun dan ribath terdapat 37 dan 5 kali sehingga secara keseluruhan penulis menemukan sejumlah 48 kali yang terdapat di dalam ayat alquran.
Dalam Al Quran kata al-‘Aqd  atau akad berdasarkan mu'jam mufahras li alfad al qur'an terdapat dalam surat dan ayat An Nisaa : 33, Al Maidah : 1, 89, Al Baqarah :235, 237, Tahaa : 27, dan Al Falaq : 4.
Kata akad dalam Bahasa arab juga mempunyai arti yang sejenis dengan kata  Ø§Ù„ربط yang berarti menyambung, dan kata العهد   yang berarti kesepakatan/ perjanjian.[16] Kata al ribatun” berdasarkan mu'jam mufahras li alfad al qur'an terdapat dalam alquran dalam surat dan ayat Al Kahfi : 14, Al Qashash : 10, Al Anfaal : 11, 20, dan Ali Imron : 200.

Sedangkan kata “al ‘ahd”  berdasarkan mu'jam mufahras li alfad al qur'an terdapat dalam alquran dalam surat dan ayat Al Baqarah : 27, 40, 80, 100, 124, 125, 177, Al Ahzab : 15, 23, Ali Imron : 76, 77, 183, Al An'am : 152, Al A'raf : 102, 134, At Taubah : 1, 4, 12, 7, 12, 75, 111, Ar Ra'du : 20, 25, An Nahl : 91, 95, Al Isra : 34, Tahaa : 86, 115, Maryam : 78, 87, Al Anfaal : 56, Al Mukmin : 8, Al Ma'arij : 32, Al Zukhruf : 49, Yasin : 60 dan Al Fath : 10.

Sebagaimana diurai di atas tentang tahapan metode tafsir, ayat-ayat dalam al-Qur’an tersebut yang berkaitan dengan akad berdasar kata kunci dan kandungan makna akad dengan dipilah menjadi kelompok Makiyah dan Madaniyah adalah sebagai berikut: 
 Tabel 1. Klasifikasi Makiyah dan Madaniyah beserta urutan turunnya surat

MAKIYAH

MADANIYAH

No. Urut Turunnya Ayat

Surat & Ayat

No. Urut Turunnya Ayat

Surat dan Ayat

20

Al-Falaq: 4

87

Al-Baqarah: 27, 40, 80, 100, 177, 124,125, 235, 237

39

Al-A'rof: 102 , 134

88

Al-Anfal: 11, 20, 56, 60

41

Yasiin: 60

89

Al-'Imron: 76, 77, 183, 200

44

Maryam: 78, 87

90

Al-Ahzab: 15, 23

45

Thaha: 27,86,115

92

An-Nisa: 33

49

Al-Qoshash: 10

96

Ar-Ro'du: 20, 25

50

Al-Isro': 34

111

Al-Fath: 10

63

Az-Zukhruf: 49

112

Al- Maidah: 1, 89

69

Al-Kahfi: 14

113

At-Taubah: 1, 4, 7, 12, 75, 111

70

An-Nahl: 91,  95

74

Al-Mu'minun: 8

79

Al-Ma'arij: 32

 

 



 


















Dari pemilahan diatas, diperoleh bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan akad atau perjanjian lebih banyak pada periode Madinah yakni 31 ayat pada 9 surat. Sedangkan di Makkah terdapat 17 ayat pada 12 surat. Dapat disimpulkan bahwa pada periode setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah banyak turun ayat-ayat mengenai akad. Hal tersebut wajar karena pada saat setelah Nabi Muhammad tinggal di Madinah, Madinah menjadi salah satu pusat transaksi seluruh dunia pada saat itu. Sehingga ayat-ayat mengenai akad turun berdasarkan peristiwa yang disesuaikan pada saat itu secara kontekstual.

Dari pemilahan diatas, diperoleh bahwa ayat-ayat yang berkaitan dengan akad atau perjanjian lebih banyak pada periode Madinah yakni 31 ayat pada 9 surat. Sedangkan di Makkah terdapat 17 ayat pada 12 surat. Dapat disimpulkan bahwa pada periode setelah Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah banyak turun ayat-ayat mengenai akad. Hal tersebut wajar karena pada saat setelah Nabi Muhammad tinggal di Madinah, Madinah menjadi salah satu pusat transaksi seluruh dunia pada saat itu. Sehingga ayat-ayat mengenai akad turun berdasarkan peristiwa yang disesuaikan pada saat itu secara kontekstual.

D.     Prinsip Akad dalam Al Quran
Tahap  selanjutnya,  dari  metodologi  tafsir  ekonomi  Al-Qur’an  ini  adalah menafsirkan  ayat-tersebut  dengan  pendekatan   adabi  al-ijtima’i  wal  iqtishadiyah. Tahapan ini dimaksudkan untuk dapat mengambil prinsip-prinsip akad.
1.       Prinsip Akad dalam Surat Makiyyah
Sebagian besar ayat-ayat makiyyah tentang akad membahas tentang kisah pada jaman Nabi Musa AS. Seperti pada surat Al A’raf ayat 102 yang merupakan penjelasan lanjut dari Al A’raf ayat 101 bahwa Allah akan membinasakan orang-orang kafir yang tidak memenuhi perjanjian. Orang-orang yang tidak memenuhi perjanjian tersebut digolongkan kedalam golongan orang fasik.
Yang Artiya:
101. negeri-negeri (yang telah Kami binasakan) itu, Kami ceritakan sebagian dari berita-beritanya kepadamu. dan sungguh telah datang kepada mereka Rasul-rasul mereka dengan membawa bukti-bukti yang nyata, Maka mereka (juga) tidak beriman kepada apa yang dahulunya mereka telah mendustakannya. Demikianlah Allah mengunci mata hati orang-orang kafir. 
102. dan Kami tidak mendapati kebanyakan mereka memenuhi janji. Sesungguhnya Kami mendapati kebanyakan mereka orang-orang yang fasik.

Kebiasaan tidak memenuhi perjanjian orang-orang tersebut juga digambarkan dalam Al A’raf ayat 134 ketika Bani Israil ditimpa musibah/adzab. Orang-orang tersebut memohon kepada Nabi Musa untuk berdoa kepada Allah agar menghilangkan adzab, dengan itu orang-orang tersebut akan beriman. Akan tetapi setelah dihilangkan adzabnya oleh Allah, mereka mengingkari janjinya untuk beriman kepada Allah dan Nabi Musa.

Akad atau perjanjian berdasarkan Al A’raf ayat 102, dan ayat 134 menggambarkan bahwa perjanjian dapat dilakukan hanya dengan perjanjian kepada Allah dan perjanjian kepada sesama manusia. Dapat dibilang akad erat hubungannya dengan istilah hablum minallah dan hablum minannas. Karenanya Allah melarang manusia untuk mengadakan perjanjian dengan selain Allah dan manusia. Seperti yang dijelaskan pada surat Yaasin ayat 60 Allah melarang manusia untuk melakukan perjanjian dengan syaithan maupun sebangsa jin.
Yang artinya: 
60. Bukankah aku telah memerintahkan kepadamu Hai Bani Adam supaya kamu tidak menyembah syaitan? Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi kamu. 

Lebih lanjut dalam surat Maryam ayat 78-79 menjelaskan bahwa perjanjian yang dilakukan dengan sesuatu yang ghoib maka akan di adzab.

Yang artinya:

78. Adakah ia melihat yang ghaib atau ia telah membuat Perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah?,
79. sekali-kali tidak, Kami akan menulis apa yang ia katakan, dan benar-benar Kami akan memperpanjang azab untuknya.  

Akan tetapi berkebalikan dengan ayat 78-79, pada surat Maryam ayat 87 Allah akan memberi Syafaat kepada orang-orang yang berjanji kepada Allah dan tidak mengingkarinya.

Yang artinya:

87. mereka tidak berhak mendapat syafa'at kecuali orang yang telah Mengadakan Perjanjian di sisi Tuhan yang Maha Pemurah.

Selanjutnya pada surat Tahaa ayat 27, masih bercerita tentang kisah nabi Musa, dimana pada saat itu nabi musa berdoa kepada Allah agar dilancarkan kegiatan dakwahnya kepada Bani Israil. Nabi musa berdoa kepada Allah agar dihindarkan dari terikatnya lidah atau gagap kalo diistilahkan pada jaman sekarang. Kemudian pada surat Tahaa ayat 86 dan dijelaskan pada ayat 87-88 menceritakan bahwa Bani Israil mengingkari janjinya dan tidak beriman kepada Allah dan Nabi Musa. Padahal Allah selalu menepati janji-Nya dan janji-Nya adalah yang paling baik. Kaum Bani Israil yang lalai dan lupa akan janjinya akan dimurka oleh Allah SWT.

Beberapa ayat tersebut juga diperjelas dengan surat Tahaa ayat 115 yang sebelumnya disebutkan dalam ayat 113-114, bahwa Al Quran adalah firman Allah yang berisi sebagian ancaman dan perintah agar bertaqwa. Tapi kebanyakan dari kita adalah lalai atau lupa.

Melanjutkan dari penjelasan surat Tahaa ayat 115, pada surat Al Qashash ayat 10 menekankan kepada kita bahwa orang-orang yang teguh pendiriannya dan orang-orang yang teguh terhadap janjinya, maka orang tersebut termasuk orang yang beriman kepada janji Allah SWT.

Perintah Allah mengenai pentingnya akad atau perjanjian selanjutnya dijelaskan dalam surat Al Isra’ ayat 34 yang berisi tentang larangan memakan harta anak yatim dan perintah memenjuhi perjanjian atau akad. Karena setiap perjanjian akan dimintai pertanggung jawabanya. Yang artinya:

34. dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih baik (bermanfaat) sampai ia dewasa dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.

Terkait dengan perintah akan perjanjian, Allah SWT juga memerintahkan kepada kita untuk melakukan kegiatan transaksi atau perjanjian dengan jujur. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Isra’ ayat 35 yang menyatakan bahwa setiap transaksi (jual beli) harus sesuai takarannya, dan berat timbangan juga harus sesuai dengan neraca yang benar. Dalam hal transaksi tidak boleh ada penipuan, atau salah satu pihak tidak boleh ada yang dirugikan.Yang artinya: 

35. dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. 

Penjelasan tentang surat Tahaa juga dilanjutkan dalam surat Zukhruf ayat 49. Ayat tersebut menjelaskan kisah Nabi Musa, Fir’aun dan ahli sihirnya. Para ahli sihir diminta untuk menghilangkan adzab yang pada saat itu menimpa Fir’aun dan rakyatnya. Akan tetapi ahli sihir tersebut tidak mampu. Pada saat itu Nabi Musa diminta untuk berdoa kepada Allah untuk menghilangkan adzab Fir’aun dengan janji Fir’aun akan beriman kepada Allah dan Nabi Musa jika adzabnya hilang. Akan tetapi setelah adzabnya hilang, Fir’aun kembali mengingkari janjinya.

Kisah Fir’aun dalam surat Zukhruf 49 tersebut berkebalikan dengan kisah Ashabul Kahfi yang diselamatkan oleh Allah dengan ditidurkannya Ashabul Kahfi selama bertahun-tahun. Setelah dibangunkan kembali oleh Allah SWT para Ashabul Kahfi bersumpah, berjanji  dan beriman kepada Allah SWT Tuhan semesta alam.

Berkaitan dengan surat Al Qashash ayat 10 tentang perintah menepati janji juga dijelaskan dalam surat An Nahl ayat 91. Bahwa setiap perjanjian harus ditepati dan tidak boleh membatalkanya secara sepihak. Kemudian ayat ini menyebutkan bahwa setiap perjanjian atau akad Allah adalah sebagai saksinya dan Allah maha mengetahui.Yang artinya: 

91. dan tepatilah Perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

Selanjutnya berkaitan dengan prinsip kejujuran dan ketebukaan dalam perjanjian ataupun transaksi pada surat Al Isra’ ayat 35 juga didukung oleh firman Allah surat An Nahl ayat 95 yang dijelaskan juga dalam ayat 94, bahwa tidak boleh menggunakan perjanjian atau transaksi sebagai alat tipu daya. Karena Allah SWT sebagai saksinya. Yang artinya:

94. dan janganlah kamu jadikan sumpah-sumpahmu sebagai alat penipu di antaramu, yang menyebabkan tergelincir kaki (mu) sesudah kokoh tegaknya, dan kamu rasakan kemelaratan (di dunia) karena kamu menghalangi (manusia) dari jalan Allah; dan bagimu azab yang besar. 
95. dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), Sesungguhnya apa yang ada di sisi Allah, Itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

Karena sudah jelas bahwa setiap yang melanggar perjanjian akan di Adzab oleh Allah SWT, akan tetapi orang yang menepati perjanjian akan diberi syafaat oleh Allah SWT. hal tersebut dijelaskan dalam surat Al Mukminun ayat 8-11 dan jelaskan juga dalam surat Al Ma’arij ayat 32 yang menyatakan bahwa orang-orang yang memenuhi dan menepati perjanjiannya, serta orang-orang yang menjaga Sholatnya, maka pahalanya adalah Surga Firdaus, dan mereka kekal didalamnya. Yang artinya:

8. dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.
9. dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya.
10. mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi,
11. (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya. 

2.       Prinsip Akad dalam surat Madaniyyah

Kemudian jika dilanjutkan pada Ayat-ayat Madaniyyah dalam surat Al Baqarah ayat 27,40,80,dan100, dijelaskan lagi bahwa orang yang melanggar perjanjian digolongkan dalam golongan orang fasik. Berkebalikan dengan Al Baqarah ayat 27,40,80,dan100, dalam surat Al Baqarah ayat 177 menyatakan bahwa orang yang menepati janjinya maka digolongkan kedalam orang yang bertaqwa dan merupakan orang yang sebenar-benarnya iman. Sedangkan dalam mengadakan perjanjian, kita dianjurkan untuk tidak mengadakan perjanjian dengan orang-orang yang dholim, karena akan merugikan salah satu pihak. Hal tersebut disebutkan dalam Al Baqarah ayat 124-125.

Selain tidak boleh mengadakan perjanjian dengan makhluk Ghoib, dan orang-orang yang dholim, kita juga tidak boleh mengadakan perjanjian secara rahasia. Seperti disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 235 yang menyatakan bahwa Allah melarang mengadakan perjanjian pernikahan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia. Yang artinya:

235. dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun.

Dari surat Al Baqarah ayat 235 dapat dilihat bahwa beberapa contoh surat Madaniyyah sebagian besar membahas tentang gejala-gejala sosial yang ada pada masyarakat Madinah pada waktu itu. Sehingga konsekuensi dari pelanggaran perjanjian sosial antar sesama manusia juga mempunyai konsekuensi sosial juga. Hal ini digambarkan dalam surat Al Baqarah ayat 237 yang berisi tentang kafarat seseorang yang menceraikan istrinya sebelum ia berhubungan dengan istrinya, adalah dengan membayar seperdua atau setengah dari mahar yang ia berikan kepada istrinya. Yang artinya:

237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Dengan kata lain misal seorang suami memberi mahar emas 100 gram, ketika ia menceraikannya sebelum berhubungan badan maka ia harus membayar kifarat 50 gram lagi.

Selanjutnya dalam surat Al Anfal ayat 11 dan 60 menjelaskan kata akad merupakan seuatu perikatan,pertalian yang kuat. Hal tersebut juga disebutkan dalam surat Al Falaq ayat 4. Sehingga hal ini berarti akad, perjanjian ataupun transaksi mempunyai hubungan yang kuat antar pihak-pihak yang melakukan perjanjian ataupun transaksi tersebut. Selain hubungan antar manusia, lebih luas lagi perjanjian dapat dilihat dari hubungan atau perjanjian yang dilakukan oleh beberapa Negara. Istilah tersebut sering dikenal dengan perjanjian Bilateral atau Multilateral. Dalam hal ini tentu tidak menutup kemungkinan diadakan perjanjian dengan orang-orang non muslim (kafir). Selama orang kafir tersebut tidak lalai dan tidak melanggar perjanjian itu diperbolehkan. Akan tetapi jika orang kafir tersebut melanggar janji berkali-kali, maka berdasarkan surat Al Anfal ayat 55-56 orang kafir tersebut adalah orang yang paling buruk. Yang artinya:

55. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. 
56. (yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil Perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada Setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya).

Dilanjutkan membahas surat Ali Imron, dalam ayat 76 Allah menyukai orang-rang yang menepati janji dan orang yang bertaqwa. Dari ayat tersebut boleh dibilang bahwa orang yang menepati perjanjian dapat disetarakan dengan orang yang bertaqwa. Bahkan dalam surat Ali Imron ayat 77 lebih ditekankan lagi kepada orang yang suka melanggar perjanjian besok pada hari akhir Allah tidak akan bicara kepada orang yang suka melanggar janji, dan mereka tidak akan bias melihat Allah SWT secara langsung. Sedangkan hukuman dari pelanggar perjanjian adalah adzab neraka yang pedih seperti yang disebutkan juga dalam surat Ali Imron ayat 183. Selain itu dalam surat Ali Imron ayat 200 Allah juga memerintahkan bagi orang-orang yang beriman agar sabar dan menepati perjanjian.

Beberapa ayat yang sudah disebutkan diatas menyatakan bahwa perjanjian harus dipenuhi karena akan dimintai pertanggung jawabanya. Hal tersebut juga senada dengan surat Al Ahzab ayat 15. Yang artinya:

15. dan Sesungguhnya mereka sebelum itu telah berjanji kepada Allah: "Mereka tidak akan berbalik ke belakang (mundur)". dan adalah Perjanjian dengan Allah akan diminta pertanggungan jawabnya. 

Dalam surat al Ahzab ayat 23 disebutkan bahwa perbedaan orang mukmin dengan orang munafik adalah jika orang munafik adalah orang yang melanggar janjinya. Yang artinya: 

23. di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu dan mereka tidak merobah (janjinya).

Karena sekali lagi setiap perjanjian disaksikan oleh Allah. Hal tersebut difirmankan Allah dalam surat An Nisa ayat 33. Orang yang menepati perjanjian juga digolongkan kedalam orang yang berakal (pandai). Hal tersebut difirmankan Allah SWT dalam surat Al Ra’du ayat 20 bahwa orang yang tidak mencederai janjinya merupakan orang yang berakal. Sedangkan dalam surat Al Ra’du ayat 25 dan dijelaskan juga dalam surat al Fath ayat 10 orang-orang yang menepati janji akan mendapatkan pahala, sedangkan orang yang merusak janji yang sudah di ikrarkan maka akan dikutuk oleh Allah dan ditempatkan di neraka. Yang artinya:

25. orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan Mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang Itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam).

Selanjutnya disebutkan dalam surat al Maidah ayat 1 bahwa setiap transaksi, setiap perjanjian wajib dipenuhi atas perjanjian tersebut. Seperti dalam surat Al baqarah, dalam surat Al Maidah ayat 89 juga mengandung konsekuensi sosial jika melakukan cedera janji atau malanggar perjanjian. Seperti disebutkan dalam ayat tersebut, siapa saja yang melanggar sumpah/perjanjian maka konsekuensinya adalah dengan memberi makan orang miskin sejumlah 10 orang, atau melakukan puasa selama 3 hari berturut-turut. Yang artinya:

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

Penekanan mengenai perjanjian juga disebutkan dalam surat At Taubah ayat 1. Dalam ayat tersebut ada larangan mengadakan perjanjian atau transaksi dengan orang musyrik. Karena orang musyrik sudah putus hubungan dengan Allah SWT dan Rasulnya. Sehingga dengan kata lain transaksi maupun perjanjian tersebut tidak disaksikan oleh Allah SWT. Yang artinya:

1. (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan RasulNya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yang kamu (kaum muslimin) telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka). 

Akan tetapi berbeda dengan ayat 1 tersebut, dalam surat At Taubah ayat 4 dan ayat 7 diperbolehkan melakukan transaksi maupun perjanjian dengan orang musyrik, asalkan orang musyrik tersebut memenuhi perjanjiannya dan orang musyrik tersebut tidak berkhianat terhadap janjinya. Sedangkan dijelaskan dalam surat At Taubah ayat 12, orang-orang musyrik yang ingkar terhadap janjinya, diperintahkan Allah untuk memeranginya. Sedangkan orang yang mengingkari janjinya juga digolongkan kedalam golongan orang munafik, sedangkan orang yang tepat janji adalah golongan orang mukmin, dijelaskan lebih lanjut dalam Surat Al Taubah ayat 77. Yang artinya:

77. Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta.

Janji Allah kepada orang mukmin dalam surat At Taubah ayat 111 menyebutkan bahwa semua harta dan jiwa orang-orang mukmin ganjarannya adalah surga. Yang artinya:

111. Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar. 

E.      Pengelompokkan jenis Akad dalam beberapa Bidang

Berdasarkan kandungan dan prinsip akad yang ada dalam Al Quran dan sudah dibagi berdasarkan jenis surat makiyyah dan surat madaniyyah, diperoleh bahwa surat-surat madaniyyah banyak mengandung kata akad dan kata yang serupa. Selain itu secara kontekstual, jenis-jenis akad dapat dikelompokkan menjadi beberapa bidang sebagai berikut:

1.  Akad Sosial

Seperti yang sudah disampaikan pada pembahasan diatas, disebutkan bahwa dalam surat madaniyyah terkandung ayat yang mempunyai kaitanya dengan sosial sesuai keadaan pada jamanya. Sehingga konsekuensi dari perintah maupun laranganya juga bersifat sosial. Sebagai contoh seperti disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 235 yang menyatakan bahwa Allah melarang mengadakan perjanjian/ akad pernikahan secara sembunyi-sembunyi atau rahasia.Yang artinya:

235. dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu dengan sindiran atau kamu Menyembunyikan (keinginan mengawini mereka) dalam hatimu. Allah mengetahui bahwa kamu akan menyebut-nyebut mereka, dalam pada itu janganlah kamu Mengadakan janji kawin dengan mereka secara rahasia, kecuali sekedar mengucapkan (kepada mereka) Perkataan yang ma'ruf. dan janganlah kamu ber'azam (bertetap hati) untuk beraqad nikah, sebelum habis 'iddahnya. dan ketahuilah bahwasanya Allah mengetahui apa yang ada dalam hatimu; Maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah bahwa Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. 

Selain itu dalam surat Al Baqarah ayat 237 yang berisi tentang kafarat seseorang yang menceraikan istrinya sebelum ia berhubungan dengan istrinya, adalah dengan membayar seperdua atau setengah dari mahar yang ia berikan kepada istrinya. Yang artinya: 

237. jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, Padahal Sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, Maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu mema'afkan atau dima'afkan oleh orang yang memegang ikatan nikah, dan pema'afan kamu itu lebih dekat kepada takwa. dan janganlah kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha melihat segala apa yang kamu kerjakan.

Dengan kata lain misal seorang suami memberi mahar emas 100 gram, ketika ia menceraikannya sebelum berhubungan badan maka ia harus membayar kifarat 50 gram lagi.

Contoh lain juga disebutkan dalam surat Al Maidah ayat 89 juga mengandung konsekuensi sosial jika melakukan cedera janji atau malanggar perjanjian. Seperti disebutkan dalam ayat tersebut, siapa saja yang melanggar sumpah/perjanjian maka konsekuensinya adalah dengan memberi makan orang miskin sejumlah 10 orang, atau melakukan puasa selama 3 hari berturut-turut. Yang artinya:

89. Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya). 

2.       Akad Politik

Dalam konteks kekinian, akad, transaksi, dan perjanjian erat kaitanya dengan politik. Selain hubungan antar manusia, lebih luas lagi perjanjian dapat dilihat dari hubungan atau perjanjian yang dilakukan oleh beberapa Negara. Istilah tersebut sering dikenal dengan perjanjian Bilateral atau Multilateral. Dalam hal ini tentu tidak menutup kemungkinan diadakan perjanjian dengan orang-orang non muslim (kafir). Selama orang kafir tersebut tidak lalai dan tidak melanggar perjanjian itu diperbolehkan. Akan tetapi jika orang kafir tersebut melanggar janji berkali-kali, maka berdasarkan surat Al Anfal ayat 55-56 orang kafir tersebut adalah orang yang paling buruk. Yang artinya:

55. Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman.
56. (yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil Perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada Setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). 

Selain itu kita juga diperbolehkan mengadakan perjanjian dengan orang musyrik. Dalam surat At Taubah ayat 4 dan ayat 7 diperbolehkan melakukan transaksi maupun perjanjian dengan orang musyrik, asalkan orang musyrik tersebut memenuhi perjanjiannya dan orang musyrik tersebut tidak berkhianat terhadap janjinya. Yang artinya: 

4. kecuali orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa. 

3.       Akad Ekonomi (kasus pada Transaksi Online)

Salah satu prinsip syariah dalam ekonomi adalah dengan adanya prinsip keterbukaan, kejujuran dan tidak ada pihak yang dirugikan dari transaksi yang dilakukan. Hal ini di gambarkan dalam surat Al Isra’ ayat 35 yang menyatakan bahwa setiap transaksi (jual beli) harus sesuai takarannya, dan berat timbangan juga harus sesuai dengan neraca yang benar. Dalam hal transaksi tidak boleh ada penipuan, atau salah satu pihak tidak boleh ada yang dirugikan. Yang artinya: 

35. dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.

Berdasarkan ayat tersebut dapat dijadikan dasar tentang transaksi yang dewasa ini menjadi trend bagi masyarakat, yaitu transaksi Online. Dengan perkembangan teknologi saat ini masyarakat dengan mudah bertransaksi Online dengan gadget. Akan tetapi marak juga penipuan maupun banyak transaksi yang tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan.

Sebagai contoh banyak yang menjual barang-barang secara Online akan tetapi setelah dibeli, barang tersebut tidak sesuai dengan kriteria maupun spesifikasi yang ditawarkan, bahkan bisa kualitasnya dibawah standar. Berdasar pada surat Al Isra’ ayat 35 hendaknya para supplier atau penyedia barang secara Online tersebut komitmen agar memberikan barang sesuai dengan apa yang dipesan pelanggan. Adapun jika barang tidak sesuai dengan apa yang dipesan, pelanggan boleh meminta ganti rugi kepada penyedia barang. Hal ini juga sesuai dengan surat Al Baqarah ayat 237.

Di Indonesia sendiri, terkait dengan perjanjian maupun perikatan juga diatur oleh hukum possitif yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Syarat sahnya perjanjian dijelaskan dalam Pasal 1320.[17]

Dengan demikian perlu adanya edukasi kepada masyarakat dan pihak-pihak yang mengadakan transaksi mengenai pentingnya komitmen akan perjanjian,akad atau transaksi yang diperjanjikan. Karena konsekuensinya sudah banyak dijelaskan dalam  Al Quran maupun hukum positif yang berlaku di Indonesia.

KESIMPULAN 

Dari  pembahasan  di  atas  terbukti,  dalil-dalil  tentang konsep akad melalui  ayat-ayat  al-Qur‟an  dilakukan  secara  runtut,  bertahap  dan sistematis untuk membentuk konsep tentang akad atau transaksi.

Dalam surat makiyyah ditekankan secara fundamental tentang pentingnya akad dan pemenuhan atas transaksi yang dilakukan. Akad adalah perjanjian yang berhubungan dengan Allah dan sesama manusia. Tidak diperbolehkan melakukan perjanjian dengan syaithan dan makhluk ghoib. Hal tersebut dijelaskan dalam surat Yasin ayat 60 dan surat Maryam ayat 78-79.

Allah mewajibkan semua pihak untuk menepati apa yang telah diperjanjikan, dan tidak boleh melakukan perjanjian dengan tujuan tipu daya karena semua perjanjian disaksikan oleh Allah SWT. Hal tersebut digambarkan dalam surat Al Isra’ ayat 34-35 dan surat An Nahl ayat 91-95.

Bagi orang-orang yang menepati janji berdasarkan surat Al Qashash ayat 10 termasuk kedalam golongan orang yang beriman. Dan pahalanya adalah surge Firdaus seperti disebutkan dalam surat Maryam ayat 87 dan surat Al Mu’minun ayat 9-11. Sedangkan orang yang mengingkari perjanjian yang sudah dibuat maka termasuk kedalam golongan orang fasik. Hal tersebut disebutkan dalam surat  Al A’raf ayat 101-102, 134, surat Taha ayat 86-88, dan surat Zukhruf ayat 49, dan ganjaran bagi orang fasik adalah neraka. Hal tersebut ditekankan dalam surat Maryam ayat 78-79 dan surat Taha ayat 113-115.

Kemudian dalam surat Madaniyyah, tidak diperbolehkan melakukan akad secara sembunyi-sembunyi atau rahasia seperti dalam surat Al Baqarah ayat 235. Akan tetapi berdasar surat At Taubah ayat 4 dan ayat 7  boleh melakukan transaksi dengan orang kafir dan musyrik selama mereka memenuhi perjanjianya.

Beberapa contoh pelanggaran terhadap akad/transaksi sosial, konsekuensi yang diperoleh juga bersifat sosial. Hal tersebut ditunjukkan oleh surat Al Baqarah ayat 237 dan surat Al Maidah ayat 89 . jika ada salah satu pihak ada yang melanggar ataupun membatalkan perjanjian, maka salah satu pihak dapat menuntut ganti rugi. Hal tersebut sesuai dengan Al Quran Al Isra’ ayat 35.

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

DAFTAR PUSTAKA  

Affandi, M. Yazid, 2009, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah, Yogyakarta: Logung Pustaka.

al-Ba’labakiyy, Munir, 1990, Qamus al-Mawrid. Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayyin. 

Arifin, Djohar, Substansi Akad  Dalam Transaksi  Syariah, Prodi Mu’amalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon. Dikutip dari download.portalgaruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3D447152%26 val%3D9459%26title%3DSUBSTANSI%2520%2520/AKAD/%220%25 DALAM%2520%2520TRANSAKSI%2520%2520SYARIAH&usg=AOvVaw1riWGhbiCGa1M0lyWuhRUe, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.

Atabik, Ali, A Zuhdi Muhdlor, 1999, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum.

Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, dalam Seminar Nasional Ekonomi Syariah di komplek Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa 14 April 2015. Pernyataan tersebut dikutip dari https://finance.detik.com/moneter/2886801/menkeu-bambang-bank-syariah-lebih-tahan-menghadapi-krisis, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.30.

Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Asas-Asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam, Yogyakarta: UII Press.

Madkur, Muhammad Salam, 1963, al- adkhal al-fiqh al –Islamiyy. Dar al-Nahdah al- ‘Arabiyyah.

Rahmawati, 2011,  Dinamika Akad Dalam  Transaksi Ekonomi Syariah, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 1, Januari 2011, Jakarta: Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah.

Sâbiq, Sayyid,______, Fiqh al-Sunnah, Bandung: PT. Al-Ma’arif. 

Sejarah Bank Syariah Mandiri, dikutip dari https://www.syariahmandiri.co.id/tentang-kami/sejarah, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.31.

Semmawi, Ramli, 2010, Urgensi Akad Dalam Hukum Ekonomi Islam, , Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010, Jurusan Syariah STAIN Manado.

Subekti, 1984, Hukum Perjanjian Cetakan ke IX, Jakarta: PT. Intermasa. 

Tentang Bank Muamalat - Profil Bank Muamalat, dikutip dari http://www.bankmuamalat.co.id/profil-bank-muamalat, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 Pukul 16.30.

Tim Penyusun, 1995, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi II, Jakarta: Balai Pustaka.

Yulianti, Rahmani Timorita, 2008, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, La_Riba, Jurnal Ekonomi Islam,Vol. II, No. 1, Juli 2008, Yogyakarta.


[1] Ramli Semmawi, Urgensi Akad Dalam Hukum Ekonomi Islam, Jurusan Syariah STAIN Manado, Jurnal Al-Syir’ah Vol. 8, No. 2, Desember 2010, hlm. 499.

[2] Ali Atabik, A Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, Yayasan Ali Maksum, Yogya, 1999 hlm, 1303. Dikutip dari Rahmawati  Dinamika Akad Dalam  Transaksi Ekonomi Syariah, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 1, Januari 2011 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 21.

[3] Fayruz Abadyy Majd al-Din Muhammad Ibn Ya’qub. al-Qamus al-Muhit, jilid 1. (Beirut: D Jayl), hlm. 327.

[4] Munir al-Ba’labakiyy (1990), Qamus al-Mawrid. (Beirut: Dar al-‘Ilm al-Malayyin), hlm.770. Dikutip dari Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, La_Riba Jurnal Ekonomi Islam,Vol. II, No. 1, Juli 2008, Yogayakarta, hlm. 93.

[5] Muhammad Salam Madkur (1963). al- adkhal al-fiqh al –Islamiyy. (ttp: Dar al-Nahdah al- ‘Arabiyyah), hlm.506. Dikutip dari Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, La_Riba Jurnal Ekonomi Islam,Vol. II, No. 1, Juli 2008, Yogyakarta, hlm. 94.

[6] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), Edisi II, h. 15., dikutip dari Rahmawati  Dinamika Akad Dalam  Transaksi Ekonomi Syariah, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 1, Januari 2011 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 21.

[7] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: PT. Intermasa, 1984), Cet. IX, hlm. 1. dikutip dari Rahmawati  Dinamika Akad Dalam  Transaksi Ekonomi Syariah, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 1, Januari 2011 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 21.

[8] Ibid.

[9] Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, La_Riba Jurnal Ekonomi Islam,Vol. II, No. 1, Juli 2008, Yogayakarta, hlm. 101.

[10] Ibid.

[11] Rahmawati  Dinamika Akad Dalam  Transaksi Ekonomi Syariah, Al-Iqtishad, Vol. III, No. 1, Januari 2011 Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, hlm. 21.

[12] Ramli Semmawi, Urgensi Akad ..., hlm. 499.

[13] Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas Hukum Muamalat: Hukum Perdata Islam, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hlm. 65.

[14] Ramli Semmawi, Urgensi Akad ..., hlm. 510.

[15] M. Yazid Affandi, Fiqh Muamalah Dan Implementasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Logung Pustaka, 2009), hlm. 34.

[16] Djohar Arifin, Substansi Akad  Dalam Transaksi  Syariah, Prodi Mu’amalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, hlm, 168.

 

[17] Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata  BAB XIX Tentang Piutang Dengan Hak Mendahulukan, disebutkan syarat sah dari suatu perjanjian atau kontrak yaitu dengan empat syarat. Pertama, adanya kesepakatan diantara mereka untuk mengikatkan diri; Kedua, dipandang cakap untuk melakukan suatu perjanjian; Ketiga, adanya suatu hal tertentu (objek yang jelas); Keempat, karena suatu sebab yang halal. 



[1] Rahmani Timorita Yulianti, Asas-Asas Perjanjian (Akad) dalam Hukum Kontrak Syari’ah, La_Riba, Jurnal Ekonomi Islam,Vol. II, No. 1, Juli 2008, Yogyakarta, hlm. 91.

[2] Tentang Bank Muamalat - Profil Bank Muamalat, dikutip dari http://www.bankmuamalat.co.id/profil-bank-muamalat, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 Pukul 16.30.

[3] Pendapat tersebut disampaikan oleh Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan, dalam Seminar Nasional Ekonomi Syariah di komplek Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa 14 April 2015. Pernyataan tersebut dikutip dari https://finance.detik.com/moneter/2886801/menkeu-bambang-bank-syariah-lebih-tahan-menghadapi-krisis, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.30.

[4] Sejarah Bank Syariah Mandiri, dikutip dari https://www.syariahmandiri.co.id/tentang-kami/sejarah, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.31.

[5] Ibid.

[6] Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, pasal 1 ayat (3) berbunyi Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan Prinsip Syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran. Dari pasal 1 ayat (3) tersebut dapat diartikan bahwa Bank Umum boleh menjalankan kegiatan usaha berdasar prinsip syariah. Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan.

[7] Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah pasal 1 ayat (10) berbunyi Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS, adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang pembantu syariah dan/atau unit syariah. Dikutip dari Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah. 

[8] Djohar Arifin, Substansi Akad  Dalam Transaksi  Syariah, Prodi Mu’amalah Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam IAIN Syekh Nurjati Cirebon, hlm, 165. Dikutip dari download.portalgaruda.org%2Farticle.php%3Farticle%3D447152%26val%3D9459%26title%3DSUBSTANSI%2520%2520AKAD%2520%2520DALAM%2520%2520TRANSAKSI%2520%2520SYARIAH&usg=AOvVaw1riWGhbiCGa1M0lyWuhRUe, diakses pada tanggal 23 Oktober 2017 pukul 16.45.

[9] Ibid.

Comments

Popular Posts