PENGERTIAN AR-RAHN

 Oleh: Krisnanda

Abstrak

Dalam realitas sosial masyarakat, ekonomi kerap menemukan kondisi yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai. Disaat yang sama, orang yang bersangkutan mengalami kesulitan terkait ekonomi (uang) sehingga membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat yang menghadapi masalah ini adalah menggadaikan barang-barang yang berharga untuk dapat

dana yang dibutuhkan. 

Istilah gadai nampaknya sudah sangat akrab dengan masyarakat kita, terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat kondisi keuangannya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana tunai dengan model gadai, permintaannya malah besar, penggadaian sebagai lembaga yang merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan berkembang pesat. 

Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN

Pegadaian timbul dari interaksi permintaan dan penawaran terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat yang menggunakan barang berharga sebagai jaminannya. Selama ini, bisnis pegadaian relatif tumbuh dan berkembang, baik yang dilaksanakan oleh swasta maupun pemerintah. Pada tulisan ini kita lebih memfokus pada ayat al-Qur`an dan Hadist yang berkaitan dengan rahn atau yang biasa dikenal sebagai pegadaian.

PENGERTIAN AR-RAHN

Gadai dalam fiqh disebut dengan kata rahn, yang menurut bahasa adalah merupakan barang yang dijadikan untuk jaminan kepercayaan. Sedangkan menurut syara` diartikan: menyendera sejumlah harta yang diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai tebusan. Secara bahasa; Ar-rahn adalah ast-tsubut wa ad-dawam (tetap dan langgeng); juga berarti al-habsu (penahanan). Imam Abu Zakariah al-Anshari mendefinisikan ar-Rahn dalam kitab Fathul Wahhab sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.”

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

Pengertian rahn yang diartikan sebagai perjanjian utang piutang, antara dua atau beberapa pihak mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang mempunyai nilai harta. Yang menurut pandangan syara` merupakan jaminan atau ia bisa mengambil sebagian manfaan dari barang tersebut. Firman Allah dalam surat al-Muddatstsir (74) ayat 38 menyebutkan, “Setiap diri bertanggung atas apa yang telah diperbuat”, dan surat al-Baqarah (2) ayat 283 mengatakan, “Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang”.

LANDASAN HUKUM

a. Al-Qur`an 

(QS. Al-Baqarah (2): 282).

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم)٢٨٢ .(

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu” (QS. Al-Baqarah (2): 282).

Kemudian (QS. Al-Baqarah (2): 283).

وَإِنْ كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) ٢٨٣.( 

    “Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak secra tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulias, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang mengutangkan) , tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia bertakwa kepada Allah swt.” (QS. Al-Baqarah (2): 283). 

Ayat tersebut menjelaskan tentang diharuskannya bagi orang yang menghutangkan untuk meminta suatu barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pengangan ataupun jaminan. Dalam dunia financial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau objek pengadaian.

Kemudian: QS. al-Muddatstsir Ayat: 38-39.

كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ  (38)  *  إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39)*

“Tiap-tiap diri menyangkut apa yang telah dilakukannya tergadai kecuali golongan kanan.”

Ayat ini merupakan pernyataan kepada seluruh manusia terkait dengan kebebasan memilih sesuatu yang telah ditegaskan pada ayat-ayat yang lalu. Seolah – olah Allah menyatakan: “Hai manusia, kamu sekalian bebas untuk memilih jalan, maju atau mundur, arah kanan atau kiri. Akan tetapi, hendaknya diketahui bahwa keadaan kamu kelak, di hari kemudian, akan ditentukan oleh pilihanmu masing – masing karena kamu semua bahkan tiap – tiap diri, lelaki atau perempuan, menyangku apa yang semua tergadai. Dan karena sesuatu yang digadaikan boleh jadi berhasil ditebus dan boleh juga gagal, ayat diatas melanjutkan bahwa kecuali golongan kanan. Mereka itulah yang berhasil menebus dirinya dengan amal – amal salehnya.

    Kata ((كسبت kasabat, demikian juga kata  (اكتسب)iktasaba, diambil dari kata(كسب)  kasaba yang artinya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat. Pada mulanya, kata ini hanya dipakai jika perbuatan yang dimaksud dilakukan oleh anggota badan manusia, khususnya tangannya, tetapi al-Qur`an menggunakannya juga bagi perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia (baca QS. Al- Baqarah [2]: 225).

    Syaikh Muhammad `Abduh berpendapat bahwa kaa kasaba atau kasabat menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan seseorang secara mudah atau tidak membutuhkan kesungguhan. Berbeda dengan ktasaba yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan susah (pemaksaan hati) karena perbuatan tersebut tidak sejalan dengan kecendrungan jiwa. Untuk lebih jelasnya rujuklah ke QS. Al- Baqarah [2]: 286.

    Kata rahinah  (رهينة)diambila dari kata rahana  (رهن)dengan berbagai makna antara lain gadai, yakni sesuatu yang dijadikan jaminan guna memeroleh hutang. Seyogyanya, sesuatu itu ditahan oleh pemberi hutang, dan dari sini kata tersebut diartikan dengan sesuatu yang ditahan. 

    Ayat 38 diatas menegaskan bahwa setiap pribadi tergadai di sisi Allah. Ia harus menebus dirinya dengan amal-amal perbuatan baik setiap pribadi seakan – akan berutang kepada Allah swt. dan dia harus membayar kembali hutangnya kepada Allah untuk membebaskan dirinya.

    Jadi, dapat kita simpulkan bahwa Ayat tersebut dapat digunakan sebagai dalil (argumentasi) dalam transaksi rahn (gadai).

b. Al-Hadits

Anas r.a. berkata,”Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR. Bukhari no. 1927, kitab al Buyu, Ahmad, Nasa’I, dan Ibnu Majah).

Bukhari dan lainya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju besi beliau” (HR. Bukhari dan Muslim).

Dari Anas re berkata, Rasulullah Faw menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau (HR Bukhari, Ahmad. Nasa`i dan Ibnu Majah).

Dari Abu Hurairah re bahwasanya Rasulullah Faw berkata, “barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang digadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau biaya). (HR. Syafi`i dan Daruqutni).

c. Ijtihad Ulama

    Perjanjian gadai (rahn) yang diajarkan dalam al-Qur`an dan Hadits tersebut kemudian dikembangkan oleh para Fuqaha dengan jalan Ijtihad, dengan kesepakatan dari para ulama bahwa gadai diperbolehkan dan para ulama juga tidak pernah memeprtentangkan kebolehannya demikian juga dengan landasan hukumnya. Akan tetapi hal ini perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam bagaimana semestinya pegadaian menurut landasan hukumnya.

    Dalam buku Heri Sudarsono yang berjudul “BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Deskripsi dan Ilustrasi” terdapat pendapat Asy-Safi`i yang mengatakan “Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib menggunakan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadai (murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadai (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, benda dengan pendapatan Iman Asy-Syafi`i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

RUKUN GADAI SYARIAH

Sebelum dilakukan pegadaian (rahn), terlebih dahulu melakukan sebuah akad. Akad menurut Mustafa az- Zarqa adalah ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau sekelompok pihak yang berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing diungkapkan dalam suatu akad tersendiri.

Menurut jumhur ulama, rukun rahn itu ada 5 (empat), yaitu:

  • Ar-Rahin (yang menggadaikan).
  • Al-Murtahin (yang menerima Gadai)
  • Al-Marhun|rahn (barang yang digadaikan).
  • Al- Marhun bih (Hutang).
  • Sighat, Ijab dan Qabul (kesepakatan dalam transaksi).

Pemanfaatan Barang Gadai Menurut Para Ulama`

    Dari beberapa `ulama ada dua pendapat terkait pemanfaatan barang gadai. Mayoritas `Ulama (Jumhuur) melarang bagi orang - orang yang menggadaikan barangnya untuk diambil manfaatnya. Namun Syafi`iya membolehkan untuk mengambil manfaat dari barang yang di gadai selama tidak ada mudhatat yang timbul dari perbuatan tersebut. Hal ini diuraikan sebagai berikut ini;

Ulama Hanafiyah

Menurut pendapat Hanafiyah, orang yang menggadaikan suatu barang ke penggadaian tidak boleh memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa seizin dari pemegang gadai. Alasan mereka yaitu bahwa barang yang digadaikan harus tetap dikuasai oleh pemegang gadai sepanjang waktu. Pendapat Hanafiyah ini sama dengan pendapat ulama Hanabilah, karena manfaat yang ada dari barang yang digadaikan itu pada dasarnya termasuk kedalam penggadaian (rahn).

Ulama Malikiyah

Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila pemegang gadai memberikan izin keada orang yang menggadaikan untuk diambil manfaat dari barang gadai, maka akadnya akan gagal atau tidak sah. Pemegang gadai diperbolehkan mengambil manfaat atas barang gadai hanya sekedarnya saja (tidak diperbolehkan lama – lama). Apabila pemegang barang gadai itu terlalu lama memanfaatkan barang gadai tersebut, maka dirinya akan dikenakan denda atau bayaran atas pemanfaatan barang tersebut, namun sebagian dari mereka berpendapat tidak perlu membayarnya. Pendapat lainnya, diharuskan untuk membayar, terkecuali jika orang yang menggadaikan barang mengetahui dan tidak mempermasalahkan hal tersebut.

Ulama Syafi`iyah

Ulama Syafi`i berpendapat bahwa oleh memanfaatkan barang gadai bagi orang yang menggadaikan barang gadai. Apabila barang yang diambil manfaatnya tidak berkurang maka tidak perlu meminta izin, contohnya seperti mengendarai motor, memainkan laptop, ataupun memakai barang yang digadai lainnya. Namun, jika barang tersebut berkurang, contohnya seperti sawah, kebun, maka orang yang menggadaikannya harus meminta izin kepada pemegang gadai. 

    Pada pendapat dari para ulama ini, maka khusus untuk penggadaian kita memakai pendapat yang dikemukakan oleh ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang berpendapat “tidak memperbolehkan orang yang menggadaikan untuk mengambil manfaat dari barang yang digadai. Kecuali setelah mendapat izin karena barang tersebut merupakan hak atau kekuasaan pemegang gadai.

Hak dan Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah

Menurut Abdul Azis Dahlan, bahwa pihak rahnin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Hak dan kewajibannya adalah:

Hak dan kewajiban Murtahin

1. Hak pemegang gadai

  • Pemegang gadai berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan hasil penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih dan sisanya dikembalikan kepada rahnin.
  • Pemegang gadai berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga keselamatan marun.
  • Selama marhun bih belum melunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun yang diserahkan oleh pemberi gadai

2. Kewajiban pemegang gadai

  • Pemegang gadai berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun, apabila hal itu atas kelalaiannya
  • Pemegang gadai tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri
  • Pemegang gadai berkewajiban untuk memberi tahu kepada ranin sebelum diadakan pelelangan marhun.

Hak dan kewajiban pemberi gadai syariah

1. Hak pemberi gadai

  • Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun bih
  • Pemberi gadai berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun, apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin
  • Pemberi gadai berhak untuk mendapatkan sisa penjualan marhun setelah dikurangi biaya pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya
  • Pemberi gadai berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan marhun.

2. Kewajiban pemberi gadai

  • Pemberi gadai berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimanya dari murtahin dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah ditentukan murtahin.
  • Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.

Skema Ar Rahn

Dalam skema ar Rahn, menggambarkan mekanisme transaksi rahn dalam bank syariah atau lembaga keuangan syariah.

Keterangan skema:

Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank syariah (murtahun). Jaminan ini berupa barang bergerak.

Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin (nasabah) dan murtahin (bank syariah).

Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan agunan diterima oleh bank syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.

Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan fee yang telah disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan agunan.

Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah vs Konvensional

Persamaan

Perbedaan

a.              Hak gadai atas pinjaman uang

b.              Adanya barang tanggungan sebagai jaminan hutang.

c.              Tidak boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan

d.              Biaya barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai

e.              Apabila batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau dilelang

a.              Rahn dalam hukum Islam dilakukan secara suka rela atas dasar tolong – menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan gadai menurut hukum perdata; disamping berprinsip tolong menolong, juga menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal

b.              Dalam hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak. Sedangkan dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang bergerak maupun yang tidak bergerak

c.              Dalam rahn tidak ada istilah bunga

d.              Gadai menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan tanpa melalui suatu lembaga

Dari tabel di atas tertulis bahwa konsep dasar gadai syari'ah adalah tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk memelihara barang yang dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka pemeliharaan diserahkan kepada pihak pegadaian dengan konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat dari nilai taksiran barang yang digadaikan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga ditarik dari besar kecilnya dana yang dipinjam. 

Dilihat dari segi barang jaminannya, gadai syari'ah bisa berupa barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan dalam gadai bersifat acessoir, sehingga Pegadaian Konvensional bisa tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan penarikan bea jasa simpan. 

Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHP pasal 1150.

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’i. Bank Syariah teori-praktek...

Ismail, MBA., Ak., Perbankan Syariah, Kencana, Jakarta: 2011.

Rais, Sasli. Pegadaian syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UI Press, Depok: 2005.

Shihab, M. Quraish. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an Oleh M. Quraish Shihab. Jakarta; Lentera Hati. 2002.

Sudarsono, Heri. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dekripsi dan Ilustrasi. EKONISIA : Yogyakarta Edisi. Ketiga. 2008.

Yulianti, Rahmani Timorita. Slide2_GADAI (RAHAN/AL-HABSU), Prodi Ekonomi Islam, FIAI UII.

http://artikelekis.blogspot.com/2013/12/perbandingan-gadai-konvensional-dengan.html

http://quran-terjemah.org/al-muddatstsir/38.html

http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/pemanfaatan-barang-gadai-oleh-pemegang.html

Comments

Popular Posts