Urgensi Maqasid al-Shariah dalam Keuangan Islam
Book Review
Judul: Maqasid al-Shari`ah in Islamic Finance
Penulis: Ahcene Lahsasna
Penerbit: IBFIM, Kuala Lumpur, Malaysia
Tahun: 2013
Tebal: xxx + 345 Halaman
ISBN: 978-967-0149-36-3
Urgensi
Maqasid al-Shariah dalam Keuangan Islam
Oleh: Krisnanda
A. Pendahuluan
Dewasa ini, Indonesia telah banyak memiliki lembaga keuangan dan bisnis syari`ah yang terus exis dan berkembang. Sebagai contoh, telah banyak berdirinya perbankan syari‘ah, pasar modal syari`ah, asuransi syari`ah, koperasi syari`ah, pegadaian syari`ah, reksadana syari`ah dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki peran penting
dalam perkembangan keuangan syari`ah. Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam perkembangan keuangan syari`ah adalah prinsip dan praktik dalam kerja pada lembaga syari`ah harus berlandaskan dengan nilai-nilai Islam, sehingga tercapai dan terwujudnya kesejahteraan umat baik di dunia maupun di akhirat.Melihat pada penjelasan tersebut, menimbulkan pertanyaan, apa yang
menjadi dasar utama dalam pengembangan operasional dan produk – produk dalam
keuangan syari`ah?, apakah dengan dasar utama tersebut benar - benar dapat
mewujudkan kesejahteraan?, bagaimana jika dalam praktik pada keuangan syari`ah
dilapangan tidak sesuai dengan dasar utama?. Tidak heran pertanyaan –
pertanyaan seperti ini muncul sebagai sebuah pertanyaan penting, karena tujuan
utama didirikannya sistem keuangan syariah adalah untuk mencapai kesejahteraan
baik di dunia maupun di akhirat.
B.
Definisi dan Penetapan Maqashid al-Syari`ah
Secara bahasa,
menurut Munawwir, 1997 dalam julnal Bisnis Vol. 3, bahwa maqashid
al-syari`ah terdiri dari dua kata yaitu maqshid dan al-syari‘ah yang
mana satu sama lain saling berhubungan dalam bentuk idhafah (mudhaf - mudhaf
ilaihi).[1]
Menurut
Syarifuddin, 2008 dalam julnal Bisnis Vol. 3, kata maqashid adalah bentuk
jamak dari kata maqshud yang artinya adalah maksud dan tujuan, sedangkan
kata al-syari‘ah yang berarti hukum Allah swt., baik yang tertera pada
al-Qur`an maupun Hadist.[2] Definsi
lain menurut Fahurrahman, 2013 bahwa syari`ah adalah segala hukum yang Allah
swt. tetapkan bagi hamba-Nya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah
swt., hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia
dengan lingkungan dan kehidupannya.[3]
Berdasarkan makna
dari kedua kata tersebut, maka pengertian dari maqashid al-syari`ah merupakan
maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam.[4]
Sedangkan menurut definisi lain, maqashid al-syari‘ah merupakan suatu
hal yang diinginkan pembuat syariat yaitu Allah swt. terkait makna dan hikmah
dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan makhluk-Nya.[5]
Menurut Ibn Ashur
dalam buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance, 2013
mendefinisikan bahwa Maqashid al-Syari`ah memiliki dua aspek, yang
pertama yaitu aspek umum yang menjadi tujuan dan kebijakan dalam
diberlakukannya semua atau sebagian hukum syari`ah, yang kedua yaitu
aspek khusus yang lebih spesifik yang berkaitan dengan kegiatan sehari – hari
seperti keuangan Islam untuk tercapainya manfaat.[6]
Menurut definisi
lain, maqashid al-Syari`ah (tujuan hukum Islam) adalah salah satu konsep
terpenting dalam memperkuat keuangan Islam kontemporer saat ini.[7]
Secara konseptual, menurut Wahbah az-Zuhaili dalam buku karangan Kuat Ismanto,
2016 bahwa maqashid al-syari`ah adalah tujuan atau rahasia yang
ditetapkan oleh Syari` (pembuat hukum) pada setiap hukum dari hukum –
hukum syari`ah.[8]
Dalam maqashid as-syariah terdapat beberapa istilah antara lain sebagai
berikut:[9]
a.
Himah
adalah tujuan ditetapkan atau ditiadakan suatu hukum.
b.
Maslahat
adalah setiap perkara yang memberikan manfaat dan menghapus kemudhorotan.
c.
`Illat
adalah sifat yang jelas, dan mudhobit (bisa diterapkan dalam setiap kondisi)
yang menjadi acuan setiap hukum.
Menurut Jasser
Auda, maqasid as-syari`ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai
moral) dapat dijadikan sebagai jembatan antara syariah Islam dengan berbagai
isu-isu dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama dan menjadi pintu
dasar untuk melakukan ijtihad terhadap pembaharuan.[10]
Pada kajian hukum
Islam klasik menyebutkan bahwa maqasid as-syari’ah dikelompokkan menjadi
tiga, yaitu: al-dharuriyat, al-hajiyat dan al-tahsiniyat.
Seperti ini lah konsep maqasid as-syari’ah dalam hukum
Islam klasik diberlakukan dan dipahami secara hirarkis atas dasar pertimbangan
ke-darurot-an.[11]
Jasser Auda mengkritisi
atas teori maqasid yang dikembangkan pada abad klasik tersebut, diantaranya:[12]
a.
Teori
maqasid klasik tidak memerinci cakupannya dalam bab-bab khusus sehingga
tidak mampu menjawab secara detail pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan tertentu.
b.
Teori
maqasid klasik lebih mengarah pada kemaslahatan individu, bukan manusia
atau masyarakat secara umum.
c.
Klasifikasi
maqasid klasik tidak mencakup prinsip-prinsip utama yang lebih luas,
misalnya keadilan, kebebasan berekspresi dan lain-lain.
d.
Penetapan
maqasid dalam teori maqasid klasik bersumber pada warisan
intelektual fiqh yang diciptakan oleh para ahli fiqh, dan bukan diambil dari
teks-teks utama seperti al-Qur’an dan sunnah.
Bagi Jasser Auda,
teori maqasid klasik yang lebih bersifat hirarkis dan lebih terjebak pada
kemaslahatan individu tersebut tidak akan mampu menajawab tantangan dan
persoalan zaman kekinian.[13]
Dalam hal
tersebut, Jasser Auda mengungkapkan bahwa Maqasid as-syari’ah dapat
dijadikan sebagai prinsip universal (al-ushul al-kulli) untuk menghindari
pertentangan dalil (ta’arud al-adillah) antara makna lafal dengan makna
konteks. Hal ini menjadi metode jalan tengah antara pertentangan dalil agar
tidak terjebak pada teks atau terbuai dengan kepentingan konteks. Dalam hal ini
Maqasid as-syari’ah hadir dalam rangka keluar dari ketegangan tersebut
yang tidak tenggelam dalam ungkapan lafal saja, namun pada saat yang sama mampu
mewujudkan maksud teks yang sebenarnya. Jadi, maqasid harus difungsikan
sebagai landasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadits).
Oleh karenanya, Jasser Auda mengutarakan sebuah prinsip “taduru al-ahkam al-syar’iyah
al-amaliyah ma’a maqasidiha wujudan
wa’adaman kama taduru ma’a ‘ilaliha wujudan
wa ‘adaman”.[14]
Praktik
pengambilan keputusan hukum dengan mempertimbangkan Maqasid as-syari’ah
tersebut pernah dilakukan pada zaman para sahabat Nabi. Dimana diceritakan ketika
penaklukan Irak, Syam, dan Mesir saat itu khalifah Umar bin Khattab menolak
untuk membagikan tanah negeri yang ditaklukkan (sebagai ganimah) kepada
para panglima perang umat Islam. Keputusan yang dilakukan khalifah Umar untuk
tidak membagikan tanah ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan publik, yaitu
supaya tidak terjadi ketimpangan sosial dimana kekayaan tidak hanya dikuasai
oleh kalangan agniya saja.[15]
Menurut Jasser
Auda, agar syari`ah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan
kemasahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan zaman kekinian,
maka cakupan dan dimenasi teori maqasid seperti yang telah dikembangkan
pada hukum Islam klasik harus diperluas. Dimana teori yang semula terbatas pada
kemaslahan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih
umum. Dari perlindungan keturunan (hifz al-nasl) menjadi perlindungan
keluarga (hifz al-usrah); dari perlindungan akal (hifz al-aql)
menjadi pewujudan berpikir ilmiah atau pewujudan semangat mencari ilmu
pengetahuan; dari perlindungan jiwa (hifz al-nafs) menjadi perlindungan
kehormatan manusia (hifz al-karamah al-insaniyah) atau perlindungan
hak-hak manusia (hifz huquq a-linsan); dari perlindungan agama (hifz
al-din) menjadi perlindungan kebebasan berkeyakinan (hurriyah al-I’tiqad);
dari perlindungan harta kekayaan (hifz al-mal) menjadi pewujudan
solidaritas sosial.[16]
Usaha ini telah
mendapatkan pendasaran yang nyata oleh para ulama klasik dalam praktik usul
fiqh. Berarti bahwa, praktik untuk lebih mempertimbangkan kemaslahatan
universal di balik maqasid as-syari’ah menjadi kunci penting dalam
penetapan sebuah hukum Islam bagi sebagian ahli fiqh masa lalu (klasik).[17]
Selain perluasan
dimensi maqasid, teori maqasid klasik perlu direkonstruksi agar
dapat keluar dari keterbatasannya. Di sini, Jasser Auda mengajukan konsep baru terhadap
teori maqasid. Menurutnya, maqasid as-syari’ah dapat dibagi
kedalam tiga level yaitu: maqasid umum, maqasid khusus dan maqasid
parsial.[18]
Ketiga kategori maqasid as-syari’ah tersebut harus dilihat secara
holistik, tidak dapat terpisahkan dan bersifat hirarkis sebagaimana dalam teori
maqasid klasik. Kesatuan maqasid ini sepenuhnya harus dilihat
dalam spektrum atau dimenasi yang lebih luas. Teori inilah yang menjadi pintu
masuk untuk melakukan pembaharuan dalam merespon problem konteks zaman
kekinian.[19]
C. Pentingnya Maqashid
al-Syari`ah dalam Keuangan Islam
Menurut Abdul
Wahab Khalaf, eksistensi maqashid al-syari‘ah dalam keuangan Islam
menjadi penting karena dapat menjadi sebagai alat bantu dalam memahami redaksi
al-Qur`an dan sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan dan
yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus
yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur`an dan sunnah jika
menggunakan kajian semantik (kebahasaan).[20]
Ekonomi Islam yang telah berkembang beberapa tahun terakhir ini menempatkan maqashid
as-syariah sebagai acuan sehingga sistem dan ilmu yang kini tengah
diformulasikan dapat memberi kemaslahatan dan mampu menjadi obat terhadap kompleknya
problem ekonomi kekinian.[21]
Menurut Lahsasna
dalam buku yang berjudul Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance, 2013 bahwa
pentingnya maqashid al-Syari`ah sebagai berikut:[22]
-
Maqasid
Syariah adalah salah satu aspek yang sangat
penting dalam yurisprudensi Islam.
-
Maqasid
membantu memvalidasi resolusi dan keputusan yang berbeda yang berasal dari
teks.
-
Ahli
hukum Islam bergantung pada pendekatan Maqasid dalam semua jenis ijthad
hukum Islam apakah tujuannya adalah keuangan Islam atau sesuatu yang lain.
-
Maqasid
membantu ahli hukum untuk memahami Syariah dalam berbagai aspek.
-
Referensi
utama bagi dewan penasihat Syariah dalam mengeluarkan fatwa dan resolusi.
-
Referensi
utama untuk regulator seperti komisi Bank Negara & dewan pengawas.
-
Referensi
utama untuk badan penataan seperti AAOIFI & IFSB.
-
Referensi
utama untuk sektor perencanaan keuangan.
Ada beberapa
tujuan syari`ah dalam keuangan
Islam yaitu; a) tujuan dalam transaksi keuangan mengacu pada keseluruhan tujuan
Syariah dalam semua jenis kegiatan, b) Tercapainya tujuan dimana
masyarakat dapat memanfaatkannya, dan memberikan kedamaian, kemakmuran,
kebahagiaan, c) Mencakup semua jenis transaksi keuangan.[23]
Dari keseluruhan
pembahasan buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance terlihat jelas tujuan
syari`ah dalam keuangan Islam adalah dalam gambar sebagai berikut:[24]
Pertama, the
circulation of wealth/sirklusi kekayaan yang mengacu pada kemungkinan
sektor – sektor besar penduduk menjadi bagian dari siklus moneter kekayaan.
Dari tujuan sirkulasi kekayaan ini dapat diamati melalui pemberian zakat,
sedekah, larangan monopoli dalam bisnis juga mempromosikan prinsip-prinsip bagi
hasil. Sehingga salam hal ini untuk menekankan pentingnya tujuan sirkulasi
keuangan, Syariah mengizinkan semua kontrak dan kegiatan keuangan baru yang
dianggap diperbolehkan kecuali ada teks yang melarangnya.[25]
Kedua, the
continuity of the investment of wealth/keberlangsungan investasi kekayaan
yang mana tujuanya agar masyarakat menjadi makmur, sehingga kekayaan harus
diinvestasikan agar memiliki nilai tambah dari kekayan tersebut.[26]
Ketiga, achieving
comprehensive communal prosperity/mencapai kemakmuran yang komprehensif
dimana tujuan ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua anggota
masyarakat oleh mencapai kepuasan pribadi. Pencapaian tujuan ini juga akan
menyingkirkan masyarakat dari atribut sosial negatif seperti stratifikasi
populasi ke kelas istimewa dan kelas non-istimewa.[27]
Keempat, the
financial transparency/transparansi keuangan yaitu bisnis dan keuangan
diharuskan untuk membuatnya tetap transparan. Sebagai contoh, Musharakah
(pembagian keuntungan dan kerugian) mencegah perselisihan, argumen di kalangan
masyarakat mengenai masalah keuangan.[28]
Kelima, prevent
harm and hardship in wealth and finance/mencegah keharaman dan kesulitan
dalam kekayaan dan keuangan yaitu untuk mencapai kemakmuran yang komprehensif
di masyarakat. Hal ini menjelaskan bahwa mencegah bahaya di bidang keuangan
merupakan hasil praktik sebagian besar tujuan syariah, karena tujuan tersebut
merupakan salah satu faktor untuk pencapaian kemakmuran.[29]
Keenam, ensure
justice in circulation of the wealth in business transaction/memastikan
keadilan dalam sirkulasi kekayaan dalam transaksi bisnis yaitu berprilaku adil
yang merupakan konsep dari perspektif Islam. Persyaratan utama dalam kehidupan
manusia di semua aspek.[30]
Inti dari maqashid
al-syari`ah adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak keburukan.
AsySyatibi menegaskan bahwa pembuatan syari`ah atau hukum Islam semata – mata
dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan diakhirat. Lebih lanjut
ditegaskan bahwa Allah menciptakan hukum untuk mewujudkan dan melindungi maslahah
dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah.[31]
Perwujudan hajiyah
adalah terpeliharanya kebutuhan esensial manusia, yaitu memelihara agama, jiwa,
akal, keturunan, dan harta. Pemeliharaan tersebut bisa dilakukan melalui dua
aspek, pertama aspek ijabiyah yaitu realisasi atau perwujudan. Kedua, aspek
salbiyah, yaitu pemeliharaan atau perlindungan. Misalnya, realisasi
agama melalui pelaksanaan rukun Islam, dan pemeliharaannya melalui
perberantasan orang – orang yang akan menghancurkan agama. Dari sini dapat
disimpulkan bahwa makna tertinggi dari maqashid al-Syari`ah adalah
perlindungan (hifd).[32]
Kemaslahatan dalam
taklif Tuhan dapat terwujud dalam
dua bentuk, yaitu manfaat langsung dalam arti kausalitas, dan kekdua dalam
bentuk majazi, yaitu bentuk yang merupakan sebab yangvmembawa
kemaslahatan. Al-Ghazali membagi kemaslahatan menjadi tiga, yaitu dharuriyah,
hajiyah, dan tahsiniyah. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat
kebutuahan dan skala prioritasnya. Urutan Ini akan terlihat kepentingannya,
manakala peringkat satu sama lain bertentangan. [33]
- Maqashid al-Syari`ah dalam Murabahah
Dalam buku ini
dijelaskan bahwa murabahah adalah jenis kontrak dalam jual beli berdasarkan
kepercayaan, di mana penjual mengungkapkan transaksi keuangan atau transparansi
dengan menjual barang dengan memberitahukan biaya asli dan keuntungan marjinnya
pada barang yang dijual kepada pembeli yang dalam artian sebagai kenaikan harga
dari biaya asli untuk keuntungan penjual. Hal ini senada dengan pendapat
Fatoni, 2014 bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal
dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Pada murabahah, penjual hari
memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan tingkat keuntungan.[34]
Dalam buku ini
juga menjelaskan bahwa murabahah adalah salah satu mekanisme pembiayaan
hutang yang paling populer di perbankan syariah. Hal ini didefinisikan
sebagaimana penjualan barang dengan harga yang telah dibeli oleh penjual,
dengan tambahan keuntungan lain yang diketahui baik oleh penjual maupun
pembeli.[35]
Salah satu ciri
yang membedakan murabahah dari jenis transaksi penjualan lainnya adalah
bahwa dalam murabahah tersebut mengungkapkan kepada pembeli berapa biaya
yang dia keluarkan dan berapa banyak keuntungan yang dia bayar selain dari biaya
asli pembelian barang dalam artian disini penjual melakukan transparansi harga
dari suatu barang yang dijual. Diantara maqasid al-Syari'ah dalam murabahah
adalah sebagai berikut:[36]
- Murabahah
memperluas cakupan bisnis dan perdagangan dengan menambahkan sarana yang
diijinkan untuk menghasilkan keuntungan dan kekayaan.
- Murabahah
meningkatkan tingkat etika dalam dunia bisnis karena murabahah adalah
transaksi yang didasarkan pada kepercayaan, dimana penerimaan kesepakatan
oleh pembeli tergantung pada kejujuran dan integritas penjual. Oleh karena
itu, jika penjual mengungkapkan biaya yang salah atas barang yang dijual,
pembeli berhak mencabut kontrak dan penjualan itu tidak valid/sah.
- Penutup
Sebagai penutup
dari keseluruhan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa maqashid
al-syari`ah adalah bidang keilmuan yang penting dalam yurisprudensi Islam
yang berperan penting dalam hukum syari`ah pada umumnya dan khususnya
dalam keuangan Islam. Dalam keuangan Islam yang pengimplementasian maqashid
al-syari`ah memastikan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis untuk tercapainya
tujuan dalam mensejahterakan masyarakat. Pemahaman secara lengkap tentang maqashid
al-syari`ah adalah syarat utama sebelum memasuki tahap implementasi pada
keuangan dan perbankan.
Dalam buku yang
dilengkapi dengan satu bab tentang kekayaan ini bisa dianggap buku yang relatif
lengkap menjelaskan definisi kekayaan menurut maqashid syari`ah dan
memaparkan prinsip – prinsip syari`ah dalam kekayaan. Buku ini menggunakan
pendekatan sosio-historis dan empiris di
mana terdapat beberapa kutipan masa lalu dan terdapat pula teori – teori tentang
keuangan dan bisnis yang dipaparkan di dalamnya seperti etika bisnis Islam yang
didalamnya juga terdapat kode etik dalam keuangan Islam dan sebuah organisasi
Islam. Buku ini dapat menjadi sebuah khazanah yang wajib dibaca bagi para
praktisi maupun ilmuan sebagai bahan referensi pokok untuk mengaplikasikan
nilai – nilai maqashid al-syari`ah dalam keuangan.
Kehadiran buku ini
menjadi bukti bahwa dalam keuangan dapan diterapkan nilai – nilai maqashid
syari`ah yang berdampak baik bagi kesejahteraan masyarakat. Buku ini sangat
baik untuk diterapkan pada keuangan di masyarakat yang mana kemaslahatan
sebagai tujuannya. Buku ini juga cocok menjadi bahan ajar bagi perguruan tinggi
yang berfokus materi pada praktik – praktik keuangan Islam.
DAFTAR
PUSTAKA
Djamil,
Fahurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep. Jakarta:
Sinar Grafika
Faisol,
Muhammad. 2012. Pendekatan Sistem Jasser Auda Terhadap Hukum Islam: Ke Arah
Fiqh Post-Postmodernisme. (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume
VI, Nomor 1)
Fatoni, Siti Nur. 2014. Pengantar
Ilmu Ekomomi, Dilengkapi Dasar – dasar Ekonomi Islam. Bandung: Cv. Pustaka
Setia
Fathurrahman,
Ayief. 2014. Pendekatan Maqasid Syari`ah: Konstruksi Terhadap Pengembangan
Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam, (Hunafah: jurnal Studia Islamika܃, Vol. 11, No. 2) PDF dari https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/354
September
2017
Kuat,
Ismanto. 2016. Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syari`ah. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Karim,
Adiwarman. dan Sahroni, Oni. 2015. Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam
Sintesis Fikih dan Ekonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Lahsasna,
Ahcene. 2013. Maqasid al-Shari`ah in Islamic. Kuala Lumpur: IBFIM
Muzlifah,
Eva. 2013. Maqadhid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam. (Economic;Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam)
Slideshow
dari Ahcene Lahsasna terkait buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance,
hlm. 11. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwio75bmwM7WAhUSS48KHYrwAnEQFgg2MAE&url=http%3A%2F%2Finceif-students.lefora.com%2Fattach%2Fview%2Fma%2F52f6662bf5fa87eb7a878af05f9f9672a2a4a16b.pdf&usg=AOvVaw0R_gjhhEWKgmRO-jeXPZVU
September 2017
Zaki, Muhammad, dan Tri, Bayu Cahya.
2015. Aplikasi Maqasid asy-syari`ah pada Sistem Keuangan Syari`ah, (Jurnal
Bisnis dan Manajemen Islam,Vol. 3, No. 2) PDF dari http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1497/1375
September 2017
[1]
Muhammad Zaki dan Bayu Tri Cahya, Aplikasi Maqasid Asy-Syari‘Ah Pada Sistem
Keuangan Syariah, (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2,
Desember 2015) , hlm. 314
[2]
Muhammad Zaki, Ibid, hlm. 314
[3]
Ibid, hlm. 314
[4]
Fahurrahman Djamil. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep.
Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 63
[5]
Muhammad Zaki, Ibid,. hlm. 314
[6] Ahcene Lahsasna, Maqasid
al-Shari`ah in Islamic (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013), hlm. 3-4. Secara
keseluruhan buku ini terdiri dari sepuluh bab. Bab pertama membahas tentang
pengantar maqashid al-sari`ah beserta konsepnya dimana terdapat
penjelasan pentingnya penerapan maqashi al-sari`ah. Bab kedua
menjelaskan tentang konsep maslahah dalam syari`ah serta menjelaskan
pula tentang maslahah mursalah baik dari sisi konsep serta kondisinya.
Bab ketiga menjelaskan tentang hubungan maqashid al-saria`h dengan
kekayaan, serta membahas siklus kekayaan dalam perspektif Islam. Bab keempat
membahas tentang pandangan umum maqasihid al-sari`ah dalam ekonomi dan
demokrasiIslam yang memfokuskan pada maqashid al-sayri`ah dari
perspektif makro. Bab kelima membahas tentang maqashid al-saria`ah dalam
ekonomi dan keuangan Islam berdasarkan pendekatan yang lebih spesifik dan
memfokuskan pada maqashid al-sari`ah dari perspektid mikro. Bab keenam
menjelaskan mekanisme dalam pengimpletasian maqashid al-syari`ah dalam
bisnis dan keuangan, serta menunjukan bahwa keharusannya maqashid
al-syari`ah untuk diterapkan. Bab ketujuh membahas tentang penegakan hukum
yang relevan terkait maqashid al-syari`ah dan maslahah. Bab
kedelapan membahas mengenai isu dan subtansi dalam keuangan Islam dengan
membahas aplikasi dalam maqashid –al-Syariah dan kontrak dengan hukum
Islam. Bab kesembilan membahas tentang etika dalam Islam pada maqashid
al-syari`ah dan keuangan Islam, dan bab kesepuluh memaparkan resolusi
berdasarkan maqashid al-syari`ah pada perbankan dan keuangan Islam untuk
menunjukan bagaimana telah diterapkannya maslahah / maqashid
al-syari`ah
[7]
Ahcene Lahsasna, Ibid, hlm. xix.
[8]
Kuat Ismanto. Asuransi Perspektif
Maqasid Asy-Syari`ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 127
[9]
Adiwarman Karim, dan Oni Sahroni. Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam
Sintesis Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 11
[10] Muhammad Faisol, Pendekatan Sistem Jasser
Auda Terhadap Hukum Islam: Ke Arah Fiqh Post-Postmodernisme. (Kalam: Jurnal
Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume VI, Nomor 1, Juni 2012) hlm. 47
[11] Muhammad Faisol, Ibid., hlm. 48
[12]
Ibid., hlm. 48 - 49
[13]
Ibid., hlm. 49
[14]
Ibid., hlm. 49 - 50
[15]
Ibid., hlm. 50
[16]
Muhammad Faisol. Ibid., hlm. 51
[17]
Ibid., hlm. 51
[18]
Ibid., hlm. 52
[19]
Ibid., hlm. 52- 53
[20]
Ayief Fathurrahman, Pendekatan Maqasid Syari`ah: Konstruksi Terhadap
Pengembangan Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam, (Hunafah jurnal Studia
Islamika܃, Vol. 11, No. 2,
Desember 2014) PDF dari
https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/354
[21]
Eva Muzlifah, Maqadhid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam. (Economic;Jurnal
Ekonomi dan Hukum Islam, 2013) hlm. 73
[22]
Lahsasna, Ibid., hlm. 6
[23]
Slideshow dari Ahcene Lahsasna terkait buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic
Finance, hlm. 11. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwio75bmwM7WAhUSS48KHYrwAnEQFgg2MAE&url=http%3A%2F%2Finceif-students.lefora.com%2Fattach%2Fview%2Fma%2F52f6662bf5fa87eb7a878af05f9f9672a2a4a16b.pdf&usg=AOvVaw0R_gjhhEWKgmRO-jeXPZVU
September 2017
[24]
Ibid., hlm. 12
[25]
Ibid., hlm. 13
[26]
Ibid., hlm. 14
[27] Ibid., hlm. 15
[28]
Ibid., hlm. 15
[29]
Ibid., hlm. 16
[30]
Ibid., hlm. 17
[31]
Kuat Ismanto. Ibid, hlm. 127
[32]
Ibid.,.
[33]
Ibid.,.
[34]
Siti Nur Fatoni, Pengantar Ilmu Ekomomi, Dilengkapi Dasar – dasar Ekonomi
Islam. Bandung: Cv. Pustaka Setia. hlm. 208
[35]
Lahsasna, Ibid., hlm. 169
[36]
Ibid.,. hlm. 169
Comments
Post a Comment
Thank You