Urgensi Maqasid al-Shariah dalam Keuangan Islam

 

Book Review

Judul: Maqasid al-Shari`ah in Islamic Finance

Penulis: Ahcene Lahsasna

Penerbit: IBFIM, Kuala Lumpur, Malaysia

Tahun: 2013

Tebal: xxx + 345 Halaman

ISBN: 978-967-0149-36-3



Urgensi Maqasid al-Shariah dalam Keuangan Islam

Oleh: Krisnanda

 

A.    Pendahuluan

Dewasa ini, Indonesia telah banyak memiliki lembaga keuangan dan bisnis syari`ah yang terus exis dan berkembang. Sebagai contoh, telah banyak berdirinya perbankan syari‘ah, pasar modal syari`ah, asuransi syari`ah, koperasi syari`ah, pegadaian syari`ah, reksadana syari`ah dan lain sebagainya. Hal ini dapat dikatakan bahwa Indonesia memiliki peran penting

dalam perkembangan keuangan syari`ah. Hal mendasar yang perlu diperhatikan dalam perkembangan keuangan syari`ah adalah prinsip dan praktik dalam kerja pada lembaga syari`ah harus berlandaskan dengan nilai-nilai Islam, sehingga tercapai dan terwujudnya kesejahteraan umat baik di dunia maupun di akhirat.

Melihat pada penjelasan tersebut, menimbulkan pertanyaan, apa yang menjadi dasar utama dalam pengembangan operasional dan produk – produk dalam keuangan syari`ah?, apakah dengan dasar utama tersebut benar - benar dapat mewujudkan kesejahteraan?, bagaimana jika dalam praktik pada keuangan syari`ah dilapangan tidak sesuai dengan dasar utama?. Tidak heran pertanyaan – pertanyaan seperti ini muncul sebagai sebuah pertanyaan penting, karena tujuan utama didirikannya sistem keuangan syariah adalah untuk mencapai kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat.

B.     Definisi dan Penetapan Maqashid al-Syari`ah

Secara bahasa, menurut Munawwir, 1997 dalam julnal Bisnis Vol. 3, bahwa maqashid al-syari`ah terdiri dari dua kata yaitu maqshid dan al-syari‘ah yang mana satu sama lain saling berhubungan dalam bentuk idhafah (mudhaf - mudhaf ilaihi).[1]

Menurut Syarifuddin, 2008 dalam julnal Bisnis Vol. 3, kata maqashid adalah bentuk jamak dari kata maqshud yang artinya adalah maksud dan tujuan, sedangkan kata al-syari‘ah yang berarti hukum Allah swt., baik yang tertera pada al-Qur`an maupun Hadist.[2] Definsi lain menurut Fahurrahman, 2013 bahwa syari`ah adalah segala hukum yang Allah swt. tetapkan bagi hamba-Nya yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah swt., hubungan antara manusia dengan manusia, dan hubungan antara manusia dengan lingkungan dan kehidupannya.[3]

Berdasarkan makna dari kedua kata tersebut, maka pengertian dari maqashid al-syari`ah merupakan maksud atau tujuan disyariatkan hukum Islam.[4] Sedangkan menurut definisi lain, maqashid al-syari‘ah merupakan suatu hal yang diinginkan pembuat syariat yaitu Allah swt. terkait makna dan hikmah dalam menetapkan hukum untuk kemaslahatan makhluk-Nya.[5]

Menurut Ibn Ashur dalam buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance, 2013 mendefinisikan bahwa Maqashid al-Syari`ah memiliki dua aspek, yang pertama yaitu aspek umum yang menjadi tujuan dan kebijakan dalam diberlakukannya semua atau sebagian hukum syari`ah, yang kedua yaitu aspek khusus yang lebih spesifik yang berkaitan dengan kegiatan sehari – hari seperti keuangan Islam untuk tercapainya manfaat.[6]

Menurut definisi lain, maqashid al-Syari`ah (tujuan hukum Islam) adalah salah satu konsep terpenting dalam memperkuat keuangan Islam kontemporer saat ini.[7] Secara konseptual, menurut Wahbah az-Zuhaili dalam buku karangan Kuat Ismanto, 2016 bahwa maqashid al-syari`ah adalah tujuan atau rahasia yang ditetapkan oleh Syari` (pembuat hukum) pada setiap hukum dari hukum – hukum syari`ah.[8] Dalam maqashid as-syariah terdapat beberapa istilah antara lain sebagai berikut:[9]

a.       Himah adalah tujuan ditetapkan atau ditiadakan suatu hukum.

b.      Maslahat adalah setiap perkara yang memberikan manfaat dan menghapus kemudhorotan.

c.       `Illat adalah sifat yang jelas, dan mudhobit (bisa diterapkan dalam setiap kondisi) yang menjadi acuan setiap hukum.

Menurut Jasser Auda, maqasid as-syari`ah (sekumpulan tujuan ketuhanan dan nilai-nilai moral) dapat dijadikan sebagai jembatan antara syariah Islam dengan berbagai isu-isu dan tantangan kekinian, bahkan menjadi kunci utama dan menjadi pintu dasar untuk melakukan ijtihad terhadap pembaharuan.[10]

Pada kajian hukum Islam klasik menyebutkan bahwa maqasid as-syari’ah dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: al-dharuriyat, al-hajiyat dan al-tahsiniyat. Seperti ini lah konsep maqasid as-syari’ah dalam hukum Islam klasik diberlakukan dan dipahami secara hirarkis atas dasar pertimbangan ke-darurot-an.[11]

Jasser Auda mengkritisi atas teori maqasid yang dikembangkan pada abad klasik tersebut, diantaranya:[12]

a.       Teori maqasid klasik tidak memerinci cakupannya dalam bab-bab khusus sehingga tidak mampu menjawab secara detail pertanyaan-pertanyaan mengenai persoalan tertentu.

b.      Teori maqasid klasik lebih mengarah pada kemaslahatan individu, bukan manusia atau masyarakat secara umum.

c.       Klasifikasi maqasid klasik tidak mencakup prinsip-prinsip utama yang lebih luas, misalnya keadilan, kebebasan berekspresi dan lain-lain.

d.      Penetapan maqasid dalam teori maqasid klasik bersumber pada warisan intelektual fiqh yang diciptakan oleh para ahli fiqh, dan bukan diambil dari teks-teks utama seperti al-Qur’an dan sunnah.

Bagi Jasser Auda, teori maqasid klasik yang lebih bersifat hirarkis dan lebih terjebak pada kemaslahatan individu tersebut tidak akan mampu menajawab tantangan dan persoalan zaman kekinian.[13]

Dalam hal tersebut, Jasser Auda mengungkapkan bahwa Maqasid as-syari’ah dapat dijadikan sebagai prinsip universal (al-ushul al-kulli) untuk menghindari pertentangan dalil (ta’arud al-adillah) antara makna lafal dengan makna konteks. Hal ini menjadi metode jalan tengah antara pertentangan dalil agar tidak terjebak pada teks atau terbuai dengan kepentingan konteks. Dalam hal ini Maqasid as-syari’ah hadir dalam rangka keluar dari ketegangan tersebut yang tidak tenggelam dalam ungkapan lafal saja, namun pada saat yang sama mampu mewujudkan maksud teks yang sebenarnya. Jadi, maqasid harus difungsikan sebagai landasan untuk menafsirkan teks-teks keagamaan (al-Qur’an dan hadits). Oleh karenanya, Jasser Auda mengutarakan sebuah prinsip “taduru al-ahkam al-syar’iyah al-amaliyah ma’a maqasidiha  wujudan wa’adaman  kama taduru ma’a ‘ilaliha wujudan wa ‘adaman”.[14]

Praktik pengambilan keputusan hukum dengan mempertimbangkan Maqasid as-syari’ah tersebut pernah dilakukan pada zaman para sahabat Nabi. Dimana diceritakan ketika penaklukan Irak, Syam, dan Mesir saat itu khalifah Umar bin Khattab menolak untuk membagikan tanah negeri yang ditaklukkan (sebagai ganimah) kepada para panglima perang umat Islam. Keputusan yang dilakukan khalifah Umar untuk tidak membagikan tanah ini berdasarkan pertimbangan kemaslahatan publik, yaitu supaya tidak terjadi ketimpangan sosial dimana kekayaan tidak hanya dikuasai oleh kalangan agniya saja.[15]

Menurut Jasser Auda, agar syari`ah Islam mampu memainkan peran positif dalam mewujudkan kemasahatan umat manusia, dan mampu menjawab tantangan-tantangan zaman kekinian, maka cakupan dan dimenasi teori maqasid seperti yang telah dikembangkan pada hukum Islam klasik harus diperluas. Dimana teori yang semula terbatas pada kemaslahan individu, harus diperluas dimensinya mencakup wilayah yang lebih umum. Dari perlindungan keturunan (hifz al-nasl) menjadi perlindungan keluarga (hifz al-usrah); dari perlindungan akal (hifz al-aql) menjadi pewujudan berpikir ilmiah atau pewujudan semangat mencari ilmu pengetahuan; dari perlindungan jiwa (hifz al-nafs) menjadi perlindungan kehormatan manusia (hifz al-karamah al-insaniyah) atau perlindungan hak-hak manusia (hifz huquq a-linsan); dari perlindungan agama (hifz al-din) menjadi perlindungan kebebasan berkeyakinan (hurriyah al-I’tiqad); dari perlindungan harta kekayaan (hifz al-mal) menjadi pewujudan solidaritas sosial.[16]

Usaha ini telah mendapatkan pendasaran yang nyata oleh para ulama klasik dalam praktik usul fiqh. Berarti bahwa, praktik untuk lebih mempertimbangkan kemaslahatan universal di balik maqasid as-syari’ah menjadi kunci penting dalam penetapan sebuah hukum Islam bagi sebagian ahli fiqh masa lalu (klasik).[17]

Selain perluasan dimensi maqasid, teori maqasid klasik perlu direkonstruksi agar dapat keluar dari keterbatasannya. Di sini, Jasser Auda mengajukan konsep baru terhadap teori maqasid. Menurutnya, maqasid as-syari’ah dapat dibagi kedalam tiga level yaitu: maqasid umum, maqasid khusus dan maqasid parsial.[18] Ketiga kategori maqasid as-syari’ah tersebut harus dilihat secara holistik, tidak dapat terpisahkan dan bersifat hirarkis sebagaimana dalam teori maqasid klasik. Kesatuan maqasid ini sepenuhnya harus dilihat dalam spektrum atau dimenasi yang lebih luas. Teori inilah yang menjadi pintu masuk untuk melakukan pembaharuan dalam merespon problem konteks zaman kekinian.[19]

 

C. Pentingnya Maqashid al-Syari`ah dalam Keuangan Islam

Menurut Abdul Wahab Khalaf, eksistensi maqashid al-syari‘ah dalam keuangan Islam menjadi penting karena dapat menjadi sebagai alat bantu dalam memahami redaksi al-Qur`an dan sunnah, membantu menyelesaikan dalil yang saling bertentangan dan yang sangat penting lagi adalah untuk menetapkan suatu hukum dalam sebuah kasus yang ketentuan hukumnya tidak tercantum dalam al-Qur`an dan sunnah jika menggunakan kajian semantik (kebahasaan).[20] Ekonomi Islam yang telah berkembang beberapa tahun terakhir ini menempatkan maqashid as-syariah sebagai acuan sehingga sistem dan ilmu yang kini tengah diformulasikan dapat memberi kemaslahatan dan mampu menjadi obat terhadap kompleknya problem ekonomi kekinian.[21]

Menurut Lahsasna dalam buku yang berjudul Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance, 2013 bahwa pentingnya maqashid al-Syari`ah sebagai berikut:[22]

-          Maqasid Syariah adalah salah satu aspek yang sangat penting dalam yurisprudensi Islam.

-          Maqasid membantu memvalidasi resolusi dan keputusan yang berbeda yang berasal dari teks.

-          Ahli hukum Islam bergantung pada pendekatan Maqasid dalam semua jenis ijthad hukum Islam apakah tujuannya adalah keuangan Islam atau sesuatu yang lain.

-          Maqasid membantu ahli hukum untuk memahami Syariah dalam berbagai aspek.

-          Referensi utama bagi dewan penasihat Syariah dalam mengeluarkan fatwa dan resolusi.

-          Referensi utama untuk regulator seperti komisi Bank Negara & dewan pengawas.

-          Referensi utama untuk badan penataan seperti AAOIFI & IFSB.

-          Referensi utama untuk sektor perencanaan keuangan.

Ada beberapa tujuan syari`ah  dalam keuangan Islam yaitu; a) tujuan dalam transaksi keuangan mengacu pada keseluruhan tujuan Syariah dalam semua jenis kegiatan, b) Tercapainya tujuan dimana masyarakat dapat memanfaatkannya, dan memberikan kedamaian, kemakmuran, kebahagiaan, c) Mencakup semua jenis transaksi keuangan.[23]

Dari keseluruhan pembahasan buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance terlihat jelas tujuan syari`ah dalam keuangan Islam adalah dalam gambar sebagai berikut:[24]



Pertama, the circulation of wealth/sirklusi kekayaan yang mengacu pada kemungkinan sektor – sektor besar penduduk menjadi bagian dari siklus moneter kekayaan. Dari tujuan sirkulasi kekayaan ini dapat diamati melalui pemberian zakat, sedekah, larangan monopoli dalam bisnis juga mempromosikan prinsip-prinsip bagi hasil. Sehingga salam hal ini untuk menekankan pentingnya tujuan sirkulasi keuangan, Syariah mengizinkan semua kontrak dan kegiatan keuangan baru yang dianggap diperbolehkan kecuali ada teks yang melarangnya.[25]

Kedua, the continuity of the investment of wealth/keberlangsungan investasi kekayaan yang mana tujuanya agar masyarakat menjadi makmur, sehingga kekayaan harus diinvestasikan agar memiliki nilai tambah dari kekayan tersebut.[26]

Ketiga, achieving comprehensive communal prosperity/mencapai kemakmuran yang komprehensif dimana tujuan ini diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dasar semua anggota masyarakat oleh mencapai kepuasan pribadi. Pencapaian tujuan ini juga akan menyingkirkan masyarakat dari atribut sosial negatif seperti stratifikasi populasi ke kelas istimewa dan kelas non-istimewa.[27]

Keempat, the financial transparency/transparansi keuangan yaitu bisnis dan keuangan diharuskan untuk membuatnya tetap transparan. Sebagai contoh, Musharakah (pembagian keuntungan dan kerugian) mencegah perselisihan, argumen di kalangan masyarakat mengenai masalah keuangan.[28]

Kelima, prevent harm and hardship in wealth and finance/mencegah keharaman dan kesulitan dalam kekayaan dan keuangan yaitu untuk mencapai kemakmuran yang komprehensif di masyarakat. Hal ini menjelaskan bahwa mencegah bahaya di bidang keuangan merupakan hasil praktik sebagian besar tujuan syariah, karena tujuan tersebut merupakan salah satu faktor untuk pencapaian kemakmuran.[29]

Keenam, ensure justice in circulation of the wealth in business transaction/memastikan keadilan dalam sirkulasi kekayaan dalam transaksi bisnis yaitu berprilaku adil yang merupakan konsep dari perspektif Islam. Persyaratan utama dalam kehidupan manusia di semua aspek.[30]

Inti dari maqashid al-syari`ah adalah mendatangkan kemaslahatan dan menolak keburukan. AsySyatibi menegaskan bahwa pembuatan syari`ah atau hukum Islam semata – mata dimaksudkan untuk kemaslahatan manusia di dunia dan diakhirat. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Allah menciptakan hukum untuk mewujudkan dan melindungi maslahah dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah.[31]

Perwujudan hajiyah adalah terpeliharanya kebutuhan esensial manusia, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Pemeliharaan tersebut bisa dilakukan melalui dua aspek, pertama aspek ijabiyah  yaitu realisasi atau perwujudan. Kedua, aspek salbiyah, yaitu pemeliharaan atau perlindungan. Misalnya, realisasi agama melalui pelaksanaan rukun Islam, dan pemeliharaannya melalui perberantasan orang – orang yang akan menghancurkan agama. Dari sini dapat disimpulkan bahwa makna tertinggi dari maqashid al-Syari`ah adalah perlindungan (hifd).[32]

Kemaslahatan dalam taklif  Tuhan dapat terwujud dalam dua bentuk, yaitu manfaat langsung dalam arti kausalitas, dan kekdua dalam bentuk majazi, yaitu bentuk yang merupakan sebab yangvmembawa kemaslahatan. Al-Ghazali membagi kemaslahatan menjadi tiga, yaitu dharuriyah, hajiyah, dan tahsiniyah. Pengelompokan ini didasarkan pada tingkat kebutuahan dan skala prioritasnya. Urutan Ini akan terlihat kepentingannya, manakala peringkat satu sama lain bertentangan. [33]

  1. Maqashid al-Syari`ah dalam Murabahah

Dalam buku ini dijelaskan bahwa murabahah adalah jenis kontrak dalam jual beli berdasarkan kepercayaan, di mana penjual mengungkapkan transaksi keuangan atau transparansi dengan menjual barang dengan memberitahukan biaya asli dan keuntungan marjinnya pada barang yang dijual kepada pembeli yang dalam artian sebagai kenaikan harga dari biaya asli untuk keuntungan penjual. Hal ini senada dengan pendapat Fatoni, 2014 bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Pada murabahah, penjual hari memberi tahu harga produk yang dibeli dan menentukan tingkat keuntungan.[34]

Dalam buku ini juga menjelaskan bahwa murabahah adalah salah satu mekanisme pembiayaan hutang yang paling populer di perbankan syariah. Hal ini didefinisikan sebagaimana penjualan barang dengan harga yang telah dibeli oleh penjual, dengan tambahan keuntungan lain yang diketahui baik oleh penjual maupun pembeli.[35]

Salah satu ciri yang membedakan murabahah dari jenis transaksi penjualan lainnya adalah bahwa dalam murabahah tersebut mengungkapkan kepada pembeli berapa biaya yang dia keluarkan dan berapa banyak keuntungan yang dia bayar selain dari biaya asli pembelian barang dalam artian disini penjual melakukan transparansi harga dari suatu barang yang dijual. Diantara maqasid al-Syari'ah dalam murabahah adalah sebagai berikut:[36]

  1. Murabahah memperluas cakupan bisnis dan perdagangan dengan menambahkan sarana yang diijinkan untuk menghasilkan keuntungan dan kekayaan.
  2. Murabahah meningkatkan tingkat etika dalam dunia bisnis karena murabahah adalah transaksi yang didasarkan pada kepercayaan, dimana penerimaan kesepakatan oleh pembeli tergantung pada kejujuran dan integritas penjual. Oleh karena itu, jika penjual mengungkapkan biaya yang salah atas barang yang dijual, pembeli berhak mencabut kontrak dan penjualan itu tidak valid/sah.
  1. Penutup

Sebagai penutup dari keseluruhan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa maqashid al-syari`ah adalah bidang keilmuan yang penting dalam yurisprudensi Islam yang berperan penting dalam hukum syari`ah pada umumnya dan khususnya dalam keuangan Islam. Dalam keuangan Islam yang pengimplementasian maqashid al-syari`ah memastikan dalam kegiatan ekonomi dan bisnis untuk tercapainya tujuan dalam mensejahterakan masyarakat. Pemahaman secara lengkap tentang maqashid al-syari`ah adalah syarat utama sebelum memasuki tahap implementasi pada keuangan dan perbankan.

Dalam buku yang dilengkapi dengan satu bab tentang kekayaan ini bisa dianggap buku yang relatif lengkap menjelaskan definisi kekayaan menurut maqashid syari`ah dan memaparkan prinsip – prinsip syari`ah dalam kekayaan. Buku ini menggunakan pendekatan sosio-historis dan empiris  di mana terdapat beberapa kutipan masa lalu dan terdapat pula teori – teori tentang keuangan dan bisnis yang dipaparkan di dalamnya seperti etika bisnis Islam yang didalamnya juga terdapat kode etik dalam keuangan Islam dan sebuah organisasi Islam. Buku ini dapat menjadi sebuah khazanah yang wajib dibaca bagi para praktisi maupun ilmuan sebagai bahan referensi pokok untuk mengaplikasikan nilai – nilai maqashid al-syari`ah dalam keuangan.

Kehadiran buku ini menjadi bukti bahwa dalam keuangan dapan diterapkan nilai – nilai maqashid syari`ah yang berdampak baik bagi kesejahteraan masyarakat. Buku ini sangat baik untuk diterapkan pada keuangan di masyarakat yang mana kemaslahatan sebagai tujuannya. Buku ini juga cocok menjadi bahan ajar bagi perguruan tinggi yang berfokus materi pada praktik – praktik keuangan Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Djamil, Fahurrahman. 2013. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika

Faisol, Muhammad. 2012. Pendekatan Sistem Jasser Auda Terhadap Hukum Islam: Ke Arah Fiqh Post-Postmodernisme. (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume VI, Nomor 1)

Fatoni, Siti Nur. 2014. Pengantar Ilmu Ekomomi, Dilengkapi Dasar – dasar Ekonomi Islam. Bandung: Cv. Pustaka Setia

Fathurrahman, Ayief. 2014. Pendekatan Maqasid Syari`ah: Konstruksi Terhadap Pengembangan Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam, (Hunafah: jurnal Studia Islamika܃, Vol. 11, No. 2) PDF dari https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/354 September 2017

Kuat, Ismanto. 2016. Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syari`ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Karim, Adiwarman. dan Sahroni, Oni. 2015. Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Lahsasna, Ahcene. 2013. Maqasid al-Shari`ah in Islamic. Kuala Lumpur: IBFIM

Muzlifah, Eva. 2013. Maqadhid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam. (Economic;Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam)

Slideshow dari Ahcene Lahsasna terkait buku Maqashid al-Syari`ah in Islamic Finance, hlm. 11. https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwio75bmwM7WAhUSS48KHYrwAnEQFgg2MAE&url=http%3A%2F%2Finceif-students.lefora.com%2Fattach%2Fview%2Fma%2F52f6662bf5fa87eb7a878af05f9f9672a2a4a16b.pdf&usg=AOvVaw0R_gjhhEWKgmRO-jeXPZVU September 2017

Zaki, Muhammad, dan Tri, Bayu Cahya. 2015. Aplikasi Maqasid asy-syari`ah pada Sistem Keuangan Syari`ah, (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam,Vol. 3, No. 2) PDF dari http://journal.stainkudus.ac.id/index.php/Bisnis/article/download/1497/1375 September 2017



[1] Muhammad Zaki dan Bayu Tri Cahya, Aplikasi Maqasid Asy-Syari‘Ah Pada Sistem Keuangan Syariah, (Jurnal Bisnis dan Manajemen Islam, Vol. 3, No. 2, Desember 2015) , hlm. 314

[2] Muhammad Zaki, Ibid, hlm. 314

[3] Ibid, hlm. 314

[4] Fahurrahman Djamil. Hukum Ekonomi Islam: Sejarah, Teori dan Konsep. Jakarta: Sinar Grafika, 2013, hlm. 63

[5] Muhammad Zaki, Ibid,. hlm. 314

[6] Ahcene Lahsasna, Maqasid al-Shari`ah in Islamic (Kuala Lumpur: IBFIM, 2013), hlm. 3-4. Secara keseluruhan buku ini terdiri dari sepuluh bab. Bab pertama membahas tentang pengantar maqashid al-sari`ah beserta konsepnya dimana terdapat penjelasan pentingnya penerapan maqashi al-sari`ah. Bab kedua menjelaskan tentang konsep maslahah dalam syari`ah serta menjelaskan pula tentang maslahah mursalah baik dari sisi konsep serta kondisinya. Bab ketiga menjelaskan tentang hubungan maqashid al-saria`h dengan kekayaan, serta membahas siklus kekayaan dalam perspektif Islam. Bab keempat membahas tentang pandangan umum maqasihid al-sari`ah dalam ekonomi dan demokrasiIslam yang memfokuskan pada maqashid al-sayri`ah dari perspektif makro. Bab kelima membahas tentang maqashid al-saria`ah dalam ekonomi dan keuangan Islam berdasarkan pendekatan yang lebih spesifik dan memfokuskan pada maqashid al-sari`ah dari perspektid mikro. Bab keenam menjelaskan mekanisme dalam pengimpletasian maqashid al-syari`ah dalam bisnis dan keuangan, serta menunjukan bahwa keharusannya maqashid al-syari`ah untuk diterapkan. Bab ketujuh membahas tentang penegakan hukum yang relevan terkait maqashid al-syari`ah dan maslahah. Bab kedelapan membahas mengenai isu dan subtansi dalam keuangan Islam dengan membahas aplikasi dalam maqashid –al-Syariah dan kontrak dengan hukum Islam. Bab kesembilan membahas tentang etika dalam Islam pada maqashid al-syari`ah dan keuangan Islam, dan bab kesepuluh memaparkan resolusi berdasarkan maqashid al-syari`ah pada perbankan dan keuangan Islam untuk menunjukan bagaimana telah diterapkannya maslahah / maqashid al-syari`ah

[7] Ahcene Lahsasna, Ibid, hlm. xix.

[8]  Kuat Ismanto. Asuransi Perspektif Maqasid Asy-Syari`ah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), hlm. 127

[9] Adiwarman Karim, dan Oni Sahroni. Maqashid Bisnis dan Keuangan Islam Sintesis Fikih dan Ekonomi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015) hlm. 11

[10]  Muhammad Faisol, Pendekatan Sistem Jasser Auda Terhadap Hukum Islam: Ke Arah Fiqh Post-Postmodernisme. (Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, Volume VI, Nomor 1, Juni 2012) hlm. 47

[11]  Muhammad Faisol, Ibid., hlm. 48

[12] Ibid., hlm. 48 - 49

[13] Ibid., hlm. 49

[14] Ibid., hlm. 49 - 50

[15] Ibid., hlm. 50

[16] Muhammad Faisol. Ibid., hlm. 51

[17] Ibid., hlm. 51

[18] Ibid., hlm. 52

[19] Ibid., hlm. 52- 53

[20] Ayief Fathurrahman, Pendekatan Maqasid Syari`ah: Konstruksi Terhadap Pengembangan Ilmu Ekonomi dan Keuangan Islam, (Hunafah jurnal Studia Islamika܃, Vol. 11, No. 2, Desember 2014) PDF dari https://www.jurnalhunafa.org/index.php/hunafa/article/view/354

[21] Eva Muzlifah, Maqadhid Syariah Sebagai Paradigma Dasar Ekonomi Islam. (Economic;Jurnal Ekonomi dan Hukum Islam, 2013) hlm. 73

[22] Lahsasna, Ibid., hlm. 6

[24] Ibid., hlm. 12

[25]  Ibid., hlm. 13

[26]  Ibid., hlm. 14

[27]  Ibid., hlm. 15

[28]  Ibid., hlm. 15

[29]  Ibid., hlm. 16

[30]  Ibid., hlm. 17

[31] Kuat Ismanto. Ibid, hlm. 127

[32] Ibid.,.

[33] Ibid.,.

[34] Siti Nur Fatoni, Pengantar Ilmu Ekomomi, Dilengkapi Dasar – dasar Ekonomi Islam. Bandung: Cv. Pustaka Setia. hlm. 208

[35] Lahsasna, Ibid., hlm. 169

[36] Ibid.,. hlm. 169

Comments

Popular Posts