PENGERTIAN QIYAS
Oleh: Krisnanda
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dalam hukum Islam, qiyas adalah sebuah solusi yang ditawarkan untuk berbagai kasus hukum yang tidak disebutkan secara eksplisit dalil dalam sumber hukum Islam. Diketahui bahwa Imam Syafi'i adalah
penggagas konsep qiyas. Dalam pandangannya, berbagai kasus hukum yang terdapat dalam masyarakat Muslim yang tidak jelas diatur dalam al-Qur’an atau Sunnah dapat diselesaikan melalui qiyas. Semua orang mengetahui bahwa hukum Islam terkandung dalam Al-Quran, tradisi kenabian, pendapat dari generasi awal ulama, konsensus dan kontroversi di antara mereka, memiliki kapasitas intelektual yang tinggi dan analisis yang tajam di mana ia dapat mengidentifikasi fakta yang tidak jelas, dan bisa menjadi al-Qais. Sebuah qiyas tidak boleh melampaui teks dari sumber utama hukum Islam, karena diambil dari teks yang ada.Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
1.2
Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan qiyas?
b. Bagaimana qiyas diaplikasikan dalam menentukan sebuah hukum?
1.3
Tujuan
a.
Memahami apa yang dimaksud dengan qiyas.
b. Memahami bagaimana qiyas diaplikasikam dalam menentukan sebuah hukum.
PEMBAHASAN
2.1.
Pengertian Qiyas
Secara
bahasa, qiyas merupakan bentuk masdar dari bahasa Arab yaitu qosa
– yaqisu - qoisan yang artinya pengukuran atau perbandingan. Abdul Wahab
Khalaf mendefinisikan dalam Ushul Fiqh karya Beni, 2008 bahwa Qiyas
menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah mempersamakan keadaaan
perkara yang tidak ada nash dan ketentuan hukumnya dengan keadaan perkara yang
ada nash dan ketentuan hukumnya karena pada dua perkara tersebut terdapat illat
hukum yang sama.[1]
Maka,
dapat diketahui dari definisi di atas apabila suatu nash telah menunjukkan hukum
mengenai suatu kasus dan illat hukum itu telah diketahui melalui
salah satu metode untuk mengetahui illat
hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nashnya itu
dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada kasus itu, maka
hukum kasus itu disamakan dengan hukum kasus yang ada nashnya, berdasarkan atas
persamaan illatnya, karena sesungguhnya hukum itu ada di mana illat
hukum ada.[2]
Di bawah ini
beberapa contoh qiyas hukum syara’ yang dapat menjelaskan definisi tersebut:
1.
Meminum khamar adalah kasus
yang ditetapkan hukumnya oleh nash yaitu
pengharaman yang ditunjuki oleh firman Allah SWT QS Al-Ma'idah : 90.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ [3]
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah
termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
mendapat keberuntungan.[4]
Dari ayat tersebut dapat dilihat illatnya yaitu memabukkan. Maka setiap minuman yang terdapat pada illat memabukkan disamakan dengan khamar mengenai hukumnya dan haram meminumnya.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
Dalil Qiyas
Qiyas menurut para ulama
adalah hujjah syar'iyah yang keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan
Ijma'. Seperti yang telah dijelaskan sebagai berikut:
القياس هو
المصدر الرابع من مصادر التشريع المتفق عليها، بعد كتاب الله، وسنة رسول الله،
والإجماع[5]
Para ulama berpendapat demikian
dengan beberapa dalil tentang qias dengan penjelasan sebagai berikut:
لقد استدل العلماء على وجوب العمل بالقياس شرعاً، بأدلة كثيرة من الكتاب، والسنة، وإجماع الصحابة، لا سبيل إلى ذكر جميعها، ولذلك سأكتفي بأهمها.
فمن الكتاب، قال الله تعالى: ﴿ فاعتبروا يا أولي الأبصار﴾ في سياق الكلام على ما وصل إليه حال اليهود والأمم الماضية والاعتبار هو القياس، أي قيسوا أنفسكم بهم، فما نزل بهم بعصيانهم سينزل بكم بعصيانكم.
وذلك لأن القياس مجاوزة عن حكم الأصل إلى حكم الفرع ،والمجاوزة اعتبار، لأنها مشتقة من العبور وهو المجاوزة، يقال: عبرت النهر بمعنى جاوزته ، فالقياس والمجاوزة مترادفان، والمجاوزة هي الاعتبار، والاعتبار مأمور به، فالقياس مأمور به.
وأما من السنة فما أخرجه الترمذي ،وأبو داود ، وأحمد ، والبيهقي ،
والدرامي ، عن معاذ رضي الله حين بعثه رسول الله
- r - إلى اليمن إذ قال له: (( بم تحكم ؟
قال: بكتاب الله تعالى، قال: فإن لم تجد؟ قال : بسنة رسول الله - r - قال : فإن لم تجد؟ قال : اجتهد رأيي ولا آلو فقال النبي
- r -: الحمد لله الذي وفق رسولَ رسولِ الله
لما يحبه ويرضاه رسول الله(( .
والاجتهاد هو القياس ،وقد أقره عليه
- r - .[6]
Pada kalimat diatas dapat dilihat bahwa para ulama mewajibkan qias
dengan firman Allah yang terdapat pada surah al-Hasr ayat 2 yang artinya:
"Hendaklah
kamu mengambil i'tibar (ibarat = pelajaran) hai orang-orang yang berfikiran"
Kata i`tibar disini berarti juga qias diamana
membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Begitu juga dalam hadist Nabi yang
diwiwayatkan oleh imam Timizi bahwa dalam menentukan sebuah hukum dapat
menggunakan ijtihad yang berarti qiyas. Hal ini menunjukan bahwa qiyas
adalah hujjah syar'iyah yang
keempat sesudah Al-Qur'an, Hadits dan Ijma'.
2.2.
Rukun, Syarat, dan Pembagian Qiyas
Berdasarkan
defenisi bahwa qiyas ialah mempersamakan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya dengan hukum suatu peristiwa yang ada nashnya karena illat
serupa, maka ushul fiqih mengatakan bahwa rukun qiyas terdiri dari:[7]
1. Ashl yang berarti pokok, yaitu suatu pristiwa yang telah
ditetapkan hukum berdasarkan nash. Ashl disebut juga maqis ‘alaih (yang
menjadi ukuran), atau musyabbabih (tempat menyerupakan), atau mahmu `alaih
(tempat membandingakan).
2. Furu` yang berarti cabang, yaitu suatu pristiwa yang
belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai
dasar. Furu disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan), atau mahmul (yang dibandingkan), seperti pengharaman
wisky dengan mengqiyaskannya kepada khamar.
3. Hukum ashl, hukum dari asal yang telah ditetapkan
berdasarkan nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada furu`
seandainya ada persamaan ‘ilatnya seperti keharaman minuman khamar.
Adapun hukum yang ditetapkan oleh furu` pada dasarnya merupakan buah
(hasil) dari qiyas.
4. ‘ilat yaitu suatu sifat yang ada pada ashl dan
sifat itu yang dicari pada furu’, seandainya sifat yang ada pada furu`
maka persamaan sifat yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum furu`
sama dengan hukum ashl.
Dilihat
dari rukun tersebut yang menjadi patokan
dalam melakukan qiyas. Bagi siapa yang akan melakukan qiyas harus
mengetahui dan meneliti nash dan hukum yang terkandung di dalamnya. Jika
illat sudah diketahui antara pokok dan cabang maka segera dilakukan qiyas
antara keduanya.[8]
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
Syarat-syarat
Qiyas
1.
Maqis alaih (tempat
mengqiyaskan sesuatu kepadanya). Adapun syarat maqis alaih yaitu:[9]
-
Harus ada dalil atau petunjuk yang memperbolehkan mengqiyaskan
sesuatu kepadanya, baik secara nau’i atau syakhsi (lingkungan yang sempit atau
maksud terbatas).
-
Harus ada kesepakatan ulama tentang adanya ‘illat pada ashl
maqis alaih itu.
2.
Maqis muqayis (sesuatu yang
disamakan hukumnya dengan ashl) Adapun syarat-syaratnya yaitu:
-
‘illat yang terdapat
pada furu’ memiliki kesamaan dengan ‘illat yang terdapat pada ashl.
-
Harus ada kesamaan antara furu’ itu dengan ashl dalam
hal ‘illat mupun hukum.
-
Ketetapan hukum pada furu’ tu tidak menyalahi dalil qath’i.
-
Tidak terdapat penentang (hukum lain).
-
Furu’ itu tidak
pernah diatur hukumnya dalam nash tertentu, baik materi nash itu
bersesuaian dengan hukumnya yang akan di tetapkan pada furu’ atau
berlawanan dengannnya.[10]
3.
Hukum ashl. Adapun syarat bagi hukum ashl untuk dapat
direntangkan kepada kasus lain (furu’) melalui qiyas yaitu:
-
Hukum ashl itu adalah hukum syara’, karena tujuan
dari qiyas adalah untuk mengetahui hukum syara’ pada furu’,
baik dalam bentuk itsbat (adanya hukum) atau dalam bentuk nafi
(tidak adanya hukum).
-
Hukum ashl ditetapkan dengan nash, bukan dengan qiyas.
-
Hukum ashl itu adalah hukum yang tetap berlaku.
-
Hukum ashl itu tidak menyimpang dari ketentuan qiyas.
-
Hukum ashl itu harus disepakati ulama.[11]
4.
‘illat. Adapun
syarat-syarat ‘illat yaitu:
-
‘illat itu harus
mengandung hikmah yang mendoroong pelaksanaan suatu hukum dan dapat dijadikan
sebagai kaitan hukum.
-
‘illat itu harus
suatu sifat yang jelas dan dapat di saksikan.
-
Harus ada hubungan kesesuaian dengan kelayakan antara hukum dengan
sifat yang akan menjadi ‘illat.
Pembagian Qiyas
Pembagian qiyas dapat dilihat dari
beberapa segi yaitu sebagai berikut:
1)
Pembagian qiyas dari segi kekuatan
‘illat yang terdapat pada furu’ dibandingkan pada ‘illat yang terdapat pada
ashal. Dalam hal ini qiyas terbagi menjadi tiga, yaitu:[12]
a) Qiyas
awlawi
yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih kuat dari pemberlakuan hukum
pada ashal karena kekuatan ‘illat pada furu’. Hal ini ditegaskan Allah dalam
surat al-Isra (17) ayat 23.
Artinya: “maka sekali-kali
janganlah kamu mengatakan kepada keduanya (orang tua) perkataan “uf” dan
janganlah kamu membentak mereka”.
b) Qiyas
musawi
yaitu qiyas yang berlakunya hukum padaa furu’ sama keadaanya dengan berlakunya
hukum pada ashal karena kekuatan ‘illatnya sama. Hal ini difirmankan Allah
dalam surat an-Nissa (4) ayat 2.
Artinya: “dan berikanlah kepada
anak-anak yatim (yang sudah baligh) harta mereka, jangan kamu menukar yang baik
dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka”.
c) Qiyas
adwan
yaitu qiyas yang berlakunya hukum pada furu’ lebih lemah dibandingkan dengan
berlakunya hukum pada ashal meskipun qiyas tersebut memenuhi persyaratan.
2) Pembagian
qiyas dari segi kejelasan yaitu:[13]
a) Qiyas
muatsir
yang diibaratkan dengan dua definisi, pertama qiyas yang ‘illat penghubung
antara ashal dan furu’ di tetapkan dengan nash yang sharia tau ijma’. Kedua
qiyas yang ‘ain (sifat itu sendiri) menghubungkan ashal dengan furu’ itu
berpengaruh terhadap ‘ain hukum.
b) Qiyas
mulaimm
yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashal dalam hubungannya dengan hukum haram
adaalah dalam bentuk munashif mulaim.
3)
Pembagian qiyas dari segi dijelaskan
atau tidaknya ‘illat pada qiyas itu terbagi menjadi tiga:[14]
a) Qiyas
ma’na
atau qiyas dalam makna ashal yaitu qiyas yang meskipun ‘illatnya tidak
dijelaskan dalam qiyas namun antara ashal dengan furu’ tidak dapat dibedakan
sehingga furu’ itu seolah-olah ashal itu sendiri.
b) Qiyas
‘illat yaitu
qiyas yang ‘illatnya dijelaskan dan ‘illat tersebut merupakan pendorong bagi
berlakunya hukum ashal.
c) Qiyas
dilalah
yaitu qiyas yang ‘illatnya bukan pendorong bagi penetapan hukum itu sendiri
namun ia merupakan keharusan (kelaziman) bagi ‘illat yang memberi petunjuk akan
adanya ‘illat.
4)
Pembagian qiyas dari segi metode
(mashalik) yang digunakan dalam ashal dan dalam furu’ terbagi kepada empat
macam yaitu:[15]
a) Qiyas
ikhala
yaitu qiyas yang ‘illat hukunya ditetapkan melalui metode munashabah dan
ikhala.
b) Qiyas
syaba yaitu
qiyas yang ‘illat hukumnya ashal ditetaapkan melalui metode syaba.
c) Qiyas
sabru yaitu
qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode sabru wa taqsim.
d) Qiyas third yaitu qiyas yang ‘illat hukum ashalnya ditetapkan melalui metode third.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
2.3.
Penerapan Qiyas dalam Ekonomi
1.
Jual Beli Sistem Tengkulak
Sebagai contoh kongkrit, nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
حَدَّثَنَا الصَّلْتُ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا
عَبْدُ الْوَاحِدِ حَدَّثَنَا مَعْمَرٌ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ طَاوُسٍ عَنْ أَبِيهِ
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تَلَقَّوْا الرُّكْبَانَ وَلَا يَبِعْ حَاضِرٌ لِبَادٍ
قَالَ فَقُلْتُ لِابْنِ عَبَّاسٍ مَا قَوْلُهُ لَا يَبِيعُ حَاضِرٌ لِبَادٍ قَالَ لَا
يَكُونُ لَهُ سِمْسَارًا.
Artinya: Telah menceritakan kepada kami Ash-Shaltu bin
Muhammad telah menceritakan kepada kami 'Abdul Wahid telah menceritakan kepada
kami Ma'mar dari 'Abdullah bin Thawus dari Bapaknya dari Ibnu 'Abbas
radliallahu 'anhuma berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
"Janganlah kalian songsong (cegat) kafilah dagang (sebelum mereka sampai
di pasar) dan janganlah orang kota menjual kepada orang desa". Aku
bertanya kepada Ibnu 'Abbas radliallahu 'anhuma: "Apa arti sabda Beliau;
"dan janganlah orang kota menjual untuk orang desa". Dia menjawab:
"Janganlah seseorang jadi perantara (broker, calo) bagi orang kota".
Jual beli tengkulak biasanya
dilakukan dengan cara memborong seluruh barang dengan maksud mengososngkan
pasar dan menjualnya ketika permintaan semakin banyak sehingga harga barang
semakin tinggi, jual beli tersebut hukumnya haram, karena termasuk melakukan
upaya menimbun barang. Keharamannya didasarkan kepada illat hukum bahwa
jual beli yang demikian sama dengan penipuan. Yang tertipu bukan hanya pedagang,
tetapi masyarakatpun ikut tertipu, karena adanya upaya penimbunan barang yang
berakibat harga naik.[16]
2.
Bunga Bank
Memahami bunga bank dari aspek
legal-formal dan secara induktif, berdasarkan pelarangan terhadap larangan riba
yang diambil dari teks (nas), dan tidak perlu dikaitkan dengan aspek moral
dalam pengharamannya. Paradigma ini berpegang pada konsep bahwa setiap
utang-piutang yang disyaratkan ada tambahan atau manfaat dari modal adalah
riba, walaupun tidak berlipat ganda. Oleh karena itu, betapapun kecilnya, suku
bunga bank tetap haram. Karena berdasarkan teori qiyas, kasus yang akan
di-qiyas-kan (furu’) dan kasus yang di-qiyas-kan (ashl)
keduanya harus disandarkan pada illat jali (illat yang jelas).
Dan kedua kasus tersebut (bunga bank dan riba) disatukan oleh illat yang sama,
yaitu adanya tambahan atau bunga tanpa disertai imbalan. Dengan demikian, bunga
bank sama hukumnya dengan riba.[17]
Sementara dari segi konteks atau illat,
pengharaman riba dalam al-Qu`ran adalah karena adanya faktor zulm, yaitu
memungut tambahan utang dari pihak-pihak yang seharusnya ditolong. Sementara
konteks bank adalah niaga (tijarah) untuk mencari keuntungan bersama
antara pihak yang punya modal (investor), pihak yang membutuhkan modal
(debitur/pengusaha), dan pihak perbankan sebagai mediator dan penyedia jasa.
Sehingga sama sekali tidak ada kaitannya dengan tolong menolong antara si kaya
dan si miskin, melainkan upaya kerjasama dalam mengembangkan modal dengan
menjadikan bank sebagai mediator antara penabung, pengusaha dan bank. Karena
itu, aspek aniaya (ketidak adilan) di sini amat kecil kemungkinan terjadi sebab
masing-masing pihak telah saling rela dan mengetahui hak serta kewajibannya
masing-masing.
3.
Berjual beli di waktu adzan pada
hari jum’at diharamkan bedasarkan firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ
مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ....
الاية
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman apabila diserur untuk menunaikan sholat pada hari jum’at, maka
bersegeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkan jual beli, al-Ayah”.
Analisis rukun Qiyas pada ayat
tersebut menunjukkan bahwa keempat rukun Qiyas telah ada, yaitu:
-
Jual-beli (al bai’) pada saat adzan
Jumat sebagai masalah pokok,
-
Ijarah sebagai masalah cabang,
-
Haramnya jual-beli saat adzan Jumat
sebagai hukum masalah pokok, yang dapat diterapkan juga pada masalah cabang
(ijarah),
-
`Illat yaitu melalaikan shalat Jumat.
Dengan adanya keempat rukun Qiyas
tersebut, dihasilkan hukum masalah cabang, yaitu haramnya ijarah pada saat
adzan Jumat.[18]
4.
Dilarang menawar barang yang sedang
ditawar oleh kawannya, berdasarkan hadist,
وروى عن النبي ص م انّه قال : لا يسوم الرجل على سوم اخيه
Artinya: “….dan janganlah seorang laki – laki menawar
barang yang sudah ditawar saudaranya”.
Dengan dasar itulah mayoritas ulama memilih pendapat haramnya bentuk-bentuk jual beli semacam itu, bahkan menganggapnya sebagai kemaksiatan. Karena transaksi tersebut terjadi sebelum terlaksananya transaksi pertama. Kalau transaksi kedua terjadi setelah terlaksananya transaksi pertama, sementara si pembeli tidak mungkin membatalkan transaksi tersebut, tidak ada larangan dalam hal ini, karena masalah tersebut tidak menimbulkan bahaya. Transaksi jual beli tersebut tanpa seizin penjual pertama. Kalau penjual pertama mengizinkannya, tidak menjadi masalah, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “kecuali bila penjual pertama atau peminang pertama mengizinkannya.”[19]
KESIMPULAN
Qiyas menurut istilah para ahli ushul fiqih adalah mempersamakan
keadaaan perkara yang tidak ada nash dan ketentuan hukumnya dengan keadaan
perkara yang ada nash dan ketentuan hukumnya karena pada dua perkara tersebut
terdapat illat hukum yang sama.
Hendaknya dalam melakukan qiyas untuk berhati-hati dalam
memahami nash dan hukum serta harus memiliki ketelitian dalam meneliti illat
yang terdapat dalam cabang, sehingga dapat diketahui terkait relevansi dengan
pokok yang dijadikan sebagai sandaran hukum di dalam nash tersebut dan dalam
persoalan baru (furu`) yang telah disebutkan nash. Jika illat
sudah diketahui antara pokok dan cabang
maka segera dilakukan qiyas antara keduanya.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
DAFTAR PSTAKA
Aplikasi Quran Android
Al-Quran Bahasa Indonesia
Fathurrahman
Azhari, QIYAS SEBUAH METODE PENGGALIAN HUKUM ISLAM.(pdf)Diakses pada
Oktober 2017. https://www.researchgate.net/publication/317542883_QIYAS_SEBUAH_METODE_PENGGALIAN_HUKUM_ISLAM
Hanafie. Usul
Fiqih. Jakarta: PT Bumirestu. 1980.
Khallaf, A. W. Ushul
Fiqh. Semarang: Toha Putra Group. 1994.
Saebani, Beni
Ahmad. dkk. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia. 2008.
Syafi’i, A
Karim. Ushul Fiqih. Bandung : Pustaka Setia. 2008.
Syarifudin,
Amir. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2003.
Wati, Estika.
Qias Sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam. Diakses pada Oktober 2017 http://catatanmutiarailmu.blogspot.co.id/2015/04/qiyas-sebagai-sumber-hukum-ekonomi-islam.html
Zahra, Muhammad
Abu. Ushul Fiqih. Jakarta: Pustaka Firdaus. 2008.
[1] Beni Ahmad
Saebani, dkk. Ushul Fiqih. Bandung: CV Pustaka Setia. 2008, hlm. 174-175
[2] Fathurrahman
Azhari, QIYAS SEBUAH METODE PENGGALIAN HUKUM ISLAM.(pdf)Diakses pada Oktober 2017.
https://www.researchgate.net/publication/317542883_QIYAS_SEBUAH_METODE_PENGGALIAN_HUKUM_ISLAM
[3] Aplikasi Quran Android
[4] Al-Qur`an Bahasa Indonesia
[5] الوجيز في أصول
التشريع الإسلامي : أ . د . محمد حسن هيتو - الكتاب الرابع
في القيـــاس
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Abdul Wahhab
Khallaf. Ushul Fiqh. Semarang: Toha Putra Group. 1994.
[9] Amir
Syarifudin. Ushul Fiqih Jilid 1. (Jakarta: Raja Grafindo Persada). 2003, hlm.
248
[10] Ibid.
[11] Muhammad Abu
Zahra. Ushul Fiqih. (Jakarta: Pustaka Firdaus). 2008, hlm. 380
[12] A. Syafi’I
Karim. Fiqih Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia). Hlm. 75
[13] Ibid.,hlm. 76
[14] Amir
Syariffudin, Ushul Fiqih Jilid 1….hlm.
250
[15] Ibid.
hlm. 251
[16] Estika Wati, Qias
Sebagai Sumber Hukum Ekonomi Islam. Diakses pada Oktober 2017 http://catatanmutiarailmu.blogspot.co.id/2015/04/qiyas-sebagai-sumber-hukum-ekonomi-islam.html
[17] Ibid.
[18] Beni Ahmad
Saebani, dkk. Ushul Fiqih..., hlm. 184
[19] Mutiara, Ibid.,
Comments
Post a Comment
Thank You