Epistemologi Post-Strukturalisme Objektif Pemikiran Islam Abid Al-Jabiri dan Implementasinya Terhadap Ilmu atau Pemikiran Keislaman
Oleh: Krisnanda
PENDAHULUAN
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan.[1] Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Epistemologi menjangkau
permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.[2]Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[3] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran
manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[4] Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[5] Sehubungan dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas tentang epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang cendekiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim Indonesia.PEMBAHASAN
A. Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri
Muhammad
Abed al-Jabiri adalah seorang pemikir kontemporer asal Maroko. Ia lahir di kota Feji (Fekik), 27 Desember 1936 dan
wafat 3
Mei 2010. Mulai mengenyam pendidikan tingkat
Ibtidaiyyah di madrasah Burrah
Wataniyyah.
Kemudian pada tahun
1951-1953, ia
melanjutkan pendidikan tingkat menegah
di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic
High School setelah
Maroko merdeka.[6]
Abed
al-Jabiri dari awal sudah tekun
mempelajari filsafat, tepatnya pada
tahun 1958 di
Universitas Damaskus Syiria ia memulai
pendidikan filsafatnya. Setelah setahun mengenyam pindidikan di
universitas tersebut,
ia berpindah ke Universitas Rabat yang pada saat itu baru didirikan.
Kemudian, pada tahun 1967 ia menyelesaikan program
Masternya dengan judul
thesis Falasafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun,
yang dibimbingan oleh N. Aziz Lahbibi dan pada tahun 1970 ia memperoleh
gelar dokotornya di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko.
Sejak
muda al-Jabiri merupakan
seorang aktifis politik yang memiliki ideologi sosial. Ia pernah bergabung
dengan partai Union Nationale des Forces
Populaires (UNFP) yang
kemudian berubah nama menjadi Union
Sosialiste des Fores Popularies (USFP).
Selain menjadi aktifis politik, Al-Jabiri
juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Semenjak tahun 1964, ia telah mengajar
filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program
pendidikan nasional. Pada tahun
1967, ia menjadi Guru Besar Filsafat dan
Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab.[7]
Abid
al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca.
Irwan Masduqi, murid dari Abid al-Jabiri di Indonesia menulis artikel di islamlib.com
berjudul “Selamat Jalan Abed al-Jabiri: Obituari dari Seorang Santri” dan di
akhir tulisannya ia menulis:
“Saya sangat berhutang budi pada filsuf
Maroko ini. Rasanya, hubungan konseptual saya dengan al-Jabri nyaris seperti
hubungan Ibn Rusyd dengan Aristoteles atau Schleiermacher dengan Friedrich Ast;
hubungan murid dan guru.”
Yang
menarik, jarak lima hari setelah kematian al-Jabiri, salah satu peneliti INSITS
yang sedang mengambil Ph.D di ISTAC dinyatakan lulus tanpa koreksi, beliau
adalah Nirwan Syafrin. Disertasinya membahas pemikiran al-Jabiri berjudul A Critique of Reason in Contemporary Arab
Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri.[8]
B. Karya-karya Muhammad Abed Al-Jabiri
Al-Jabiri
telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran,
majalah atau berbentuk buku dengan berbagai jurusan ilmu, politik, filsafat
atau sosial. Buku pertamanya adalah Nahwu
wal Turast kemudian al-Khitab
al-‘Arabi al Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku ini memang
sengaja dipersiapkan oleh Al-Jabiri sebagai pengantar bukunya ‘Naqd al-al’ Aql al-‘Arabi’.
Adapun
karya-karyanya yang telah dipublikasikan secara luas adalah trilogi Kritik Nalar arab (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-Aql
al-‘Arabi dan A;-Aql al-
Siyasi al-‘Arabi), al-Khitab al-‘Arabi al-Hadstah, Wijhah Nazr nahwu I’adah
bina Qadlaya
al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-huwiyah
dan
al-Mutsaqqafun al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islmaiyah..[9]
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
C. Karakteristik
Pemikiran Abed Al-Jabiri
Pemikiran
Al-Jabiri banyak dipengaruhi oleh gerakan post-strukturalis Perancis dan
tokoh-tokoh post-modernis, seperti Live Strauss, Lacan, Barthes, Foucault,
Darrida dan Gadamer.[10]
Maroko merupakan salah satu wilayah di negeri Maghribi (Islam wilayah Barat)
yang menjadi wilayah protektorat Prancis yang mengenal dua Bahasa resmi, Arab
dan Perancis. Disamping itu, di Maroko telah muncul beberapa karya terjemahan
kaum post-strukturalis (post-modernis) dalam Bahasa Arab.[11]
Al-Jabiri tumbuh
dalam iklim rasionalisme dan demokrasi yang kurang dihargai oleh kultur Arab.
Kekalahan Arab dalam perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1967 dianggap
sebagai salah satu sebab hilangnya legitimasi demokrasi. Hal ini ditandai
dengan superioritasnya militer, naiknya Jamal Abdul Naseer di Mesir, merubah
wacana‚ Demokrasi dengan Revolusi. Selain itu, perang Arab-Israel tahun 1967,
membawa dampak yang besar terhadap masyarakat Arab.[12]
Muhammad Abed al-Jabiri mengemukakan dalam bukunya yang berjudul
Formasi Nalar Arab, bahwa sejarah
kebudayaan Arab saat ini tidak lebih dari pengulangan dan daur ulang terhadap
sejarah yang telah ditulis oleh nenek moyang kita, dan senantiasa tunduk di
bawah concern dan kemungkinan
mengarahkan dan menentukan pandangan-pandangan mereka, dan menjadikan sejarah
yang mereka tinggalkan untuk kita menjadi sejerah "perpecahan,
"biografi" dan "opini" dalam setiap disiplin.[13]
Secara umum bisa
dikatakan, sejarah merupakan perselisihan pendapat dan bukan sejarah bangunan
pemikiran. Model sejarah kultural yang diwarisi oleh para pendahulu kita,
mungkin memiliki justifikasi dalam tingkat epistemik dan ideologisnya sendiri,
yaitu sejarah yang sekarang masih terus direproduksi. Dan kebanyakan dari
proses repsoduksi ini dilakukar dengan cara mengambil sebagian dari sini dan
sebagian lain dari sana dan menyusun "kutipan" ini dalam bab-bab
dengan membagi-bagi kelompok, biografi dan opini, dan di sana dikuasai oleh
sikap eklektik yang seringkali mencapai tingkatan hingga membelokkan muatan
asli "kutipan" itu, muatan epistemik dan ideologisnya. Dengan demikian,
pemikiran tercerabut dari konteksnya dan terlepas dari kerangkanya, disebabkan
ambisinya untuk bisa menghasilkan "pencerahan" dan
"otentisitas" dan "keunggulan historis" atau untuk
menampakkan "corak ketimuran" dan "kecenderungan
materialis"... dan concern
kontemporer lainnya yang kedahsyatan arusnya tidak jarang menyebabkan hilangnya
keterikatan dengan pandangan ilmiah-objektif terhadap segala sesuatu.
Dengan demikian,
sejarah kultural kita perlu ditulis kembali, bahkan perlu dibaca kembali dengan
melihat bagian-bagian dari sudut pandang totalitas dan berusaha menunjukkan
keutuhan melalui keragamannya, dan dalam klasifikasi berpegang kepada struktur
internal dan bukan kepada penampakan eksternal semata. Manfaat atau nilai dari
metode yang kami ikuti dalam mengkaji faktor-faktor pembentuk nalar Arab dalam
kebudayaan Arab Islam dengan berbagai penggalannya, adalah menunjukkan aspek
kesalingterkaitan, bahkan kesatuan, antara penggalan-penggalan yang dalam
konsepsi umum dipandang sebagai penggalan yang berdiri sendiri yang saling
terpisah satu sama lain.
Demikianlah,
dengan meneguhkan niat untuk meletakkan "klasifikasi dan konsepsi
dominan" di dalam dua tanda kurung dan kemudian, sedapat mungkin,
melepaskan diri dari unsur-unsur epistemologis dan bisikan ideologis yang
menghalangi titik tolak kajian ilmiah terhadap tradisi Arab Islam, berupa
bisikan untuk mengkaji "aspek-aspek ketimuran" baik yang
diatasnamakan untuk mencari "otentititas" atau menemukan "unsur-
unsur kemajuan". Dengan keteguhan atas semua itu dan kemudian kami
memfokuskan perhatian secara keseluruhan kepada aspek epistemologis, mencari
apa yang menjadi landasan pengetahuan dalam kebudayaan Arab, hinnga kemudian
mulai nampak di hadapan kita klasifikasi baru yang menggambarkan penataan
kembali hubungan antara penggalan- tradisi pemikiran kita dalam bentuk yang
memungkinkan melampaui perselisihan-perselisihan yang disebabkan oleh fenomena eksternal
dan mendorong untuk menyingkap perselisihan-perselisihan, internal struktural.[14]
Demikianlah,
sebagai ganti dari klasifikasi ilmu dan pengetahuan dalam kebudayaan Arab Islam
kepada ilmu naqliyah dan 'aqliyah
atau kepada ilmu agama, bahasa, atau kepada ilmu Arab dan non-Arab ('ajam) yakni klasifikasi yang masih
terus mendominasi, sebagai ganti dari cara pandang yang menempatkan fiqh, nahwu dan balaghah sebagai ilmu independen yang saling terpisah satu sama
lain, yang objek dan metodenya berdiri sendiri, atau yang menempatkan ilmu
teologi dan filsafat sebagai dua ilmu yang saling berdampingan dan saling
melengkapi, dan juga sebagai ganti dari pandangan yang memasukkan tasawuf ke
dalam ilmu- ilmu keagamaan dan kimia ke dalam ilmu rasional di samping
matematika dan ilmu alam.
Sebagai ganti
dari seluruh pandangan tersebut yang tidak lain hanya mendasarkan kepada
fenomena eksternal (yang mengingatkan kita kepada para pendahulu ketika
mengklasifikasi binatang, berdasar fenomena eksternalnya, kepada binatang air,
darat dan udara) dengan meneliti dasar-dasar epistemologis untuk memproduksi pengetahuan
dalam kebudayaan Arab, membawa kita kepada klasifikasi baru yang tidak memberi
perhatian kecuali kepada struktur internal pengetahuan yakni mekanisme dan
sarana serta konsep-konsep dasarnya; sebuah klasifikasi yag membuka horizon
yang sama sekali baru -dari segi kedalaman dan kesuburannya-seperti horizon
yang dibuka oleh ilmu biologi kontemporer berkenaan dengan klasifikasi binatang
hewan bertulang belakang (vertebrata) dan hewan yang tidak bertulang belakang.
Dengan begitu, ilmu dan seluruh model
pengetahuan dalam kebudayaan Arab Islam bisa diklasifikasi menjadi tiga: Pertama ilmu-ilmu bayan yang terdiri dari nahwu,
fiqh, teologi dan balaghah yang
didasarkan kepada satu sistem pengetahuan yang berpegang kepada analogi dunia
transenden dengan dunia inderawi (qiyas al-ghaib
`ala al-syahid) sebagai metode untuk menghasilkan pengetahuan dan kemudian
kami sebut dengan "rasionalitas agama Arab" dimana aplikasi dasarnya
sangat terikat dengan bahasa Arab, sebagai cara pandang dan orientasi. Kedua ilmu-ilmu irfan yang terdiri dari tasawuf dan pemikiran Syiah, filsafat
Isma`iliyah, tafsir Al-Quran esoteric, filsafat iluminatif, kimia, farmasi,
botani astrologis, sihir, jimat dan ilmu astrologi dan lainnya, yang didasarkan
kepada sistem pengetahuan yang dilandaskan kepada al-kasyf wa al-wishal dan "saling menarik dan saling
tolak" (tajadzub wa tadafu')
sebagai metodenya, dan kemudian kami sebut "irasionalitas yang
rasional" -yakni ang terkait dengan akal dan bukan dengan agama dan ini
dirintis oleh Hermetisme sebagai cara pandang dan orientasinya. Terakhir, ilmu-ilmu burhan yang terdiri dari logika,
matematika dan ilmu alam (dengan berbagai cabangnya) dan ilmu ketuhanan, bahkan
metafisika, yang didasarkan kepada satu sistem pengetahuan yang didasarkan
kepada pengalaman empiris dan penarikan kesimpulan secara rasional sebagai
metodenya, dan kemudian kami sebut dengan "rasionalitas yang
rasional" yakni pengetahuan rasional yang didasarkan kepada premis-premis rasional--sebagai
cara pandang dan orientasi.
Sumber.
http://www.dialogilmu.com/2018/01/pengantar-pemikiran-pendidikan-islam.html |
Dapat dilihat pada gambar diatas,
yang merupakan konstruksi epistemologi Arab-Islam versi al-Jabiri menggambarkan
salingketerkaitan bahkan kesatuan dari tiga jenis epistemologi, yaitu Bayani (teks), Burhani (rasional-empiris) dan ‘Irfani
(intuisi).
D.
Trilogi Epistemologi Nalar Al-Jabiri
1. Epistemologi
Bayani
Prioritas
dan otoritas Bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan kultur Arab yang mampu
berinteraksi dengannya manjadi faktor utama proses terbentuknya epistemelogi
bayani. Fakta historis mendasari bahwa aktifitas ilmiah sistemik yang pertama
kali dilakukan nalar Arab adalah mengumpulkan Bahasa Arab dan menetapkan
kaedah-kaedah kebahasaan, sehingga Islam tetap bercorak Arabik dan tidak
mungkin melepasan diri dari Bahasa Arab. Sebab al-Qur’an adalah kitabun arabiyyun mubin yang tidak
mungkin dialihkan kedalam bahasa lain tanpa mengalami penyimpangan.[15]
Dogma bahasa Arab sebagai bahasa wahyu, menjadikan aktifitas pengumpulan bahasa
Arab diera kodifikasi dianggap sebagai mukjizat. Proses pengumpulan dan kodifikasi
bertolak dari kekhawatiran terjadinya penyimpangan dengan tersebarnya dialek yang
menyimpang (lahn), akibat percampuran
dengan kultur selain Arab.[16]
Korelasi
antara Bahasa dan pemikiran dan batasan-batasan Bahasa. Herder (1733-1803) seorang
pemikir Jerman menyatakan, bahwa bahasa memiliki peran mendasar dalam membentuk
cara pandang manusia terhadap alam. Bahasa bukan hanya alat berpikir, tetapi
juga modal yang didalamnya pemikiran terbentuk. Untuk memahami kebenaran atau
estetika, tidak mungkin, kecuali sesuai dengan pengertian, muatan dan bentuk yang
diberikan oleh Bahasa. Dengan demikian bahasa menetapkan batasan-batasan dan
membentuk garis lingkar bagi setiap pengetahuan manusia.[17]
Kata
bayan berasal dari akar kata b – y – n. Dalam kamus bahasa Arab, kata ini
memiliki arti pisah atau terpisah dan jelas atau menampakkan. Menurut Abed Al-Jabiri,
pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologis,
sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis.[18]
Dalam
peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-kajian bayani dikelompokkan
menjadi dua yaitu;
1.
Terkait dengan
aturan dalam menafsirkan wacana yang sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw,
yaitu ketika para sahabat meminta penjelasan tentang makna lafadz atau ungkapan
yang terdapat di dalam al-Qur’an.[19]
2.
Terkait dengan
syarat memproduksi wacana yang mana tradisi bayani
baru dimulai seiring dengan munculnya faksifaksi politik dan aliran-aliran
teologi setelah peristiwa majlis tahkim dimana wacana dan debat teologis
menjadi instrument untuk menebarkan pengaruh dan propaganda kepada ‘yang lain’,
dan bahkan menaklukkan musuh.[20]
Di Arab
epistemologi bayaninya sangat kuat,
karena Arab merupakan negara politik, sehingga dengan epistemologi bayani lah
merupakan pola fikir yang cocok dan kuat untuk menghadapi politik di sana.
Epistemologi
Bayani merupakan pijakan awal nalar
tekstual (bayani) al-Jabiri sebagai landasan
kritik nalar Arab-nya. Dalam pandangannya, sumber utama epistemologi bayani adalah teks dan wahyu. Nalar bayani efektif bekerja pada wilayah hukum
Islam, studi-studi gramatika, filologi, dan teologi (kalam) sebagai materi pengetahuan yang bersumber dari teks
al-Qur’an dan as-Sunnah, karena secara ideologis, kekuatan otoritatif yang menentukan
nalar ini adalah dogma Islam.[21]
Dalam
kesimpulannya, Al-Jabiri berpandangan bahwa, unsur-unsur yang dominan dari nalar
bayani lebih membatasi diri pada
wilayah permukaan bahasa dengan menghindari ta’wil.
Membatasi diri pada satu definisi yang menggambarkan sifat (ta’rif bi al-rasm) dan bukan pada substansi
dan hakikat (ta’rif bi al-had), anti kausalitas, kecenderungan
terhadap munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya)
dan ‘adah (hukum kebiasaan, bukan kepastian),
menolak ide ketakberhinggaan, cenderung qiyas
fiqh dalam penalaran, bertitik tolak dari pola baku fi’il dalam Bahasa dan pemikiran, serta mengaitkan format Bahasa
dan pikiran kedalam bentuk yang baku.[22]
2. Epistemologi
‘Irfani
Berbeda
dengan nalar bayani yang bersumber utama dari teks wahyu, epistemologi ‘Irfani bersumber dari pengalaman (experience). Pengalaman hidup
sehari-hari yang otentik merupakan pengetahuan yang ternilai. Untuk mengetahui
adanya Zat yang maha Kuasa, seseorang
tidak perlu menunggu turunnya teks (wahyu). Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan
dihayati secara langsung (ar-ru’yah
al-mubasyirah), intuisi, az-zauq
atau psiko-gnosis.[23]
Pola
nalar ‘irfani mendasarkan diri pada
ilham dan kasyf sebagai sumber utama
dalam pengetahuannya. Nalar ini menjadikan kandungan tradisi-tradisi pra-Islam
sebagai hakikat, yang dijadikan sebagai kandungan esoteris (batin), dari yang diungkapkan oleh teks-teks agama secara
lahir (zahir). Nalar ‘irfani berusaha menyesuaikan konsep yang
diperoleh melalui kasyf dengan teks. Sebagaimana pandangan Ghazali, zahir teks
dijadikan furu’, sedangkan konsep
atau pengetahuan kasyf sebagai al-ashl
(pokok). Dengan demikian, nalar ‘irfani
tidak mmerlukan syarat ‘illah
sebagaimana dalam epistemologi bayani,
akan tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin).[24]
Pandangan
al-Jabiri terhadap epistemologi irfani
adalah menganggap epistemologi ini tidak membawa kemajuan, sehingga al-Jabiri menolak
epistemologi irfani dan menganjurkan
menggunakan epistemologi burhani dengan
tetap menerima epistemologi bayani.
3. Epistemologi
Burhani
Nalar
Burhani merupakan epistemologi yang
bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial,
humanitas ataupun keagamaan. Pengetahuan yang lahir dari nalar Burhani disebut sebagai al-‘ilm al-hushuli, yakni ilmu yang
dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika (mantiq), bukan melalui otoritas teks
atau otoritas intuisi. Sumber otoritatif epistemologi burhani adalah eksperimentasi dan penalaran akal dengan kerangka
teoritis dalil-dalil logika atau disebut silogisme, dalam bahasa Al-Jabiri
disebut qiyas jami’.[25]
Al-Jabiri
meringkas perkembangan nalar burhani
di Andalusia dan Maghribi (dengan Cordova sebagai pilar utamanya) menjadi dua
periode: periode penegasan eksistensi dan jati diri, yang dipelopori oleh Ibn
Hazm dan periode kedewasaan dan kematangan dengan Ibn Rusyd sebagai eksponen
utamanya. Nalar burhani berkembang
kedalam peradaban Arab Islam dibawa Al-Kindi melalui karyanya al-Falsafah
al-Ula. Sebuah arya filsafat yang dikembangkan dari filsafat Aristoteles. Al-Kindi
menegaskan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menempati posisi
utama, yang mampu mengetahui hakekat sesuatu. Upaya nalar burhani Al-Kindi
lebih bersifat parsial dan pragmatis, pengembangan nalar Al-Kindi lebih
ditujukan sebagai kritik terhadap kalangan fuqaha
yang anti filsafat.[26]
Tawaran
nalar burhani yang dikemukakan oleh
al-Jabiri adalah untuk melengkapi kekurangan kedua epistemologi sebelumnya,
yaitu bayani dan irfani. Dalam pengamatan al-Jabiri burhani merupakan jalan keluar dari pandangan irrasioanl, dengan
mengamati sejauhmana kelangan umat Islam mengapresiasi tradisi filsafat
Aristoteles. Tapi perkembangan nalar burhani
diwilayah Timur dunia Islam tidak menarik perhatian al-Jabiri, terutama
sejak priode al-Farabi dan Ibnu Sina yang orientasinya lebih didominasi
persoalan-persoalan ilmu kalam (dalam arti dibatasi oleh ruang lingkup
pemikiran bayani), sehingga pemecahan
yang ditawarkannya berasal dari tradisi `irfani
yang membenarkan penyatuan agama dan filsafat dan pengakuan terhadap ajaran
emanasi (al-faid).[27]
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
E.
Tawaran Metodologi Al-Jabiri
Sebagai pembacaan
terhadap tradisi (turast) dan penyikapan
pada modernitas, Al-Jabiri menawarkan sebuah metodologis sebagai pemecah nalar
Arab kontemporer, yakni objektivisme (maudlu’iyah)
dan rasionalitas (ma’quliyah).
Objektivisme bermaksud menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya
sendiri (pada masa lalu), sedangkan rasionalitas menjadikan tradisi lebih
kontekstual dengan kondisi kekinian kita (pada masa sekarang). Dengan kata
lain, objektivisme meniscayakan adanya pemisahan antara objek kajian (tradisi)
dengan sang subjek (pengkaji), dan rasionalitas meniscayakan adanya pertautan
antara tradisi dengan keberadaan kekinian. Untuk mencapai objektivisme yang
dimaksud, Al-Jabiri kemudian menawarkan tiga macam pendekatan:[28]
1.
Metode
strukturalis. Artinya dalam mengkaji sebuah tradisi kita berangkat dari teks-teks
sebagaimana adanya. Pengkajian ini membuang jauh-jauh berbagai jenis pemahaman
a priori dari keinginan-keinginan yang merupakan konstruk masa kini. Teks di
sini dipahami sebagai sebuah korpus, satu kesatuan, sebuah sistem (struktur).
Pendekatan ini juga berarti upaya untuk merombak struktur tersebut dengan
menjadikan sistem bakunya sebagai variabel yang berubah-ubah (bukan struktur).
Seperti perubahan sesuatu yang absolut menjadi temporal.
2.
Analisis
historis. Ini berkaitan dengan upaya untuk mempertautkan pemikiran si empunya
teks, yang telah dianalisis dalam pendekatan pertama, dengan lingkup
sejarahnya, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya.
Pertautan semacam ini penting, karena dua hal: pertama, keharusan memahami
historisitas dan genealogi sebuah pemikiran yang sedang dikaji; dan kedua,
keharusan menguji seberapa jauh validitas konklusi-konklusi pendekatan
strukturalis di atas. Validitas yang dimaksud bukanlah kebenaran logis, yang
merupakan tujuan utama strukturalisme, melainkan kemungkinan historis (al-imkan al-tarikhi). Yaitu
kemungkinan-kemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui secara jeli apa saja
yang mungkin dikatakan sebuah teks (said)
dan apa yang tidak dikatakan (not said),
juga apa saja yang dikatakan namun didiamkannya.
3.
Kritik ideologi.
Maksudnya, mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosialpolitik, yang
dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang disengaja dibebankan
kepada teks tersebut dalam satu sistem pemikiran tertentu yang jadi rujukannya.
Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakan satu-satunya cara
untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan dirinya. Ini dalam rangka
melekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas atau sebagai produk sejarah.
Ketiga pendekatan ini merupakan langkah pertama dari metodologi Al-Jabiri, langkah kedua adalah apa yang dinamakannya sebagai ‚rasionalitas‛, yakni usaha untuk mempertautkan tradisi dengan konteks kekinian (modernitas). Langkah kedua ini berusaha untuk merekonstruksi (membangun kembali) tradisi dalam bentuk yang baru, dengan pola-pola hubungan yang baru pula, sehingga menjadikannya kontekstual dan membumi dengan keberadaan kita sekarang.[29]
KESIMPULAN
Epistemologi bayani adalah metode
pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash). Epistemologi irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani,
tetapi pada intuisi. Epistemologi burhani
menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat logika. Epistemoligi irfani dalam pemikiran Abed al-Jabiri tidak diterima karena dianggap tidak
membawa kemajuan sama sekali. Epistemologi bayani
dan nalar burhani lah yang bisa membawa
kemajuan. Maksud dari poststruktural
objektif adalah al-Jabiri memakai atau hanya menerima epistemologi bayani dan burhani saja, namun tidak menerima epistemologi irfani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hal. 243.
Ahmad, Jumal. Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri,
www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal, 25 Juli 2018, pukul. 12.30 WIB.
al-Jabiri, Muhammad
Abed. Formasi Nalar Arab. Terjemahan
dari buku Takwin al-`Aql al-`Arabi
Markaz Dirasat al-Wihda al-`Arabiyah, Beirut, 1989. Penerjemah Imam Khoiri,
Cet. 1, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. Hal. 532
Assyaukanie, A. Lutfi. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer. Jurnal Paramadina, Vol. 1. Juli 1998. Hal. 61-65.
Aspandi, Epistemologi
Nalar Arab Kotemporer (Analisis Formasi Struktur Nalar Arab Muhammad Abed
Al-Jabiri), Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, e-ISSN:
2502-8294, Vol. 2(01) 2017. Hal 15-32
Faisol, M. Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid al-Jabiri, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010. Hal. 335-359
Hadi, P. Hardono. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hal 6-7.
Khairina, Arini Izzati. Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Volume 4, Nomor 1, Juni 2016; p-ISSN
2338-9648. Hal. 107
Syafrin, Nirwan.
Kritik terhadap ‘Kritik
Akal Islam’ Al-Jabiri. Jurnal ISLAMIA, (Edisi II,
Tahun 1, Juni-Agustus 2004), Hal. 43.
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hal.
243.
[2] P.
Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hal 6-7.
[3] Nirwan Syafrin, Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’
Al-Jabiri, Jurnal ISLAMIA, (Edisi II, Tahun 1, Juni-Agustus 2004). Hal. 43.
[4] M. Amin Abdullah, Ibid., Hal. 261.
[5] Ibid, Hal. 262
[6] Arini Izzati Khairina, Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed
Al-Jabiri, El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Volume 4, Nomor 1, Juni 2016;
p-ISSN 2338-9648. Hal. 107
[7] Nirwan Syafrin, Ibid.,
Hal. 43.
[8] Jumal
Ahmad, Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri, www.hidayatullah.com,
diakses pada tanggal, 25 Juli 2018, pukul. 12.30 WIB.
[9] Muhammad Abed al-Jabiri,
Formasi Nalar Arab, Terjemahan dari
buku Takwin al-`Aql al-`Arabi
Markaz Dirasat al-Wihda al-`Arabiyah, Beirut, 1989.
Penerjemah Imam Khoiri, Cet. 1, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. Hal. 532
[10] A. Lutfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran
Arab Kontemporer, Jurnal
Paramadina,
Vol. 1. Juli 1998
Hal. 61-65.
[11] Aspandi, Epistemologi Nalar Arab Kotemporer (Analisis
Formasi Struktur Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri), Al-Tsiqoh: Islamic
Economy and Da’wa Journal, e-ISSN: 2502-8294, Vol. 2(01) 2017. Hal 15-32
[12] Aspandi, Ibid., Hal. 19
[13] Muhammad Abed al-Jabiri,
Ibid., Hal. 491
[14] Ibid., Hal. 493
[15] Ibid., Hal. 112
[16] Ibid., Hal 124
[17] Ibid., Hal. 113
[18] M. Faisol, Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid
al-Jabiri, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010. Hal. 335-359
[19] M. Faisol,
Ibid.
[20] Ibid.,.
[21] Ispandi, Ibid., Hal. 27
[22] Ibid., Hal. 27
[23] Muhammad
Abed al-Jabiri. Ibid., Hal. 373-374
[24] Ispandi, Ibid., Hal. 28
[25] Ibid., Hal. 29
[26] Muhammad
Abe al-Jabiri. Ibid., Hal. 416
[27] Ibid., Hal. 436
[28] Ispandi. Ibid., Hal. 29
[29] Ibid., Hal. 29-30
Comments
Post a Comment
Thank You