Epistemologi Post-Strukturalisme Objektif Pemikiran Islam Abid Al-Jabiri dan Implementasinya Terhadap Ilmu atau Pemikiran Keislaman


Oleh: Krisnanda

PENDAHULUAN

            Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme yang berarti pengetahuan.[1] Pengetahuan adalah semua yang diketahui. Epistemologi menjangkau

permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari.[2]

            Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain.[3] Perbedaan titik tekan dalam epistemologi memang besar sekali pengaruhnya dalam konstruksi bangunan pemikiran

manusia secara utuh. Pandangan dunia manusia akan terpengaruh bahkan dibentuk oleh konsepsinya tentang epistemologi.[4] Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas. Sehingga diharapkan epistemologi Islami akan lahir dan memberi jawab atas kegelisahan umat dewasa ini.[5] Sehubungan dengan masalah tersebut maka di sini akan dibahas tentang epistemologi Islam yang digagas oleh Muhammad Abid al-Jabiri, seorang cendekiawan muslim yang kini banyak dirujuk oleh cendekiawan muslim Indonesia.

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

PEMBAHASAN 

A.     Biografi Muhammad Abed Al-Jabiri

            Muhammad Abed al-Jabiri adalah seorang pemikir kontemporer asal Maroko. Ia lahir di kota Feji (Fekik), 27 Desember 1936 dan wafat 3 Mei 2010. Mulai mengenyam pendidikan tingkat Ibtidaiyyah di madrasah Burrah Wataniyyah. Kemudian pada tahun 1951-1953, ia melanjutkan pendidikan tingkat menegah di Casablanca dan memperoleh Diploma Arabic High School setelah Maroko merdeka.[6]

            Abed al-Jabiri dari awal sudah tekun mempelajari filsafat, tepatnya pada tahun 1958 di Universitas Damaskus Syiria ia memulai pendidikan filsafatnya. Setelah setahun mengenyam pindidikan di universitas tersebut, ia berpindah ke Universitas Rabat yang pada saat itu baru didirikan. Kemudian, pada tahun 1967 ia menyelesaikan program Masternya dengan judul thesis Falasafah al-Tarikh Inda Ibn Khaldun, yang dibimbingan oleh N. Aziz Lahbibi dan pada tahun 1970 ia memperoleh gelar dokotornya di Universitas Muhammad V Rabat, Maroko.

            Sejak muda al-Jabiri merupakan seorang aktifis politik yang memiliki ideologi sosial. Ia pernah bergabung dengan partai Union Nationale des Forces Populaires (UNFP) yang kemudian berubah nama menjadi Union Sosialiste des Fores Popularies (USFP).

            Selain menjadi aktifis politik, Al-Jabiri juga banyak bergerak di bidang pendidikan. Semenjak tahun 1964, ia telah mengajar filsafat di Sekolah Menengah, dan secara aktif terlibat dalam program pendidikan nasional. Pada tahun 1967, ia menjadi Guru Besar Filsafat dan Pemikiran Islam di Fakultas Sastra di Universitas Muhammad V, Rabab.[7]

            Abid al-Jabiri menghembuskan nafas terakhir pada Senin, 3 Mei 2010, di Casablanca. Irwan Masduqi, murid dari Abid al-Jabiri di Indonesia menulis artikel di islamlib.com berjudul “Selamat Jalan Abed al-Jabiri: Obituari dari Seorang Santri” dan di akhir tulisannya ia menulis:

            “Saya sangat berhutang budi pada filsuf Maroko ini. Rasanya, hubungan konseptual saya dengan al-Jabri nyaris seperti hubungan Ibn Rusyd dengan Aristoteles atau Schleiermacher dengan Friedrich Ast; hubungan murid dan guru.”

            Yang menarik, jarak lima hari setelah kematian al-Jabiri, salah satu peneliti INSITS yang sedang mengambil Ph.D di ISTAC dinyatakan lulus tanpa koreksi, beliau adalah Nirwan Syafrin. Disertasinya membahas pemikiran al-Jabiri berjudul A Critique of Reason in Contemporary Arab Philosophical Discourse with Special Reference to Muhammad ‘Abid al-Jabiri.[8]

B.     Karya-karya Muhammad Abed Al-Jabiri

            Al-Jabiri telah menghasilkan berpuluh karya tulis, baik yang berupa artikel koran, majalah atau berbentuk buku dengan berbagai jurusan ilmu, politik, filsafat atau sosial. Buku pertamanya adalah Nahwu wal Turast kemudian al-Khitab al-‘Arabi al Mua’sir Dirasah Naqdiyyah Tahliyyah, kedua buku ini memang sengaja dipersiapkan oleh Al-Jabiri sebagai pengantar bukunya ‘Naqd al-al’ Aql al-‘Arabi’.

            Adapun karya-karyanya yang telah dipublikasikan secara luas adalah trilogi Kritik Nalar arab (Takwin al-‘Aql al-‘Arabi, Bunyah al-Aql al-‘Arabi dan A;-Aql al- Siyasi al-‘Arabi), al-Khitab al-‘Arabi al-Hadstah, Wijhah Nazr nahwu I’adah bina Qadlaya al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’ashir, al-Mas’alah al-Tsaqafiyah, Mas’alah al-huwiyah dan al-Mutsaqqafun al-‘Arab fi al-Hadlarah al-Islmaiyah..[9]

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

C.    Karakteristik Pemikiran Abed Al-Jabiri

Pemikiran Al-Jabiri banyak dipengaruhi oleh gerakan post-strukturalis Perancis dan tokoh-tokoh post-modernis, seperti Live Strauss, Lacan, Barthes, Foucault, Darrida dan Gadamer.[10] Maroko merupakan salah satu wilayah di negeri Maghribi (Islam wilayah Barat) yang menjadi wilayah protektorat Prancis yang mengenal dua Bahasa resmi, Arab dan Perancis. Disamping itu, di Maroko telah muncul beberapa karya terjemahan kaum post-strukturalis (post-modernis) dalam Bahasa Arab.[11]

Al-Jabiri tumbuh dalam iklim rasionalisme dan demokrasi yang kurang dihargai oleh kultur Arab. Kekalahan Arab dalam perang Arab-Israel pada tahun 1948 dan 1967 dianggap sebagai salah satu sebab hilangnya legitimasi demokrasi. Hal ini ditandai dengan superioritasnya militer, naiknya Jamal Abdul Naseer di Mesir, merubah wacana‚ Demokrasi dengan Revolusi. Selain itu, perang Arab-Israel tahun 1967, membawa dampak yang besar terhadap masyarakat Arab.[12]

Muhammad Abed al-Jabiri mengemukakan dalam bukunya yang berjudul Formasi Nalar Arab, bahwa sejarah kebudayaan Arab saat ini tidak lebih dari pengulangan dan daur ulang terhadap sejarah yang telah ditulis oleh nenek moyang kita, dan senantiasa tunduk di bawah concern dan kemungkinan mengarahkan dan menentukan pandangan-pandangan mereka, dan menjadikan sejarah yang mereka tinggalkan untuk kita menjadi sejerah "perpecahan, "biografi" dan "opini" dalam setiap disiplin.[13]

Secara umum bisa dikatakan, sejarah merupakan perselisihan pendapat dan bukan sejarah bangunan pemikiran. Model sejarah kultural yang diwarisi oleh para pendahulu kita, mungkin memiliki justifikasi dalam tingkat epistemik dan ideologisnya sendiri, yaitu sejarah yang sekarang masih terus direproduksi. Dan kebanyakan dari proses repsoduksi ini dilakukar dengan cara mengambil sebagian dari sini dan sebagian lain dari sana dan menyusun "kutipan" ini dalam bab-bab dengan membagi-bagi kelompok, biografi dan opini, dan di sana dikuasai oleh sikap eklektik yang seringkali mencapai tingkatan hingga membelokkan muatan asli "kutipan" itu, muatan epistemik dan ideologisnya. Dengan demikian, pemikiran tercerabut dari konteksnya dan terlepas dari kerangkanya, disebabkan ambisinya untuk bisa menghasilkan "pencerahan" dan "otentisitas" dan "keunggulan historis" atau untuk menampakkan "corak ketimuran" dan "kecenderungan materialis"... dan concern kontemporer lainnya yang kedahsyatan arusnya tidak jarang menyebabkan hilangnya keterikatan dengan pandangan ilmiah-objektif terhadap segala sesuatu.

Dengan demikian, sejarah kultural kita perlu ditulis kembali, bahkan perlu dibaca kembali dengan melihat bagian-bagian dari sudut pandang totalitas dan berusaha menunjukkan keutuhan melalui keragamannya, dan dalam klasifikasi berpegang kepada struktur internal dan bukan kepada penampakan eksternal semata. Manfaat atau nilai dari metode yang kami ikuti dalam mengkaji faktor-faktor pembentuk nalar Arab dalam kebudayaan Arab Islam dengan berbagai penggalannya, adalah menunjukkan aspek kesalingterkaitan, bahkan kesatuan, antara penggalan-penggalan yang dalam konsepsi umum dipandang sebagai penggalan yang berdiri sendiri yang saling terpisah satu sama lain.

Demikianlah, dengan meneguhkan niat untuk meletakkan "klasifikasi dan konsepsi dominan" di dalam dua tanda kurung dan kemudian, sedapat mungkin, melepaskan diri dari unsur-unsur epistemologis dan bisikan ideologis yang menghalangi titik tolak kajian ilmiah terhadap tradisi Arab Islam, berupa bisikan untuk mengkaji "aspek-aspek ketimuran" baik yang diatasnamakan untuk mencari "otentititas" atau menemukan "unsur- unsur kemajuan". Dengan keteguhan atas semua itu dan kemudian kami memfokuskan perhatian secara keseluruhan kepada aspek epistemologis, mencari apa yang menjadi landasan pengetahuan dalam kebudayaan Arab, hinnga kemudian mulai nampak di hadapan kita klasifikasi baru yang menggambarkan penataan kembali hubungan antara penggalan- tradisi pemikiran kita dalam bentuk yang memungkinkan melampaui perselisihan-perselisihan yang disebabkan oleh fenomena eksternal dan mendorong untuk menyingkap perselisihan-perselisihan, internal struktural.[14]

Demikianlah, sebagai ganti dari klasifikasi ilmu dan pengetahuan dalam kebudayaan Arab Islam kepada ilmu naqliyah dan 'aqliyah atau kepada ilmu agama, bahasa, atau kepada ilmu Arab dan non-Arab ('ajam) yakni klasifikasi yang masih terus mendominasi, sebagai ganti dari cara pandang yang menempatkan fiqh, nahwu dan balaghah sebagai ilmu independen yang saling terpisah satu sama lain, yang objek dan metodenya berdiri sendiri, atau yang menempatkan ilmu teologi dan filsafat sebagai dua ilmu yang saling berdampingan dan saling melengkapi, dan juga sebagai ganti dari pandangan yang memasukkan tasawuf ke dalam ilmu- ilmu keagamaan dan kimia ke dalam ilmu rasional di samping matematika dan ilmu alam.

Sebagai ganti dari seluruh pandangan tersebut yang tidak lain hanya mendasarkan kepada fenomena eksternal (yang mengingatkan kita kepada para pendahulu ketika mengklasifikasi binatang, berdasar fenomena eksternalnya, kepada binatang air, darat dan udara) dengan meneliti dasar-dasar epistemologis untuk memproduksi pengetahuan dalam kebudayaan Arab, membawa kita kepada klasifikasi baru yang tidak memberi perhatian kecuali kepada struktur internal pengetahuan yakni mekanisme dan sarana serta konsep-konsep dasarnya; sebuah klasifikasi yag membuka horizon yang sama sekali baru -dari segi kedalaman dan kesuburannya-seperti horizon yang dibuka oleh ilmu biologi kontemporer berkenaan dengan klasifikasi binatang hewan bertulang belakang (vertebrata) dan hewan yang tidak bertulang belakang.

 Dengan begitu, ilmu dan seluruh model pengetahuan dalam kebudayaan Arab Islam bisa diklasifikasi menjadi tiga: Pertama ilmu-ilmu bayan yang terdiri dari nahwu, fiqh, teologi dan balaghah yang didasarkan kepada satu sistem pengetahuan yang berpegang kepada analogi dunia transenden dengan dunia inderawi (qiyas al-ghaib `ala al-syahid) sebagai metode untuk menghasilkan pengetahuan dan kemudian kami sebut dengan "rasionalitas agama Arab" dimana aplikasi dasarnya sangat terikat dengan bahasa Arab, sebagai cara pandang dan orientasi. Kedua ilmu-ilmu irfan yang terdiri dari tasawuf dan pemikiran Syiah, filsafat Isma`iliyah, tafsir Al-Quran esoteric, filsafat iluminatif, kimia, farmasi, botani astrologis, sihir, jimat dan ilmu astrologi dan lainnya, yang didasarkan kepada sistem pengetahuan yang dilandaskan kepada al-kasyf wa al-wishal dan "saling menarik dan saling tolak" (tajadzub wa tadafu') sebagai metodenya, dan kemudian kami sebut "irasionalitas yang rasional" -yakni ang terkait dengan akal dan bukan dengan agama dan ini dirintis oleh Hermetisme sebagai cara pandang dan orientasinya. Terakhir, ilmu-ilmu burhan yang terdiri dari logika, matematika dan ilmu alam (dengan berbagai cabangnya) dan ilmu ketuhanan, bahkan metafisika, yang didasarkan kepada satu sistem pengetahuan yang didasarkan kepada pengalaman empiris dan penarikan kesimpulan secara rasional sebagai metodenya, dan kemudian kami sebut dengan "rasionalitas yang rasional" yakni pengetahuan rasional yang didasarkan kepada premis-premis rasional--sebagai cara pandang dan orientasi.

Sumber. http://www.dialogilmu.com/2018/01/pengantar-pemikiran-pendidikan-islam.html

            Dapat dilihat pada gambar diatas, yang merupakan konstruksi epistemologi Arab-Islam versi al-Jabiri menggambarkan salingketerkaitan bahkan kesatuan dari tiga jenis epistemologi, yaitu Bayani (teks), Burhani (rasional-empiris) dan ‘Irfani (intuisi).

D.    Trilogi Epistemologi Nalar Al-Jabiri

1.      Epistemologi Bayani

            Prioritas dan otoritas Bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan kultur Arab yang mampu berinteraksi dengannya manjadi faktor utama proses terbentuknya epistemelogi bayani. Fakta historis mendasari bahwa aktifitas ilmiah sistemik yang pertama kali dilakukan nalar Arab adalah mengumpulkan Bahasa Arab dan menetapkan kaedah-kaedah kebahasaan, sehingga Islam tetap bercorak Arabik dan tidak mungkin melepasan diri dari Bahasa Arab. Sebab al-Qur’an adalah kitabun arabiyyun mubin yang tidak mungkin dialihkan kedalam bahasa lain tanpa mengalami penyimpangan.[15] Dogma bahasa Arab sebagai bahasa wahyu, menjadikan aktifitas pengumpulan bahasa Arab diera kodifikasi dianggap sebagai mukjizat. Proses pengumpulan dan kodifikasi bertolak dari kekhawatiran terjadinya penyimpangan dengan tersebarnya dialek yang menyimpang (lahn), akibat percampuran dengan kultur selain Arab.[16]

            Korelasi antara Bahasa dan pemikiran dan batasan-batasan Bahasa. Herder (1733-1803) seorang pemikir Jerman menyatakan, bahwa bahasa memiliki peran mendasar dalam membentuk cara pandang manusia terhadap alam. Bahasa bukan hanya alat berpikir, tetapi juga modal yang didalamnya pemikiran terbentuk. Untuk memahami kebenaran atau estetika, tidak mungkin, kecuali sesuai dengan pengertian, muatan dan bentuk yang diberikan oleh Bahasa. Dengan demikian bahasa menetapkan batasan-batasan dan membentuk garis lingkar bagi setiap pengetahuan manusia.[17]

            Kata bayan berasal dari akar kata b – y – n. Dalam kamus bahasa Arab, kata ini memiliki arti pisah atau terpisah dan jelas atau menampakkan. Menurut Abed Al-Jabiri, pengertian yang pertama secara mendasar terkait dengan wujud ontologis, sementara pengertian yang kedua terkait dengan wujud epistemologis.[18]

            Dalam peradaban Arab-Islam, diskusi mengenai kajian-kajian bayani dikelompokkan menjadi dua yaitu;

1.      Terkait dengan aturan dalam menafsirkan wacana yang sudah muncul sejak zaman Rasulullah saw, yaitu ketika para sahabat meminta penjelasan tentang makna lafadz atau ungkapan yang terdapat di dalam al-Qur’an.[19]

2.      Terkait dengan syarat memproduksi wacana yang mana tradisi bayani baru dimulai seiring dengan munculnya faksifaksi politik dan aliran-aliran teologi setelah peristiwa majlis tahkim dimana wacana dan debat teologis menjadi instrument untuk menebarkan pengaruh dan propaganda kepada ‘yang lain’, dan bahkan menaklukkan musuh.[20]

            Di Arab epistemologi bayaninya sangat kuat, karena Arab merupakan negara politik, sehingga dengan epistemologi bayani lah merupakan pola fikir yang cocok dan kuat untuk menghadapi politik di sana.

            Epistemologi Bayani merupakan pijakan awal nalar tekstual (bayani) al-Jabiri sebagai landasan kritik nalar Arab-nya. Dalam pandangannya, sumber utama epistemologi bayani adalah teks dan wahyu. Nalar bayani efektif bekerja pada wilayah hukum Islam, studi-studi gramatika, filologi, dan teologi (kalam) sebagai materi pengetahuan yang bersumber dari teks al-Qur’an dan as-Sunnah, karena secara ideologis, kekuatan otoritatif yang menentukan nalar ini adalah dogma Islam.[21]

            Dalam kesimpulannya, Al-Jabiri berpandangan bahwa, unsur-unsur yang dominan dari nalar bayani lebih membatasi diri pada wilayah permukaan bahasa dengan menghindari ta’wil. Membatasi diri pada satu definisi yang menggambarkan sifat (ta’rif bi al-rasm) dan bukan pada substansi dan hakikat (ta’rif bi al-had), anti kausalitas, kecenderungan terhadap munasabah (kesepadanan antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya) dan ‘adah (hukum kebiasaan, bukan kepastian), menolak ide ketakberhinggaan, cenderung qiyas fiqh dalam penalaran, bertitik tolak dari pola baku fi’il dalam Bahasa dan pemikiran, serta mengaitkan format Bahasa dan pikiran kedalam bentuk yang baku.[22]

2.      Epistemologi ‘Irfani

            Berbeda dengan nalar bayani yang bersumber utama dari teks wahyu, epistemologi ‘Irfani bersumber dari pengalaman (experience). Pengalaman hidup sehari-hari yang otentik merupakan pengetahuan yang ternilai. Untuk mengetahui adanya Zat yang maha Kuasa, seseorang tidak perlu menunggu turunnya teks (wahyu). Validitas kebenaran epistemologi ‘irfani hanya dapat dirasakan dan dihayati secara langsung (ar-ru’yah al-mubasyirah), intuisi, az-zauq atau psiko-gnosis.[23]

            Pola nalar ‘irfani mendasarkan diri pada ilham dan kasyf sebagai sumber utama dalam pengetahuannya. Nalar ini menjadikan kandungan tradisi-tradisi pra-Islam sebagai hakikat, yang dijadikan sebagai kandungan esoteris (batin), dari yang diungkapkan oleh teks-teks agama secara lahir (zahir). Nalar ‘irfani berusaha menyesuaikan konsep yang diperoleh melalui kasyf dengan teks. Sebagaimana pandangan Ghazali, zahir teks dijadikan furu’, sedangkan konsep atau pengetahuan kasyf sebagai al-ashl (pokok). Dengan demikian, nalar ‘irfani tidak mmerlukan syarat ‘illah sebagaimana dalam epistemologi bayani, akan tetapi hanya berpedoman pada isyarat (petunjuk batin).[24]

            Pandangan al-Jabiri terhadap epistemologi irfani adalah menganggap epistemologi ini tidak membawa kemajuan, sehingga al-Jabiri menolak epistemologi irfani dan menganjurkan menggunakan epistemologi burhani dengan tetap menerima epistemologi bayani.

3.      Epistemologi Burhani

            Nalar Burhani merupakan epistemologi yang bersumber pada realitas atau al-waqi’, baik realitas alam, sosial, humanitas ataupun keagamaan. Pengetahuan yang lahir dari nalar Burhani disebut sebagai al-‘ilm al-hushuli, yakni ilmu yang dikonsep, disusun dan disistematisasikan lewat premis-premis logika (mantiq), bukan melalui otoritas teks atau otoritas intuisi. Sumber otoritatif epistemologi burhani adalah eksperimentasi dan penalaran akal dengan kerangka teoritis dalil-dalil logika atau disebut silogisme, dalam bahasa Al-Jabiri disebut qiyas jami’.[25]

            Al-Jabiri meringkas perkembangan nalar burhani di Andalusia dan Maghribi (dengan Cordova sebagai pilar utamanya) menjadi dua periode: periode penegasan eksistensi dan jati diri, yang dipelopori oleh Ibn Hazm dan periode kedewasaan dan kematangan dengan Ibn Rusyd sebagai eksponen utamanya. Nalar burhani berkembang kedalam peradaban Arab Islam dibawa Al-Kindi melalui karyanya al-Falsafah al-Ula. Sebuah arya filsafat yang dikembangkan dari filsafat Aristoteles. Al-Kindi menegaskan bahwa filsafat merupakan ilmu pengetahuan yang menempati posisi utama, yang mampu mengetahui hakekat sesuatu. Upaya nalar burhani Al-Kindi lebih bersifat parsial dan pragmatis, pengembangan nalar Al-Kindi lebih ditujukan sebagai kritik terhadap kalangan fuqaha yang anti filsafat.[26]

            Tawaran nalar burhani yang dikemukakan oleh al-Jabiri adalah untuk melengkapi kekurangan kedua epistemologi sebelumnya, yaitu bayani dan irfani. Dalam pengamatan al-Jabiri burhani merupakan jalan keluar dari pandangan irrasioanl, dengan mengamati sejauhmana kelangan umat Islam mengapresiasi tradisi filsafat Aristoteles. Tapi perkembangan nalar burhani diwilayah Timur dunia Islam tidak menarik perhatian al-Jabiri, terutama sejak priode al-Farabi dan Ibnu Sina yang orientasinya lebih didominasi persoalan-persoalan ilmu kalam (dalam arti dibatasi oleh ruang lingkup pemikiran bayani), sehingga pemecahan yang ditawarkannya berasal dari tradisi `irfani yang membenarkan penyatuan agama dan filsafat dan pengakuan terhadap ajaran emanasi (al-faid).[27]

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

E.    Tawaran Metodologi Al-Jabiri

            Sebagai pembacaan terhadap tradisi (turast) dan penyikapan pada modernitas, Al-Jabiri menawarkan sebuah metodologis sebagai pemecah nalar Arab kontemporer, yakni objektivisme (maudlu’iyah) dan rasionalitas (ma’quliyah). Objektivisme bermaksud menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan dirinya sendiri (pada masa lalu), sedangkan rasionalitas menjadikan tradisi lebih kontekstual dengan kondisi kekinian kita (pada masa sekarang). Dengan kata lain, objektivisme meniscayakan adanya pemisahan antara objek kajian (tradisi) dengan sang subjek (pengkaji), dan rasionalitas meniscayakan adanya pertautan antara tradisi dengan keberadaan kekinian. Untuk mencapai objektivisme yang dimaksud, Al-Jabiri kemudian menawarkan tiga macam pendekatan:[28]

1.      Metode strukturalis. Artinya dalam mengkaji sebuah tradisi kita berangkat dari teks-teks sebagaimana adanya. Pengkajian ini membuang jauh-jauh berbagai jenis pemahaman a priori dari keinginan-keinginan yang merupakan konstruk masa kini. Teks di sini dipahami sebagai sebuah korpus, satu kesatuan, sebuah sistem (struktur). Pendekatan ini juga berarti upaya untuk merombak struktur tersebut dengan menjadikan sistem bakunya sebagai variabel yang berubah-ubah (bukan struktur). Seperti perubahan sesuatu yang absolut menjadi temporal.

2.      Analisis historis. Ini berkaitan dengan upaya untuk mempertautkan pemikiran si empunya teks, yang telah dianalisis dalam pendekatan pertama, dengan lingkup sejarahnya, dengan segenap ruang lingkup budaya, politik, dan sosiologisnya. Pertautan semacam ini penting, karena dua hal: pertama, keharusan memahami historisitas dan genealogi sebuah pemikiran yang sedang dikaji; dan kedua, keharusan menguji seberapa jauh validitas konklusi-konklusi pendekatan strukturalis di atas. Validitas yang dimaksud bukanlah kebenaran logis, yang merupakan tujuan utama strukturalisme, melainkan kemungkinan historis (al-imkan al-tarikhi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan yang mendorong kita untuk mengetahui secara jeli apa saja yang mungkin dikatakan sebuah teks (said) dan apa yang tidak dikatakan (not said), juga apa saja yang dikatakan namun didiamkannya.

3.      Kritik ideologi. Maksudnya, mengungkap fungsi ideologis, termasuk fungsi sosialpolitik, yang dikandung sebuah teks atau pemikiran tertentu, atau yang disengaja dibebankan kepada teks tersebut dalam satu sistem pemikiran tertentu yang jadi rujukannya. Menyingkap fungsi ideologis sebuah teks klasik merupakan satu-satunya cara untuk menjadikan teks itu kontekstual dengan dirinya. Ini dalam rangka melekatkan dalam dirinya satu bentuk historisitas atau sebagai produk sejarah.

            Ketiga pendekatan ini merupakan langkah pertama dari metodologi Al-Jabiri, langkah kedua adalah apa yang dinamakannya sebagai ‚rasionalitas‛, yakni usaha untuk mempertautkan tradisi dengan konteks kekinian (modernitas). Langkah kedua ini berusaha untuk merekonstruksi (membangun kembali) tradisi dalam bentuk yang baru, dengan pola-pola hubungan yang baru pula, sehingga menjadikannya kontekstual dan membumi dengan keberadaan kita sekarang.[29]

KESIMPULAN

Epistemologi bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang didasarkan atas otoritas teks (nash). Epistemologi irfani tidak didasarkan atas teks seperti bayani, tetapi pada intuisi. Epistemologi burhani menyandarkan diri pada kekuatan rasio, akal, yang dilakukan lewat logika. Epistemoligi irfani dalam pemikiran Abed al-Jabiri tidak diterima karena dianggap tidak membawa kemajuan sama sekali. Epistemologi bayani dan nalar burhani lah yang bisa membawa kemajuan. Maksud dari poststruktural objektif adalah al-Jabiri memakai atau hanya menerima epistemologi bayani dan burhani saja, namun tidak menerima epistemologi irfani.

DAFTAR PUSTAKA

  Abdullah, M. Amin. Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hal. 243.

Ahmad, Jumal. Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri, www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal, 25 Juli 2018, pukul. 12.30 WIB.

al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab. Terjemahan dari buku Takwin al-`Aql al-`Arabi Markaz Dirasat al-Wihda al-`Arabiyah, Beirut, 1989. Penerjemah Imam Khoiri, Cet. 1, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. Hal. 532

Assyaukanie, A. Lutfi. Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer. Jurnal Paramadina, Vol. 1. Juli 1998. Hal. 61-65.

  Aspandi, Epistemologi Nalar Arab Kotemporer (Analisis Formasi Struktur Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri), Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, e-ISSN: 2502-8294, Vol. 2(01) 2017. Hal 15-32

Faisol, M. Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid al-Jabiri, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010. Hal. 335-359

Hadi, P. Hardono. Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hal 6-7.

 Khairina, Arini Izzati. Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri. El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Volume 4, Nomor 1, Juni 2016; p-ISSN 2338-9648. Hal. 107

 Syafrin, Nirwan. Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ Al-Jabiri. Jurnal ISLAMIA, (Edisi II, Tahun 1, Juni-Agustus 2004), Hal. 43.

Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN



[1] M. Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002. Hal. 243.

[2] P. Hardono Hadi, Epistemologi (Filsafat Pengetahuan). Yogyakarta: Kanisius, 1994. Hal 6-7.

[3] Nirwan Syafrin, Kritik terhadap ‘Kritik Akal Islam’ Al-Jabiri, Jurnal ISLAMIA, (Edisi II, Tahun 1, Juni-Agustus 2004). Hal. 43.

[4] M. Amin Abdullah, Ibid., Hal. 261.

[5] Ibid, Hal. 262

[6] Arini Izzati Khairina, Kritik Epistimologi Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri, El-Wasathiya: Jurnal Studi Agama, Volume 4, Nomor 1, Juni 2016; p-ISSN 2338-9648. Hal. 107

[7] Nirwan Syafrin, Ibid., Hal. 43.

[8] Jumal Ahmad, Pemikiran Muhammad Abed Al-Jabiri, www.hidayatullah.com, diakses pada tanggal, 25 Juli 2018, pukul. 12.30 WIB.

[9] Muhammad Abed al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, Terjemahan dari buku Takwin al-`Aql al-`Arabi Markaz Dirasat al-Wihda al-`Arabiyah, Beirut, 1989. Penerjemah Imam Khoiri, Cet. 1, Yogyakarta: IRCiSoD, 2014. Hal. 532

[10] A. Lutfi Assyaukanie, Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer, Jurnal Paramadina, Vol. 1. Juli 1998 Hal. 61-65.

[11] Aspandi, Epistemologi Nalar Arab Kotemporer (Analisis Formasi Struktur Nalar Arab Muhammad Abed Al-Jabiri), Al-Tsiqoh: Islamic Economy and Da’wa Journal, e-ISSN: 2502-8294, Vol. 2(01) 2017. Hal 15-32

[12] Aspandi, Ibid., Hal. 19

[13] Muhammad Abed al-Jabiri, Ibid., Hal. 491

[14] Ibid., Hal. 493

[15] Ibid., Hal. 112

[16] Ibid., Hal 124

[17] Ibid., Hal. 113

[18] M. Faisol, Struktur Nalar Arab-Islam Menurut Abid al-Jabiri, Jurnal TSAQAFAH, Vol. 6, No. 2, Oktober 2010. Hal. 335-359

[19] M. Faisol, Ibid.

[20] Ibid.,.

[21] Ispandi, Ibid., Hal. 27

[22] Ibid., Hal. 27

[23] Muhammad Abed al-Jabiri. Ibid., Hal. 373-374

[24] Ispandi, Ibid., Hal. 28

[25] Ibid., Hal. 29

[26] Muhammad Abe al-Jabiri. Ibid., Hal. 416

[27] Ibid., Hal. 436

[28] Ispandi. Ibid., Hal. 29

[29] Ibid., Hal. 29-30

Comments

Popular Posts