PENGERTIAN PENGGARAPAN TANAH DAN PENGGARAPAN TANAMAN
Oleh: Krisnanda
A. PENDAHULUAN
Menggarap tanah adalah termasuk jenis kerjasama yang diperbolehkan oleh ajaran Islam dan banyak dijumpai di masyarakat luas. Dan kita mengetahui manfaatnya yang besar bagi kedua pihak, kedua pihak mendapatkan keuntungan dari kerjasama ini. Menggarap tanah dalam ajaran islam dikenal dengan istilah al-Muzara`ah.
al-Muzara`ah ialah
seseorang memberikan tanahnya kepada orang lain untuk ditanami dengan upah
bagian tertentu dari hasil tanah tersebut. (misalnya sepertiganya atau
separuhnya).
Berkata Syaikh Abu Bakar Al-Jazairi: “Muzara’ah diperbolehkan oleh sebagian besar para sahabat
rodhiyallohu ‘anhum, tabi’in dan para imam serta tidak diperbolehkan oleh
sebagian yang lain. Dalil orang-orang yang membolehkannya adalah muamalah
Rosululloh shollallohu ‘alaihi wa sallam dengan penduduk khaibar. Imam bukhari
meriwayatkan dari Abdullah bin Umar rodhiyallohu ‘anhuma bahwa Rosululloh
mempekerjakan orang-orang khaibar di tanah khaibar dan mereka mendapatkan
separuh dari tanaman atau buah-buahan yang dihasilkannya.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
al-Muzara`ah bertujuan agar lahan-lahan yang gersang menjadi tertanami, yang
tidak produktif menjadi produktif, baik sebagai lahan pertanian, perkebunan,
maupun untuk bangunan. Sebidang tanah atau lahan dikatakan produktif, apabila
menghasilkan atau memberi manfaat kepada masyarakat.
al-Musaqah merupakan kerja sama antara pemilik kebun atau tanaman dan pengelola atau penggarap untuk memelihara dan merawat kebun atau tanaman dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama dan perjanjian itu disebutkan dalam aqad.
B.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian dan
Dasar Hukum Muzara`ah (Penggarapan Tanah)
Secara
etimologi, al-Muzara`ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak
pemilik tanah dan petani penggarap.[1]
Secara terminologi terdapat beberapa definisi al-Muzara`ah yang
dikemukakan ulama fiqh.
Baca Juga: SIAPKAN DIRI UNTUK RAMADHAN
Ulama
Malikiyah mendefinisikan:
الشركة في الزرع
“Perserikatan dalam pertanian”
Ulama
Hanabilah mendefinisikan:
دفع الارض الي من يزرعها او يعمل عليها والزرع بينهما
“Penyerahan tanah pertanian
kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua”.
Kedua
definisi ini dalam kebiasaan Indonesia disebut sebagai “paruhan sawah”.
Penduduk Irak menyebutnya “al-mukhabarah”, tetapi dalam al-mukhabarah,
bibit yang akan ditanam berasal dari pemilik tanah.
Imam
Syafi`i mendefinisikan:
عمل الارض ببعض ما يخرج منها و
الذر من العامل
“Pengolahan tanah oleh petani dengan
imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah”.
Dalam al-mukhabarah, bibit yang
akan ditanam disediakan oleh penggarap tanah, sedangkan dalam al-Muzara`ah, bibit
yang akan ditanam boleh dari pemilik.
Jadi,
al-Muzara`ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap
tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama,
sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja
sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini
disebut al-Mukhabarah.[2]
Antara al-Muzara`ah dan al-Musaqah
terdapat persamaan dan perbedaan. Persamaanya ialah kedua-duanya merupakan akad
(perjanjian) bagi hasil. Adapun perbedaannya ialah: Di dalam al-Musaqah
tanaman telah ada, tetapi, memerlukan tenaga kerja untuk memeliharanya. Di
dalam al-Muzara`ah, tanaman di tanah belum ada, tanahnya masih harus
digarap dahulu oleh penggarapnya.
Kerja
sama dalam bentuk al-Muzara`ah menurut kebanyakan ulama fiqh
hukumnya (boleh). Dasar kebolehannya itu, di samping dapat dipahami dari
keumuman firman Allah yang menyuruh saling menolong, juga secara khusus hadist
Nabi dari Ibnu Abbas menurut riwayat al-Bukhari yang menyatakan:
ان رسول الله صلي الله عليه وسلم عالم اهل خيبر بشطر ما
يخرج منها من زرع او ثمر (رواه البخاري ومسلم و ابو داود و النسائ)
“Bahwasannya Rasulullah saw, mempekerjakan penduduk khaibar (dalam pertanian) dengan imbalan bagian dari apa yang dihasilkannya, dalam bentuk tanaman atau buah-buahan”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa`i).
2.
Rukun dan Syarat al-Muzara`ah
Jumhur ulama yang membolehkan akad al-Muzara`ah mengemukakan
rukun dan syarat yang harus di penuhi, sehingga akad dianggap sah.
Rukun
al-Muzara`ah menurut mereka sebagai berikut:
1.
Pemilik tanah.
2.
Petani
penggarap.
3.
Objek al-Muzara`ah,
yaitu antara manfaat tanah dan hasil kerja petani.
4.
Ijab dan kabul.
Contoh ijab dan kabul: “Saya terima tanah pertanian saya ini kepada engkau
untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani menjawab: “Saya
terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua”.
Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini telah sah dan mengikat. Akad al-Muzara`ah
tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani
langsung menggarap tanah itu.
Adapun syarat-syarat al-Muzara`ah , menurut jumhur ulama
sebagai berikut:
1.
Syarat yang menyangkut orang yang berakad: keduanya harus sudah baligh
dan berakal.
2.
Syarat yang menyangkut benih yang akan ditanam harus jelas, sehingga
benih yang akan ditanam itu jelas dan akan menghasilkan.
3.
Syarat yang menyangkut tanah pertanian sebagai berikut
a.
Menurut adat di kalangan para petani, tanah itu boleh digarap dan
menghasilkan. Jika tanah itu tanah tandus dan kering sehingga tidak
memungkinkan untuk dijadikan tanah pertanian, maka akad al-Muzara`ah tidak sah.
b.
Batas-batas
tanah itu jelas.
c.
Tanah itu
diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap. Apabila disyaratkan bahwa
pemilik tanah ikut mengolah pertanian itu maka akad al-Muzara`ah tidak
sah.
4.
Syarat-syarat yang menyangkut hasil panen sebagai berikut:
a.
Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas.
b.
Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa boleh ada
pengkhususan.
c.
Pembagian hasil panen itu di tentukan: setengah, sepertiga, atau
seperempat, sejak dari awal akad, sehingga tidak timbul perselisihan di kemudian
hari, dan penentuannya tidak boleh berdasarkan jumlah tertentu secara mutlak,
seperti satu kwintal untuk pekerja, atau satu karung, karena kemungkinan
seluruh hasil panen jauh di bawah itu atau dapat juga jauh melampai jumlah itu.
5.
Syarat yang menyangkut jangka waktu juga harus dijelaskan dalam akad
sejak semulla, karena akad al-Muzara`ah mengandung makna akad al-Ijarah (sewa-menyewa atau
upah-mengupah) dengan imbalan sebagai hasil panen. Oleh sebab itu, jangka
waktunya harus jelas. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan
dengan adat setempat.
Untuk objek akad, jumhur ulama yang membolehkan al-Muzara`ah, mensyaratkan juga harus jelas, baik berupa jasa petani, sehingga benih yang akan ditanam datangnya dari pemilik tanah, maupun pemanfaatan tanah, sehingga benihnya dari petani.
3.
Zakat al-Muzara`ah
Pada prinsipnya ketentuan wajib zakat itu
dibedakan kepada orang mampu. Dalam arti telah mempunyai harta hasil pertanian
yang wajib dizakati (jika telah sampai batas nisab). Maka dalam kerja sama
seperti ini salah satu atau keduannya (pemilik sawah/ladang dan penggarap)
membayar zakat bila telah nisab.
Jika dipandang dari siapa asal benih
tanaman, maka dalam al-Muzara`ah yang wajib zakat adalah pemilik tanah, karena dialah yang menanam,
sedangkan penggarap hanya mengambil upah kerja.
Menurut Yusuf Qardawi, bila pemilik itu menyerahkan penggarapan tanahnya kepada orang lain dengan imbalan seperempat, sepertiga, atau setengah hasil sesuai perjanjian, maka zakat dikenakan atau kedua bagian pendapatan masing-masing bila cukup senisab. Bila bagian salah seorang cukup senisab, sedangkan yang seorang lagi tidak, maka zakat wajib atas yang memiliki bagian cukup senisab, sedangkan yang tidak cukup senisab tidak wajib zakat. Tetapi Imam Syafi`i berpendapat, bahwa keduanya dipandang satu orang, yang oleh karena itu wajib secara bersama-sama menanggung zakatnya bila jumlah hasil sampai lima wasaq: masing-masing mengeluarkan 10% dari bagiannya.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
4. Hikmah al-Muzara`ah
Sebagian orang ada yang mempunyai binatang ternak. Dia mampu untuk menggarap sawah dan dapat mengembangkannya, tetapi tidak memiliki tanah. Ada pula orang yang memiliki tanah yang subur untuk ditanami tetapi tidak punya binatang ternak dan tidak mampu untuk menggarapnya. Kalau dijalin kerja sama antara mereka, di mana yang satu menyerahkan tanah dan bibit, sedangkan yang lain menggarap dan bekerja menggunakan binatangnya dengan tetap mendapat bagian masing-masing, maka yang terjadi adalah kemakmuran bumi, dan semakin luasnya daerah pertanian yang merupakan sumber kekayaan terbesar.
5. Pengertian dan Hukum al-Musaqah
Secara etimologi, al-Musaqah
berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-Mu`amalah.[3]
Secara terminologi, al-Musaqah didefinisikan oleh para ulama fiqh
sebagai berikut:
Menurut Abdurrahman al-Jaziri, al-Musaqah
ialah:
عقد علي خدمة شجر و نخل و زرع و نحو ذالك بشرائط مخصوصة
“Akad untuk pemeliharaan pohon kurma,
tanaman (pertanian), dan yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu”.
Menurut Ibnu `Abidin yang dikutip Nasrun Haroen, al-Musaqah
ialah:
معاقدة دفع الاشجار الي من يعمل فيها علي ان
الثمرة بينهما
“Penyerahan sebidang kebun pada petani
untuk digarap dan dirawat dengan ketentuan bahwa petani mendapat bagian dari
hasil kebun itu”.
Ulama Syafi`iyah mendefinisikan:
ان يعامل غيره علي نخل او شجر عنبب فقط
ليتعهد يالسقي والتربية علي ان الثمرة لهما
“Mempekerjakan petani penggarap untuk
menggarap kurma atau pohon anggur saja dengan cara mengairi dan merawatnya, dan
hasil kurma atau anggur itu dibagi bersama antara pemilik dan petani yang
menggarap”.
Dengan demikian, akad al-Musaqah
adalah sebuah kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan
tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang
maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah
merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan
yang mereka buat.[4]
Kerja sama dalam bentuk al-Musaqah
ini berbeda dengan mengupah tukang kebun untuk merawat tanaman, karena hasil
yang diterimanya adalah upah yang telah pasti ukurannya dan bukan dari hasilnya
yang belum tentu.
Menurut kebanyakan ulama, hukum al-Musaqah
yaitu boleh atau mubah, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Dari Ibnu
Umar, sesungguhnya Nabi saw, telah memberikan kebun beliau kepada penduduk
khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan memperoleh
dari penghasilannya, baik dari buah-buahan maupun hasil tanamannya” (HR
Muslim).
6. Rukun, Syarat, dan Berakhirnya Akad al-Musaqah
a.
Rukun al-Musaqah.
Ulama
Hanafiyah berpendirian bahwa yang menjadi rukun dalam akad al-Musaqah
adalah ijab dari pemilik tanah perkebunan, kabul dari petani penggarap, dan
pekerjaan dari pihak penggarap. Adapun jumhur ulama fiqh yang terdiri
dari ulama Malikiyah, Syafi`iyah, dan Hanabilah berpendirian bahwa rukun al-Musaqah
ada lima, yaitu:
a)
Dua orang/pihak yang melakukan transaksi.
b)
Tanah yang dijadikan objek al-Musaqah.
c)
Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
d)
Ketentuan mengenai pembagian hasil al-Musaqah.
e)
Shighat (ungkapan) ijab dan kabul.
b.
Syarat al-Musaqah.
Adapun syarat yang harus dipenuhi oleh
masing-masing rukun sebagai berikut:
a)
Kedua belah pihak yang melakukan transaksi al-Musaqah harus orang
yang cakap bertindak hukum, yakni dewasa (akil baligh).
b)
Objek al-Musaqah itu harus terdiri atas pepohonan yang mempunyai
buah. Syarat bahwa:
a)
Akad al-Musaqah itu dilakukan sebelum buah itu layak dipenen
b)
Tenggang waktu yang ditentukan jelas.
c)
Akadnya dilakukan setelah tanaman itu tumbuh.
d)
Pemilik perkebunan tidak mampu untuk mengolah dan memelihara tanaman
itu.
c.
Berakhirnya Akad al-Musaqah.
Menurut para ulama Fiqh, akad al-Musaqah
berakhir apabila:
a)
Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis.
b)
Salah satu pihak meninggal dunia.
c)
Ada uzur yang membuat salah satu ppihak tidak boleh melanjutkan akad.
Uzur yang dimaksud dalam hal ini di antaranya adalah petani penggarap itu terkenal sebagai seorang pencuri hasil tanaman dan petani penggarap itu sakit yang tidak memungkinkan dia untuk bekerja.
7. Hikmah al-Musaqah
Ada orang kaya yang memiliki tanah yang
ditanami pohon kurma dan pohon-pohon yang lain, tetapi dia tidak mampu untuk
menyirami (memelihara) pohon itu, karena ada suatu halangan yang
menghalanginya. Maka Allah memperbolehkan orang itu untuk mengadakan suatu
perjanjian dengan orang yang dapat menyiramnya, yang masing-masing mendapat
bagian dari buah yang dihasilkan. Dalam hal ini ada hikma. Pertama,
menghilangkan kemiskinan dari pundak orang-orang miskin sehingga dapat
mencukupi kebutuhannya. Kedua, saling tukar manfaat di antara manusia.
Di samping itu, ada hikmah lain bagi pemilik pohon, yaitu karena pemelihara telah berjasa merawat hingga pohon menjadi besar. Kalau seandainya pohon itu dibiarkan begitu saja tanpa disirami, tentu dapat mati dalam waktu singkat. Belum lagi hikmah dari adanya ikatan cinta, kasih sayang, antara sesama manusia, maka jadilah umat ini umat yang bersatu dan bekerja untuk kemaslahatan, sehingga apa yang diperoleh mengandung faedah yang besar.
C. KESIMPULAN
1. Secara etimologi, Muzara`ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pihak pemilik tanah dan petani penggarap dan al-Musaqah berarti transaksi dalam pengairan, yang oleh penduduk Madinah disebut dengan al-Mu`amalah. Secara terminologi al-Muzara`ah itu yaitu kerja sama antara pemilik tanah dan penggarap tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama, sedangkan benih (bibit) tanaman berasal dari pemilik tanah. Bila dalam kerja sama ini bibit disediakan oleh pekerja, maka secara khusus kerja sama ini disebut al-Mukhabarah. Sedangkan al-Musaqah adalah sebuah kerja sama antara pemilik kebun dan petani penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga memberikan hasil yang maksimal. Kemudian, segala sesuatu yang dihasilkan pihak kedua berupa buah merupakan hak bersama antara pemilik dan penggarap sesuai dengan kesepakatan yang mereka buat.
2.
Rukun al-Muzara`ah
menurut mereka sebagai berikut:
1. Pemilik tanah.
2. Petani penggarap.
3. Objek al-Muzara`ah, yaitu antara manfaat tanah dan hasil
kerja petani.
4. Ijab dan kabul. Contoh ijab dan kabul: “Saya terima tanah pertanian saya ini kepada engkau untuk digarap dan hasilnya nanti kita bagi berdua”. Petani menjawab: “Saya terima tanah pertanian ini untuk digarap dengan imbalan hasilnya dibagi dua”. Jika hal ini telah terlaksana, maka akad ini telah sah dan mengikat. Akad al-Muzara`ah tidak perlu dengan ungkapan, tetapi boleh juga dengan tindakan, yaitu petani langsung menggarap tanah itu.
3. Rukun al-Musaqah ada lima, yaitu:
1.
Dua orang/pihak yang melakukan transaksi.
2.
Tanah yang dijadikan objek al-Musaqah.
3.
Jenis usaha yang akan dilakukan petani penggarap.
4.
Ketentuan mengenai pembagian hasil al-Musaqah.
5. Shighat (ungkapan) ijab dan kabul.
Daftar Pustaka
Ghazaly, Abdul Rahman, Dkk. FIQH MUAMALAH. Jakarta:
Kencana, 2010.
[1] Abdul Rahman Ghazaly, DKK. FIQH MUAMALAH. (Jakarta: Kencana,
2010) hlm. 114
[2] Abdul Rahman Ghazaly. Ibid hlm. 115
[3] Abdul Rahman Ghazaly. Ibid hlm. 109
[4] Ibid., hlm. 109
Comments
Post a Comment
Thank You