PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Oleh: Krisnanda
PEMBAHASAN
A.
Asbab
an-Nuzul
Al-Qur`an diturunkan Allah SWT kepada nabi Muhammad SAW dalam kenyataan historisnya tindaklah sekaligus secara utuh, akan tetapi memakan waktu yang cukup panjang, yaitu sejak nabi Muhammad diangkat menjadi Rasul sampai wafatnya, kurang lebih selama 23
tahun “(22 tahun, 2 bulan, 22 hari).[1]Ada fenomena menarik di kalangan umat Islam dalam memahami teks
Al-Qur`an. Sebagian berpandangan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur`an harus
disesuaikan dengan konteks saat diturunkannya ayat. Ini memunculkan kaidah “Al
‘ibratu bi khususis-sabab la bi `umumil lafzh”, yakni penyimpulan makna
didasarkan atas kekhususan sebab turun ayat, bukan didasarkan atas keumuman
lafazhnya.[2]
Sementara sebagian yang lain berpandangan bahwa pemahaman terhadap Al-Qur`an
itu harus didasarkan atas keumuman lafazh ayat bukan di dasarkan atas
kekhususan sebab turunnya. Ini melahirkan kaidah “Al `ibrah bi `umumil lafzh
la bi khususis-sabah”.[3]
Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI
Uraian di atas
memperlihatkan pentingnya mengetahui latar belakang turunnya suatu ayat, yang
menjadi bagian dari kajian Ulumul Qur`an. Data menunjukkan tidak seluruh
ayat-ayat Al-Qur`an mempunyai asbabun nuzul. Mengenai hal ini Syaikh Al
Ja`bari[4]
berkata, “Al-Qur`an ditirunkan dalam dua bagian, bagian pertama berupa
prinsip – prinsip yang tidak terikat dengan sebab – sebab khusus, melainkan
murni petunjuk bagi manusia ke jalan Allah (kebenaran). Bagian kedua,
diturunkan berdasarkan suatu tertentu.”
B.
Pengertian Asbab
an-Nuzul
Secara bahasa Asbab an-Nuzul terdiri dari dua kata yaitu asbab,
jamak dari sabab yang berarti sebab atau latar belakang, sedangkan nuzul
merupakan bentuk masdar dari anzala yang berarti turun.[5]
Pengertian asbab an-nuzul secara istilah adalah sesuatu yang
melatarbelakangi turunnya suatu ayat, yang mencakup suatu permasalahan dan
menerangkan suatu hukum pada saat terjadi peristiwa-peristiwa. Menurut
Nurcholish Majid menyatakan bahwa asbabun nuzul adalah konsep, teori
atau berita tentang adanya `sebab – sebab turunnya` wahyu tertentu dari Al-Qur`an kepada Nabi SAW baik berupa satu ayat, satu rangkaian
ayat maupun satu surat.[6] Al-Qur`an diturunkan Allah swt
kepada Muhammad saw secara berangsur – angsur dalam masa lebih kurang 23 tahun.
Adapun tujuan diturunkannya al-Qur`an adalah untuk mengeluarkan dan menyelamatkan
manusia dari kegelapan jahiliah menuju cahaya kebenaran Islam.[7]
Subhi al-Shalih
memberikan definisi sebagai berikut:
ما نزلت الاية او الايات بسببه متضمنة له او مجيبة عنه او مبينة لحكمه زمن
وقوعه
“Sesuatu yang
dengan sebabnya turun suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebab itu,
atau memberi jawaban terhadap sebab itu, atau menerangkan hukumnya pada masa
terjadinya sebab tersebut.”[8]
Definisi ini
memberikan pemahaman bahwa sebab suatu ayat adakalanya berbentuk peristiwa dan
adakalanya berbentuk pertanyaan. Suatu ayat atau beberapa ayat turun untuk
menerangkan hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban
terhadap pertanyaan tertentu.
Jadi dapat kita
simpulkan bahwa sebab - sebab turunnya suatu ayat itu berkisar pada dua hal:[9]
1.
Bila terjadi
satu peristiwa, maka turunlah ayat Qur`an mengenai peristiwa itu. Hal itu
seperti diriwayatkan dari Ibn Abbas, yang mengatakan:
“ketika
turun: Dan peringatkanlah kerabat-kerabat yang terdekat, Nabi pergi dan
naik ke bukit Safa, lalu berseru: “Wahai kaum-ku!” Maka mereka berkumpul ke
dekat Nabi. Ia berkata lagi: “Bagaimana pendapatmu bila aku beritahu kepadamu
bahwa di balik gunung ini ada sepasukan berkuda yang hendak menyerangmu;
percayalah kamu apa yang ku katakan?’ Mereka menjawab: Kami belum pernah
melihat engkau berdusta.” Dan Nabi melanjutkan: “Aku memperigatkan kamu tentang
siksa yang pedih.’ Ketika itu Abu Lahab lalu berkata: “Celakalah engkau; apakah
engkau mengumpulkan kami hanya untuk urusan ini?” lalu ia berdiri. Maka
turunlah surat ini Celakalah kedua tangan Abu Lahab.[10]
Sebab
turun ayat yang dalam bentuk peristiwa ada tiga macam:
a.
Peristiwa
berupa pertengkaran.
Seperti
perselisihan yang berkecamuk antara segolongan dari suku Aus dan segolongan
dari suku Khazraj. Perselisihan itu timbul dari intrik – intrik yang ditiupkan
orang – orang Yahudi sehingga mereka berteriak – teriak “senjata, senjata”.
Peristiwa tersebut menyebabkan turunnya beberapa ayat surah Ali`Imran mulai
dari firman Allah:
ياايها الذين امنوا ان تطيعوا فريقا من الذين
اوتوا الكتاب يردوكم بعد ايمانكم كافرين
“Hai
orang – orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang – orang
yang diberi al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang
kafir sesudah kamu beriman”. (QS Ali Imran (3): 100).
Sampai beberapa ayat sesudahnya. Hal ini
merupakan cara terbaik untuk menjauhkan orang dari perselisihan dan merangsang
orang kepada sikap kasih sayang, persatuan, dan kesepakatan.
b.
Peristiwa berupa kesalahan yang serius.
Seperti, peristiwa seorang yang
mengalami shalat sedang mabuk sehingga tersalah membaca surah al-Kafirum. Ia
membaca: قل ياايها الكافرون . اعبد ماتعبدون dengan tanpa لا pada لا اعبد .
peristiwa ini menyebabkan turunnya ayat:
ياايها الذين امنوا لاتقربوا
الصلاة وانتم سكري حتي تعلموا ماتقولون
“Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu hampiri
shalat sedangkan kamu dalam keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu
ucapkan….” (QS Al-Nisa (4): 42).
c. Peristiwa yang
berupa cita – cita dan keinginan.
Seperti sesuatu persesuaian
– persesuaian (muwafaqat) Umar Ibn al-Khaththab dengan ketentuan ayat –
ayat al-Qur`an. Dalam sejarah, ada beberapa harapan Umar yang dikemukakannya
kepada Nabi Muhammad. Kemudian turun ayat yang kandungannya sesuai dengan harapan
– harapan Umar tersebut. Sebagian ulama telah menulisnya secara khusus. Sebagai
contoh, Imam al-Bukhari dan lainnya meriwayatkan dari Anas r.a. bahwa Umar
berkata: “Aku sepakat dengan Tuhanku dalam tiga hal: Aku katakan kepada Rasul
bagaimana sekiranya kita jadikan Makan Ibrahim tempat shalat; maka turunlah
ayat: و اتخذوا من مقام ابراهيم مصلي dan Aku katakana kepada Rasul, sesungguhnya istri –
istrimu masuk kepada orang – orang yang baik – baik dan orang yang jahat, maka
bagaimana sekiranya Engkau perintahkan mereka agar bertakbir, maka turunlah
ayat hijab (QS al-Ahzab (33): 53); dan istri – istri Rasul mengerumuninya
pada kecemburuan. Aku katakana kepada mereka:
عسي ربه ان طلفكن ان يبدله
ازواجا خيرا منكن
“(Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan member ganti
kepadanya dengan istri – istri yang lebih baik dari kamu)”, maka turunlah ayat
yang serupa dengan itu pada surah al-Tahrim (66), ayat 5.
2.
Bila Rasulullah
ditanya tentang sesuatu hal, maka turunlah ayat al-Qur`an meneragkan hukumnya.
Hal itu seperti ketika Khaulah binti Sa`labah dikenakan zihar[11]
oleh suaminya, Aus bin Samit. Lalu ia datang kepada Rasulullah mengadukan
hal itu. Aisyah berkata ”Maha sucu Allah yang pendengaranNya meliputi
segalannya. Aku mendengar ucapan Khaulah binti Sa`labah itu, sekalipun tidak
seluruhnya. Ia mengadukan suaminya pada Rasulullah. Katanya: ‘Rasulullah,
suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung
karenanya, sekarang, setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi, ia menjatuhkan
zihar kepadaku! Ya Allah sesungguhnya aku mengadu kepadaMu.’ Aisyah
berkata: “Tiba – tiba Jibril turun membawa ayat-ayat ini: Sesungguhnya Allah
telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni
Aus bin Samit.
Sebab turun ayat yang dalam bentuk pertanyaan ada tiga macam:
a.
Pertanyaan
yang berhubungan dengan sesuatu yang telah lalu.
Seperti ayat: ويسالونك عن ذي
القرنين -الاية –
"Mereka bertanya
kepadamu tentang Zul Karnain”
b. Pertanyaan yang
berhubungan dengan sesuatu yang sedang berlangsung pada waktu itu.
Seperti ayat: ويسالونك عن الروح قل الروح من امر ربي
وما اوتيتم من العلم الا قليلا
"Dan mereka bertanya
kepadamu tentang ruh, katakanalah bahwa ruh itu urusan Tuhanku, dan kamu tidak
diberi ilmu kecuali yang sedikit”.
c. Pertanyaan yang
berhubunngan dengan masa yang akan dating
Seperti ayat: يسالونك عن الساعة ايان مرساها
“Mereka bertanya kepadamu tentang kiamat,
“Bila terjadinya?”
C. Kedudukan Asbabun Nuzul dalam
Pemahaman Al-Qur’an
Mengetahui sebab-sebab
turunnya ayat mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memahami Al-Qur’an.
Di antara fungsi dan manfaatnya adalah mengetahui hikmah ditetapkannya suatu
hukum. Di samping itu, mengetahui asbab al-nuzul merupakan cara atau metode
yang paling akurat dan kuat untuk memahami kandungan Al-Qur’an. Alasannya,
dengan mengetahui sebab, musabab atau akibat ditetapkannya suatu hukum akan
diketahui dengan jelas.
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
Berikut ini paparan dua kisah yang dapat dijadikan dasar bagi kita, betapa
tanpa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat, banyak mufasir yang tergelincir dan
tidak dapat memahami makna dan maksud sebenarnya dari ayat-ayat Al-Quran.
Pertama, kisah Marwan ibn Al-Hakam. Dalam sebuah hadis riwayat Al-Bukhari dan
Muslim diceritakan bahwa Marwan pernah membaca firman Allah SWT, yang artinya:”Janganlah
sekali-kali kamu menyangka bahwa orang-orang yang gembira dengan apa yang telah
mereka kerjakan dan suka dipuji atas perbuatan yang belum mereka kerjakan
terlepas dari siksa. Bagi mereka siksa yang pedih.” (QS. Ali Imran: 188).
Setelah membaca ayat tersebut, Marwan berkata, “Seandainya benar setiap orang
yang merasa gembira dengan apa yang telah dikerjakannya dan suka dipuji atas
apa yang belum dilakukannya akan disiksa, maka semua orang juga akan disiksa.”
Secara tekstual, apa yang dipahami Marwan adalah benar. Namun, secara
kontekstual tidaklah demikian. Ibn ‘Abbas menjelaskan bahwa ayat tersebut
sebetulnya turun berkenaan dengan kebiasaan Ahl Al-Kitab (Yahudi dan Nasrani)
dalam berbohong. Yaitu, jika Nabi Muhammad SAW bertanya tentang sesuatu, mereka
menjawab dengan jawaban yang menyembunyikan kebenaran. Mereka seolah-olah telah
memberi jawaban, sekaligus mencari pujian dari Nabi dengan apa yang mereka
lakukan. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Kedua, kisah ‘Utsman ibn Mazh’un dan ‘Amr ibn Ma’dikarib. Kedua sahabat ini
menganggap bahwa minuman keras (khamar) diperbolehkan dalam Islam. Mereka
berdua berargumen dengan firman Allah SWT, yang artinya:”Tidak ada dosa atas
orang-orang yang beriman dan beramal saleh mengenai apa yang telah mereka makan
dahulu.” (QS. Al-Maidah: 93). Seandainya mereka mengetahui sebab turunnya
ayat tersebut, tentu tidak akan berpendapat seperti itu. Sebab, ayat tersebut
turun berkenaan dengan beberapa orang yang mempertanyakan mengapa minuman keras
diharamkan? Lantas, apabila khamar disebut sebagai kotoran atau sesuatu yang
keji (rijs), bagaimana dengan nasib para syahid yang pernah meminumnya? Dalam
konteks itulah, QS. Al-Maidah turun untuk memberi jawaban. (HR. Imam Ahmad,
Al-Nasai, dan yang lain)
Begitu juga dengan firman Allah SWT yang artinya:”Maka ke arah mana saja
kamu berpaling atau menghadap, di sana ada Wajah Allah (Kiblat/ Ka’bah).
(QS. Al-Baqarah: 115). Seandainya sebab turun ayat tersebut tidak diketahui,
pasti akan ada yang berkata, “Secara tekstual, ayat tersebut menunjukkan bahwa
orang yang melakukan shalat tidak wajib menghadap kiblat, baik di rumah maupun
di perjalanan.” Pendapat seperti ini, tentu saja bertentangan dengan
ijma’(konsensus para ulama). Namun, apabila sebab turunnya diketahui, menjadi
jelas bahwa ayat tersebut turun berkenaan dengan pelaksanaan shalat sunnah di
perjalanan (safar). Selain itu, juga berkenaan dengan orang yang melakukan
shalat berdasarkan ijtihadnya, kemudian sadar bahwa dia telah keliru dalam
berijtihad.
Asbabun nuzul memiliki kedudukan (fungsi) yang penting dalam
memahami/menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an, sekurang-kurangnya untuk sejumlah
ayat tertentu. Ada beberapa kegunaan yang dapat dipetik dari mengetahui asbabun
nuzul, diantaranya:
a.
Mengetahui sisi-sisi positif (hikmah) yang mendorong atas pensyari’atan hukum.
b.
Dalam mengkhususkan hukum bagi siapa yang berpegang dengan kaidah:” bahwasanya
ungkapan (teks) Al-Qur’an itu didasarkan atas kekhususan sebab, dan
c. Kenyataan menunjukkan bahwa adakalanya lafal dalam ayat Al-Qur’an itu bersifat umum, dan terkadang memerlukan pengkhususan yang pengkhususannya itu sendiri justru terletak pada pengetahuan tentang sebab turun ayat itu.
D. Macam – macam Redaksi Asbabun
Nuzul dan Maknanya
Asbabun Nuzul mempunyai
beberapa redaksi dan makna. Pertama, berupa pertanyaan tegas dan jelas dengan
menggunakan kata sebab, seperti “Sababu nuzuli ayah kadza”, dengan
menggunakan fa` ta`qibiyah yang bersambung dengan lafazh nuzul seperti
“...faanzalallahu...”, tidak menggunakan kata sebab dan fa`
ta`qibiyah, tetapi dapat dipahami sebagai sebab dalam konteks jawaban atas
suatu pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah, seperti hadist riwayat ibn
Mas`ud, ketika Nabi SAW ditanya tentang ruh.[12]
Kedua, berupa
pertanyaan tidak tegas dan jelas, seperti ungkapan “nuzilat hadzihil ayatu
fi kadza”, “ahsibu hadzihil ayat nuzilat fi kadza”, atau “ma ahsibu
hadzihil ayat nuzilat fi kadza”. Redaksi semacam ini bisa jadi merupakan
penjelasan kandungan hukum ayat yang dimaksud. Dengan pernyataan itu dan
pernyataan selanjutnya perawi tidak memastikannya sebagai Asbabun Nuzul.
Redaksi – redaksi tersebut mengandung kemungkinan menunjukkan sebab nuzul dan
hal yang lain. Az-Zarkasyi menyatakan bahwa hal itu berdasarkan kepada
kebiasaan sahabat dan tabi`in. Bila seseorang di antara mereka menggunakan
lafal tidak jelas seperti itu menunjukkan kandungan hukum dan bukan sebab
turunnya ayat, maka hal itu merupakan jenis pengambilan dalil (istidlal)
terhadap suatu ayat dan bukan periwayatan peristiwa.[13]
Selanjutnya jika kedua redaksi yang menunjuk satu objek persoalan, maka redaksi yang tegaslah yang harus menjadi pegangan, karena redaksi yang tegas lebih kuat dibandingkan dengan redaksi yang mengandung kemungkinan – kemungkinan. Seperti riwayat Muslim dari Jabir tentang sebab nuzul QS. Al- Baqarah (2): 223 dan riwayat Bukhari dari Ibnu Umar. Riwayat Jabir dipegangi sebagai sebab nuzul, karena ketegasannya, sedangkan riwayat dari Ibnu Umar dianggap sebagai penjelasnya.[14]
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qattan,
Manna` Khalil, Studi Ilmu-ilmu Qur`an, terj. Mudzakir AS. Cet. 16 Bogor:
Pustaka Litera Antara Nusa, 2013.
Ash-Shiddieqy,
Hasby. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur`an/Tafsir, Jakarta: Bulan
Bintang, Cet. 8. 1980.
Chirzin,
Muhammad. Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an, Cet. 1. Jakarta: Dana Bhakti
Prima Yasa, 1998.
Djalal,
Abdul. Ulumul Qur`an, Surabaya: Dunia Ilmu. 1998.
Mahali,
A. Mudjab. Asbabun Nuzul Studi Pendalaman Al-Qur`an, Jakarta: Rajawali
Pers. 1989.
[1] Muhammad Chirzin, Al-Qur`an dan Ulumul Qur`an. ( Jakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa, 1998), hal. 29.
[2] Ibid,..., hal. 29.
[3] Ibid,...,.
[4] Dia adalah Burhanuddin Ibrahim bin Umar, menulis kitab Raudhah at
Ta`arif Fi Rasm Al Qur`an dan Kanzul Ma`ani yang merupakan penjelasan
Asy-Syatibiyah tentang Qira`at, wafat tahun 732 H. Manna` Khalil Al Qaththan, Mabahits
Fi Ulum Al- Qur`an, terjemah Mudzakir AS (Jakarta: PT Pustaka Litera Antar
Nusa, 1994), h.107.
[5] Muhammad Chirzin, Ibid,.., hal. 30.
[6] Ibid,...,hal. 30.
[7] Muhammad Sayyid Thanthawi, Ulumul Qur`an, terjemahan.
Mabahits fi Ulum al-Qur`an, hlm. 87.
[8] Ramli Abdul Wahid, ULUMUL QUR`AN, hlm. 29-30
[9] Manna` Khalil al-Qattan, STUDI ILMU-ILMU QUR`An. Hlm. 108
[10] Ibid. Hlm. 109
[11] Zihar ialah bila seorang suami mengatakan kepada istrinya: “Engkaubagi
ku seperti punggung ibuku.” Bentuk penyataan Zihar selain yang tersebut ini
masih diperselisihkan.
[12] Muhammad Chirzin, Ibid,..., hal. 31.
[13] Ibid,...,.
[14] Ibid,..,.
Comments
Post a Comment
Thank You