PENGERTIAN AR-RAHN, Ar-rahn adalah?
Oleh: Krisnanda
PENDAHULUAN
Dalam realitas sosial masyarakat, ekonomi kerap menemukan kondisi yang memiliki harta dalam bentuk selain uang tunai. Disaat yang sama, orang yang bersangkutan mengalami kesulitan terkait ekonomi (uang) sehingga membutuhkan dana dalam bentuk tunai. Pilihan transaksi yang sering digunakan oleh masyarakat yang menghadapi masalah ini adalah menggadaikan barang-barang yang berharga untuk dapat dana yang dibutuhkan.
Istilah gadai nampaknya sudah sangat akrab dengan masyarakat kita,
terutama kalangan masyarakat yang membutuhkan dana tunai saat kondisi
keuangannya kurang baik. Karena masyarakat yang membutuhkan dana tunai dengan
model gadai, permintaannya malah besar, penggadaian sebagai lembaga yang
merespon kebutuhan masyarakat pun akhirnya dapat eksis dan berkembang pesat.
Pegadaian timbul dari interaksi permintaan dan penawaran
terhadap dana tunai dalam waktu yang cepat yang menggunakan
barang berharga sebagai jaminannya. Selama ini, bisnis pegadaian relatif
tumbuh dan berkembang, baik yang dilaksanakan oleh swasta maupun pemerintah.
Pada makalah ini kita lebih memfokus pada ayat al-Qur`an dan
Hadist yang berkaitan dengan rahn atau yang biasa dikenal sebagai
pegadaian.
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AR-RAHN
Gadai dalam fiqh disebut
dengan kata rahn, yang menurut bahasa adalah merupakan barang yang
dijadikan untuk jaminan kepercayaan.[1]
Sedangkan menurut syara` diartikan: menyendera sejumlah harta yang
diserahkan sebagai jaminan secara hak, tetapi dapat diambil kembali sebagai
tebusan.[2]
Secara bahasa; Ar-rahn adalah ast-tsubut wa ad-dawam (tetap dan
langgeng); juga berarti al-habsu (penahanan).[3]
Imam Abu Zakariah al-Anshari mendefinisikan ar-Rahn dalam kitab Fathul
Wahhab sebagai: “menjadikan benda bersifat harta sebagai kepercayaan dari suatu
utang yang dapat dibayarkan dari (harga) benda itu bila utang tidak dibayar.”[4]
Pengertian rahn yang
diartikan sebagai perjanjian utang piutang, antara dua atau beberapa pihak
mengenai persoalan benda dan menahan sesuatu barang sebagai jaminan utang yang
mempunyai nilai harta. Yang menurut pandangan syara` merupakan jaminan
atau ia bisa mengambil sebagian manfaan dari barang tersebut.[5]
Firman Allah dalam surat al-Muddatstsir (74) ayat 38 menyebutkan, “Setiap
diri bertanggung atas apa yang telah diperbuat”, dan surat al-Baqarah (2)
ayat 283 mengatakan, “Hendaknya ada barang tanggungan yang dipegang”.
B. LANDASAN HUKUM
a. Al-Qur`an
(QS. Al-Baqarah (2): 282).
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ
اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا
أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ
وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا
أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ
اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ
تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا
تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ
وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ
وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيم)٢٨٢ .(
“Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan,
hendaklah kamu menuliskannya. dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar. dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia
bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada
hutangnya. jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, Maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur. dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa Maka yang seorang mengingatkannya. janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah
kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu
membayarnya. yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan
persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali
jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, Maka
tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. dan persaksikanlah
apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit
menyulitkan. jika kamu lakukan (yang demikian), Maka Sesungguhnya hal itu
adalah suatu kefasikan pada dirimu. dan bertakwalah kepada Allah; Allah
mengajarmu; dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu”
(QS. Al-Baqarah (2): 282).
Kemudian (QS. Al-Baqarah (2): 283).
وَإِنْ
كُنْتُمْ عَلَى سَفَرٍ وَلَمْ تَجِدُوا كَاتِبًا فَرِهَانٌ مَقْبُوضَةٌ فَإِنْ
أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَهُ وَلْيَتَّقِ
اللَّهَ رَبَّهُ وَلا تَكْتُمُوا الشَّهَادَةَ وَمَنْ يَكْتُمْهَا فَإِنَّهُ آثِمٌ
قَلْبُهُ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ عَلِيمٌ) ٢٨٣.(
“Jika kamu dalam perjalanan (dan kamu melaksanakan muamalah tidak
secra tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulias, maka hendaklah ada
barang tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pegangan (oleh yang
mengutangkan) , tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain maka
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanat (utangnya) dan hendaknya ia
bertakwa kepada Allah swt.” (QS. Al-Baqarah (2): 283).
Ayat tersebut menjelaskan tentang
diharuskannya bagi orang yang menghutangkan untuk meminta suatu barang
tanggungan yang dapat dijadikan sebagai pengangan ataupun jaminan. Dalam dunia
financial, barang tanggungan biasa dikenal sebagai jaminan (collateral) atau objek pengadaian.
Kemudian: QS. al-Muddatstsir Ayat:
38-39.
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ (38) * إِلَّا أَصْحَابَ الْيَمِينِ (39)*[6]
“Tiap-tiap diri menyangkut apa yang telah dilakukannya tergadai
kecuali golongan kanan.”
Ayat ini merupakan pernyataan kepada
seluruh manusia terkait dengan kebebasan memilih sesuatu yang telah ditegaskan
pada ayat-ayat yang lalu. Seolah – olah Allah menyatakan: “Hai manusia, kamu
sekalian bebas untuk memilih jalan, maju atau mundur, arah kanan atau kiri.
Akan tetapi, hendaknya diketahui bahwa keadaan kamu kelak, di hari kemudian,
akan ditentukan oleh pilihanmu masing – masing karena kamu semua bahkan tiap
– tiap diri, lelaki atau perempuan, menyangku apa yang semua tergadai. Dan
karena sesuatu yang digadaikan boleh jadi berhasil ditebus dan boleh juga
gagal, ayat diatas melanjutkan bahwa kecuali golongan kanan. Mereka
itulah yang berhasil menebus dirinya dengan amal – amal salehnya.[7]
Kata ((كسبت kasabat, demikian juga kata (اكتسب)iktasaba, diambil dari kata(كسب) kasaba yang artinya adalah perbuatan yang
dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat.
Pada mulanya, kata ini hanya dipakai jika perbuatan yang dimaksud dilakukan
oleh anggota badan manusia, khususnya tangannya, tetapi al-Qur`an
menggunakannya juga bagi perbuatan – perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia
(baca QS. Al- Baqarah [2]: 225).
Syaikh Muhammad `Abduh berpendapat bahwa
kaa kasaba atau kasabat menunjuk kepada perbuatan yang dilakukan
seseorang secara mudah atau tidak membutuhkan kesungguhan. Berbeda dengan ktasaba
yang merupakan perbuatan yang dilakukan dengan susah (pemaksaan hati) karena
perbuatan tersebut tidak sejalan dengan kecendrungan jiwa. Untuk lebih jelasnya
rujuklah ke QS. Al- Baqarah [2]: 286.
Kata
rahinah (رهينة)diambila dari kata rahana (رهن)dengan berbagai makna antara lain gadai, yakni
sesuatu yang dijadikan jaminan guna memeroleh hutang. Seyogyanya, sesuatu itu
ditahan oleh pemberi hutang, dan dari sini kata tersebut diartikan dengan
sesuatu yang ditahan.[8]
Ayat
38 diatas menegaskan bahwa setiap pribadi tergadai di sisi Allah. Ia harus
menebus dirinya dengan amal-amal perbuatan baik setiap pribadi seakan – akan
berutang kepada Allah swt. dan dia harus membayar kembali hutangnya kepada
Allah untuk membebaskan dirinya.
Jadi,
dapat kita simpulkan bahwa Ayat tersebut dapat digunakan sebagai dalil (argumentasi)
dalam transaksi rahn (gadai).
b. Al-Hadits
Anas r.a. berkata,”Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada
seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau.” (HR. Bukhari no. 1927, kitab al Buyu, Ahmad, Nasa’I, dan Ibnu
Majah).[9]
Bukhari dan lainya meriwayatkan dari Aisyah berkata, “Rasulullah
pernah memberi makanan dari orang Yahudi dan beliau menggadaikan kepadanya baju
besi beliau” (HR.
Bukhari dan Muslim).[10]
Dari Anas re berkata, Rasulullah Faw menggadaikan baju besinya
kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga
beliau (HR
Bukhari, Ahmad. Nasa`i dan Ibnu Majah).[11]
Dari Abu Hurairah re bahwasanya Rasulullah Faw berkata, “barang
yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang digadaikannya.
Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnya ialah bila ada kerugian (atau
biaya). (HR.
Syafi`i dan Daruqutni).[12]
c. Ijtihad Ulama
Perjanjian gadai (rahn)
yang diajarkan dalam al-Qur`an dan Hadits tersebut kemudian dikembangkan oleh
para Fuqaha[13]
dengan jalan Ijtihad, dengan kesepakatan dari para ulama bahwa gadai
diperbolehkan dan para ulama juga tidak pernah memeprtentangkan kebolehannya
demikian juga dengan landasan hukumnya.[14]
Akan tetapi hal ini perlu dilakukan pengkajian ulang yang lebih mendalam
bagaimana semestinya pegadaian menurut landasan hukumnya.
Dalam buku Heri Sudarsono yang berjudul “BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Deskripsi dan Ilustrasi” terdapat pendapat Asy-Safi`i yang mengatakan “Allah tidak menjadikan hukum kecuali dengan barang berkriteria jelas dalam serah terima. Jika kriteria tidak berbeda (dengan aslinya), maka wajib menggunakan akad (setelah akad) orang yang menggadaikan (rahn) dipaksakan untuk menyerahkan borg (jaminan) untuk dipegang oleh yang memegang gadai (murtahin). Jika borg sudah berada di tangan pemegang gadai (murtahin) orang yang menggadaikan (rahin) mempunyai hak memanfaatkan, benda dengan pendapatan Iman Asy-Syafi`i yang mengatakan, hak memanfaatkan berlaku selama tidak merugikan/membahayakan pemegang gadaian.[15]
Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai
C. RUKUN GADAI
SYARI`AH
Sebelum dilakukan pegadaian (rahn), terlebih dahulu melakukan sebuah akad.
Akad menurut Mustafa az- Zarqa adalah
ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua pihak atau sekelompok pihak yang
berkeinginan untuk mengikatkan diri. Kehendak pihak yang mengikatkan diri itu
sifatnya tersembunyi dalam hati. Karena itu, untuk menyatakan keinginan masing-masing
diungkapkan dalam suatu akad tersendiri.
Menurut jumhur ulama, rukun rahn
itu ada 5 (empat), yaitu:[16]
1.
Ar-Rahin (yang menggadaikan).
2.
Al- Murtahin (yang menerima Gadai).
3.
Al-Marhun|rahn (barang yang digadaikan).
4.
Al- Marhun bih (Hutang).
5.
Sighat, Ijab
dan Qabul (kesepakatan dalam transaksi).
Pemanfaatan Barang Gadai Menurut Para Ulama`
Dari beberapa `ulama ada dua pendapat terkait pemanfaatan barang gadai.
Mayoritas `Ulama (Jumhuur) melarang bagi orang - orang yang menggadaikan
barangnya untuk diambil manfaatnya. Namun Syafi`iya membolehkan untuk mengambil
manfaat dari barang yang di gadai selama tidak ada mudhatat yang timbul
dari perbuatan tersebut. Hal ini diuraikan sebagai berikut ini;[17]
a.
Ulama Hanafiyah
Menurut
pendapat Hanafiyah, orang yang menggadaikan suatu barang ke penggadaian tidak
boleh memanfaatkan barang gadai tersebut tanpa seizin dari pemegang gadai.
Alasan mereka yaitu bahwa barang yang digadaikan harus tetap dikuasai oleh
pemegang gadai sepanjang waktu. Pendapat Hanafiyah ini sama dengan pendapat
ulama Hanabilah, karena manfaat yang ada dari barang yang digadaikan itu pada
dasarnya termasuk kedalam penggadaian (rahn).[18]
b.
Ulama Malikiyah
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa apabila pemegang gadai memberikan izin keada orang yang menggadaikan untuk diambil manfaat dari barang gadai, maka akadnya akan gagal atau tidak sah. Pemegang gadai diperbolehkan mengambil manfaat atas barang gadai hanya sekedarnya saja (tidak diperbolehkan lama – lama). Apabila pemegang barang gadai itu terlalu lama memanfaatkan barang gadai tersebut, maka dirinya akan dikenakan denda atau bayaran atas pemanfaatan barang tersebut, namun sebagian dari mereka berpendapat tidak perlu membayarnya. Pendapat lainnya, diharuskan untuk membayar, terkecuali jika orang yang menggadaikan barang mengetahui dan tidak mempermasalahkan hal tersebut.[19]
c.
Ulama
Syafi`iyah
Ulama Syafi`i
berpendapat bahwa oleh memanfaatkan barang gadai bagi orang yang menggadaikan
barang gadai. Apabila barang yang diambil manfaatnya tidak berkurang maka tidak
perlu meminta izin, contohnya seperti mengendarai motor, memainkan laptop,
ataupun memakai barang yang digadai lainnya. Namun, jika barang tersebut
berkurang, contohnya seperti sawah, kebun, maka orang yang menggadaikannya
harus meminta izin kepada pemegang gadai.
Pada pendapat dari para ulama ini,
maka khusus untuk penggadaian kita memakai pendapat yang dikemukakan oleh ulama
Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah yang berpendapat “tidak memperbolehkan
orang yang menggadaikan untuk mengambil manfaat dari barang yang digadai.
Kecuali setelah mendapat izin karena barang tersebut merupakan hak atau
kekuasaan pemegang gadai.[20]
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
Hak dan
Kewajiban Para Pihak Gadai Syariah
Menurut Abdul Azis Dahlan, bahwa
pihak rahnin dan murtahin, mempunyai hak dan kewajiban yang harus
dipenuhi. Hak dan kewajibannya adalah:
1.
Hak dan
kewajiban Murtahin.
a.
Hak pemegang
gadai
1.
Pemegang gadai
berhak menjual marhun, apabila rahin pada saat jatuh tempo tidak
dapat memenuhi kewajibannya sebagai orang yang berhutang. Sedangkan hasil
penjualan marhun tersebut diambil sebagian untuk melunasi marhun bih
dan sisanya dikembalikan kepada rahnin
2.
Pemegang gadai
berhak mendapatkan penggantian biaya yang telah dikeluarkan untuk menjaga
keselamatan marun.
3.
Selama marhun
bih belum melunasi, maka murtahin berhak untuk menahan marhun
yang diserahkan oleh pemberi gadai
b.
Kewajiban
pemegang gadai
1.
Pemegang gadai
berkewajiban bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga marhun,
apabila hal itu atas kelalaiannya
2.
Pemegang gadai
tidak dibolehkan menggunakan marhun untuk kepentingan sendiri
3.
Pemegang gadai
berkewajiban untuk memberi tahu kepada ranin sebelum diadakan pelelangan
marhun.
2.
Hak dan kewajiban
pemberi gadai syariah
a.
Hak pemberi
gadai
1.
Pemberi gadai
berhak untuk mendapatkan kembali marhun, setelah pemberi gadai melunasi marhun
bih
2.
Pemberi gadai
berhak menuntut ganti kerugian dari kerusakan dan hilangnya marhun,
apabila hal itu disebabkan oleh kelalaian murtahin
3.
Pemberi gadai
berhak untuk mendapatkan sisa penjualan marhun setelah dikurangi biaya
pelunasan marhun bih, dan biaya lainnya
4.
Pemberi gadai
berhak meminta kembali marhun apabila murtahin telah jelas menyalahgunakan
marhun.
b.
Kewajiban
pemberi gadai
1.
Pemberi gadai
berkewajiban untuk melunasi marhun bih yang telah diterimanya dari murtahin
dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain yang telah
ditentukan murtahin.
2. Pemberi gadai berkewajiban merelakan penjualan atas marhun miliknya, apabila dalam jangka waktu yang telah ditentukan rahin tidak dapat melunasi marhun bih kepada murtahin.[21]
1.
Skema Ar Rahn
Dalam skema ar Rahn,
menggambarkan mekanisme transaksi rahn
dalam bank syariah atau lembaga keuangan syariah.
Keterangan skema:
1. Nasabah menyerahkan jaminan (marhun) kepada bank
syariah (murtahun). Jaminan ini berupa barang bergerak.
2. Akad pembiayaan dilaksanakan antara rahin
(nasabah) dan murtahin (bank syariah).
3. Setelah kontrak pembiayaan ditandatangani, dan
agunan diterima oleh bank syariah, maka bank syariah mencairkan pembiayaan.
4. Rahin melakukan pembayaran kembali ditambah dengan
fee yang telah disepakati. Fee ini berasal dari sewa tempat dan biaya untuk pemeliharaan
agunan.[22]
Perbedaan dan Persamaan Gadai Syariah dengan Konvensional[23]
Persamaan |
Perbedaan |
a.
Hak
gadai atas pinjaman uang b.
Adanya
barang tanggungan sebagai jaminan hutang. c.
Tidak
boleh mengambil manfaat barang yang digadaikan d.
Biaya
barang yang digadaikan ditanggung oleh para pemberi gadai e.
Apabila
batas waktu pinjaman uang habis, barang yang digadaikan boleh dijual atau
dilelang |
a.
Rahn
dalam hukum Islam dilakukan secara
suka rela atas dasar tolong – menolong tanpa mencari keuntungan, sedangkan
gadai menurut hukum perdata; disamping berprinsip tolong menolong, juga
menarik keuntungan dengan cara menarik bunga atau sewa modal b.
Dalam
hukum perdata hak gadai hanya berlaku pada benda yang bergerak. Sedangkan
dalam hukum Islam, rahn berlaku pada seluruh benda, baik harus yang
bergerak maupun yang tidak bergerak c.
Dalam
rahn tidak ada istilah bunga d.
Gadai
menurut hukum perdata dilaksanakan melalui suatu lembaga yang di Indonesia
disebut Perum Pegadaian, rahn menurut hukum Islam dapat dilaksanakan
tanpa melalui suatu lembaga |
Dari tabel di atas tertulis bahwa konsep
dasar gadai syari'ah adalah
tolong menolong. Pada dasarnya, ketika seseorang menggadaikan barang, sudah
tentu dalam kondisi kesusahan. Karenanya, dalam mekanisme gadai syari'ah tidak
membebankan bunga dari pinjaman. Dalam gadai dengan prinsip
syari'ah, orang yang menggadaikan barangnya hanya diberikan kewajiban untuk
memelihara barang yang dijadikan jaminan. Pemeliharaan barang jaminan, tentu
merupakan kewajiban pemilik barang. Akan tetapi, untuk memudahkan maka
pemeliharaan diserahkan kepada pihak pegadaian dengan
konsekuensi ada biaya pemeliharaan sebagai pengganti kewajiban pemilik barang
dalam pemeliharaan. Besar kecilnya biaya, tidak tergantung besar kecilnya dana
yang dipinjam. Akan tetapi, dilihat dari nilai taksiran barang yang digadaikan.
Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana bunga
ditarik dari besar kecilnya dana yang dipinjam.
Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM
Dilihat dari segi barang jaminannya, gadai syari'ah bisa
berupa barang bergerak dan barang yang tidak bergerak. Sedangkan dalam pegadaian konvensional, hanya boleh
menjaminkan barang bergerak saja. Pada pegadaian konvensional hanya
melakukan satu akad perjanjian hutang piutang dengan jaminan barang bergerak
yang jika ditinjau dari aspek hukum konvensional, keberadaan barang jaminan
dalam gadai bersifat
acessoir, sehingga Pegadaian Konvensional bisa
tidak melakukan penahanan barang jaminan atau dengan kata lain melakukan
praktik fidusia. Berbeda dengan pegadaian syariah yang
mensyaratkan secara mutlak keberadaan barang jaminan untuk membenarkan
penarikan bea jasa simpan.
Dilihat dari sisi kelembagaan, gadai syari'ah tidak terikat lembaga. Maksudnya, gadai syari'ah bisa dilakukan oleh siapapun, terlepas apakah pihak tersebut berupa lembaga atau bukan. Berbeda halnya dengan pegadaian konvensional, dimana gadai hanya bisa dilakukan kepada lembaga (perum pegadaian) sebagai mana diatur dalam KUHP pasal 1150.[24]
DAFTAR PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’i. Bank Syariah teori-praktek...
Ismail,
MBA., Ak., Perbankan Syariah,
Kencana, Jakarta: 2011.
Rais, Sasli. Pegadaian
syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UI Press, Depok: 2005.
Shihab,
M. Quraish. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur`an Oleh M.
Quraish Shihab. Jakarta; Lentera Hati. 2002.
Sudarsono,
Heri. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dekripsi dan Ilustrasi. EKONISIA
: Yogyakarta Edisi. Ketiga. 2008.
Yulianti,
Rahmani Timorita. Slide2_GADAI (RAHAN/AL-HABSU), Prodi Ekonomi Islam,
FIAI UII.
http://artikelekis.blogspot.com/2013/12/perbandingan-gadai-konvensional-dengan.html
http://quran-terjemah.org/al-muddatstsir/38.html
http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/pemanfaatan-barang-gadai-oleh-pemegang.html
[1] Heri Sudarsono. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dekripsi dan
Ilustrasi. EKONISIA : Yogyakarta Edisi. Ketiga. 2008. Hlm. 164
[2] Sudarsono, Heri,.Ibid,..
[3] Rahmani Timorita Yulianti. Slide2_GADAI (RAHAN/AL-HABSU), Prodi
Ekonomi Islam, FIAI UII.
[4] Yulianti, Ibid,..
[5] Sudarsono, Heri. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dekripsi dan
Ilustrasi. EKONISIA : Yogyakarta Edisi. Ketiga. 2008. Hlm. 165.
[6] http://quran-terjemah.org/al-muddatstsir/38.html
[7] M. Quraish Shihab. TAFSIR AL-MISBAH Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur`an Oleh M. Quraish Shihab. Jakarta; Lentera Hati. 2002. Hlm
507.
[8] M. Quraish Shihab,. Ibid,. Hlm. 508.
[9] Muhammad
Syafi’I Antonio, Bank Syariah
teori-praktek. Hlm 128-129.
[10] Heri Sudarsono. BANK DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARIAH Dekripsi dan
Ilustrasi. EKONISIA : Yogyakarta Edisi. Ketiga. 2008. Hlm. 167
[11] Hri Sudarsono,. Ibid,...
[12] Ibid,....
[13] Fuqahah : Para ahli – ahli fiqh.
[14] Sudarsono, Heri. Ibid,.. Hlm. 167
[15] Ibid,.. Hlm. 168.
[16] Ibid,...
[17] http://ahmadzarkasyi-blog.blogspot.com/2014/07/pemanfaatan-barang-gadai-oleh-pemegang.html
[18] Ibid,...
[19] Ibid,...
[20] Ibid,...
[21] Sasli Rais, S.E., M.Si, Pegadaian
syariah: Konsep dan Sistem Operasional, UI Press, Depok: 2005. Hlm. 44-46.
[22] Drs. Ismail, MBA., Ak., Perbankan
Syariah, Kencana, Jakarta: 2011, hlm. 211-212.
[23] Heri Sudarsono, Ibid,.. Hlm. 174.
[24] http://artikelekis.blogspot.com/2013/12/perbandingan-gadai-konvensional-dengan.html
Comments
Post a Comment
Thank You