PRINSIP - PRINSIP KEUANGAN PUBLIK ISLAM

                                              Oleh: Krisnanda[1]

Abstract:

Keuangan publik Islam merupakan keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat yang tujuan dasarnya adalah untuk merealisasikan adanya falah. Seiring dengan perkembangan zaman saat ini, sistem keuangan Islam mengalami pembaharuan. Namun demikian, mekanisme teknis pengelolaan keuangan publik yang dibangun perlu

untuk menanamkan prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan-tujuan Islam baik dari segi penerimaan maupun pengeluarannya, antara lain: pertama, mengenai prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik Islam yaitu: sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan memiliki kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah. Kedua, secara garis besar prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran dalam keuangan publik Islam antara lain: penerimaan negara dialokasikan untuk mewujudkan semaksimal mungkin maslahah, menghindari masyaqqoh (kesulitan) dan madharat harus didahulukan daripada melakukan perbaikan.

Kata kunci: Keuangan publik Islam, Falah, Kesejahteraan 

I.         Pendahuluan

Pembahasan tentang keuangan publik Islam berarti juga menyangkut dengan kepentingan masyarakat secara menyeluruh. Adanya masyarakat tidak terlepas dari peranan pemerintah dan masyarakat itu sendiri yang berupaya mengatur sistem kehidupannya. Maka, dibutuhkan suatu prinsip yang menjadi pijakan atas pelaksanaan keuangan publik berdasarkan nilai-nilai Islam. Prinsip yang dilaksanakan tersebut harus disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu pemerintahan yang Islami sebagaimana yang hendak dicapai dalam agama Islam yaitu untuk merealisasikan adanya falah.[2]

Rasulullah SAW membangun negara yang berlandaskan nilai-nilai Islam pertama di Madinah yang dikenal dengan nama Negara Madinah. Negara ini dibangun berdasarkan semangat keislaman yang tercermin dari al-Qur’an dan kepemimpinan Rasulullah SAW. Seluruh aspek kehidupan masyarakat disusun berdasarkan nilai-nilai al-Qur`an seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Sistem keuangan negarapun baru dibangun setelah melakukan berbagai upaya stabilisasi di bidang Sosial, politik serta pertahanan keamanan negara.[3]

Pada masa awal pemerintahan, Negara Madinah hampir tidak memiliki sumber pemasukan. Demikian juga kebijakan fiskal belum banyak berperan dalam kegiatan perekonomian. Kebijakan fiskal belum banyak dijalankan sebagaimana dilakukan pada analisis kebijakan fiskal dewasa ini karena memang belum ada pemasukan negara pada saat itu. Penerimaan pemerintah hanya berasal dari sumbangan masyarakat. Zakat pun belum diwajibkan pada saat itu. Jika Rasulullah membutuhkan uang untuk fakir miskin maka Bilal akan meminjam uang yang dibutuhkan tersebut dari Yahudi.[4]

II.    Keuangan Publik Islam (Islamic Public Finance)

            Menurut Richard A. Musgrave, keuangan publik (public finance) merupakan ilmu yang mempelajari tentang aktivitas-aktivitas ekonomi pemerintah sebagai unit.[5] Adapun dalam pandangan Carl C. Plehm, keuangan publik merupakan ilmu yang mempelajari tentang penggunaan dana-dana oleh pemerintah untuk memenuhi pembayaran kegiatan pemerintah. Karena hal ini, definisi tersebut menjadikan istilah keuangan publik yang identik dengan istilah keuangan negara, ekonomi publik, dan ekonomi sektor public.[6]

            Dalam pandangan Harvey S. Rossen, “public finance is the branch of economics that studies the taxing and spending activities of government” (keuangan publik merupakan cabang ekonomi yang mengkaji aktivitas perpajakan dan pengeluaran pemerintah).[7]

            Imam Yahya bin Umar berpendapat bahwa keuangan publik Islam adalah hak pemerintah melakukan intervensi pasar ketika terjadinya tindak sewenang-wenang dalam pasar yang dapat menimbulkan kemudharatan bagi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah berhak mengeluarkan perilaku tindakan itu dari pasar. Hukuman ini berarti melarang pelaku melakukan aktivitas ekonominya di pasar dan ukan hukuman maliyah.[8]

            Melihat definisi keuangan publik tersebut, maka keuangan publik dalam konteks syari’ah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia dalam bermu’amalah, khususnya dalam relasi negara-rakyat. Dalam arti, hubungan manusia dengan manusia yang lain memiliki ruang yang bebas, namun hubungan ini memiliki nilai.

Keuangan publik Islam merupakan keuangan yang dikelola untuk kepentingan masyarakat, baik yang dikelola secara individual, kolektif ataupun dikelola oleh pemerintah. Keuangan publik Islam mencakup dua hal yaitu sektor penerimaan dan pengeluaran. Sebelum berlanjut pada pembahasan kedua sektor tersebut, perlu diketahui bahwasannya Islam memiliki prinsip-prinsip kebijakan ekonomi Islam yang menjadi landasan dari aktifitas perekonomian antara lain:[9]

1.      Kekuasaan tertinggi adalah milik Allah dan Allah adalah pemilik yang absolut atas semua yang ada.

2.      Manusia merupakan pemimpin (khalifah) Allah di bumi tetapi bukan pemilik yang sebenarnya.

3.      Semua yang dimiliki dan didapatkan manusia adalah karena seizin Allah, oleh karena itu golongan yang kurang beruntung memiliki hak atas sebagian kekayaan yang dimiliki oleh golongan yang lebih beruntung.

4.      Kekayaan tidak boleh ditumpuk terus atau ditimbun.

5.      Kekayaan harus diputar.

6.      Eksploitasi ekonomi dalam segala bentuknya harus dihilangkan.

7.      Menghilangkan jurang pembeda antar individu dalam perekonomian dapat menghapus konflik antar golongan dengan cara membagikan kepemilikan seseorang setelah kematiannya kepada ahli warisnya.

8.      Menetapkan kewajiban yang sifatnya wajib dan sukarela bagi semua individu termasuk bagi anggota masyarakat yang miskin.

Dengan bersandar pada prinsip kebijakan ekonomi Islam di atas, maka prinsip-prinsip yang mendasari baik penerimaan dan pengeluaran keungan publik Islam dapat dipaparkan pada pembahasan selanjutnya.

III.      Prinsip Penerimaan Keuangan Publik Islam

Dari tinjauan sejarah mengenai penerimaan publik Islam dapat ditunjukkan bervariasinya bentuk-bentuk sumber pendanaan publik, baik yang sudah ditentukan oleh pemerintah saat itu seperti kharaj, khums, jizyah dan sebagainya. Dari berbagai bentuk instrumen penerimaan publik tersebut, maka prinsip dasar pemungutan dana publik pada awal Islam tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Prinsip Pokok Sumber Keuangan Publik Islam Klasik[10]

No

Sumber Penerimaan

Karakteristik Utama

1

Zakat

a.       Merupakan kewajiban langsung dari Allah (Al-Qur’an)

b.      Pembayar zakat adalah khusus individu muslim, mampu secara material dan melebihi satu nisab.

c.       Dibebankan atas stok kekayaan atau keuntungan, bukan atas modal kerja.

d.      Tingginya tarif zakat dipengaruhi oleh semakin tingginya peran pengelolaan manusia terhadap alam, maka semakin kecil tarif zakatnya dan tingginya tarif adalah proporsional.

e.       Dipungut secara berkala sesuai masa perolehan atau panen.

2

Ushr

a.       Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah kepada pedagang yang ditujukan untuk meningkatkan perdagangan.

b.      Pembayaran ushr adalah perdagangan muslim dan non muslim.

c.       Dibebankan atas volume perdagangan.

d.      Besarnya tarif dipengaruhi oleh tarif yang dipungut oleh partner dagang, kemampuan bayar (tidak bagi pedagang kecil, 200 dirham), besarnya jasa yang diberikan pemerintah (tarif dzimmi lebih besar karena butuh jaminan keamanan lebih tinggi).

e.       Temporer, ketika terjadi perdagangan yang tidak fair (tarif dikurangi untuk meningkatkan perdagangan yang fair).

3

Kharaj

a.       Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah sebagai pengguna lahan negara atau tanah fai’.

b.      Tingginya tarif tergantung pada semakin tingginya kondisi: kualitas tanah dan jenis tanah yang lebih baik, metode produksi/peran SDM lebih rendah, nilai hasil produksi (max 50%).

c.       Dipungut secara permanen berkala.

4

Jizyah

a.       Merupakan kewajiban yang dibebankan oleh pemerintah sebagai kompensasi atas perlindungan jiwa, property, ibadah dan tanggung jawab militer.

b.      Dipungut dari non muslim dzimmi yang tinggal di Negara Islam.

c.       Tingginya tarif dipengaruhi oleh kemampuan material membayar jizyah, bisa dibayar individual atau kolektif.

d.      Dipungut permanen, kecuali jika dzimmi berpindah ke agama Islam, maka terkena kewajiban sebagai Muslim.

5

Ghanimah

a.       Merupakan harta yang diperoleh secara paksa melalui perang.

b.      Ditujukan terutama untuk pembiayaan perang dan kesejahteraan tentara (80%)

c.       Sebagian 20% dialokasikan untuk sabilillah, sebagaimana tarif zakat yang dikenakan atas harta temuan rikaz.

6

Fai’

a.       Merupakan harta yang diperoleh dari non muslim secara damai atau non perang.

b.      Prinsipnya adalah pemanfaatan harta yang menganggur.

c.       Dimiliki oleh pemilik asal jika ia masih hidup atau masuk dalam keadaam Islam, dan menjadi milik negara jika pemilik asal meninggal atau tetap non muslim.

d.      Beberapa pendapatan bisa dikategorikan sebagai fai’, seperti jizyah, upeti, bea cukai, denda kharaj, amwal fadhila, dan sebagainya.

7

Amwal Fadhila

a.       Merupakan harta yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki baik karena ditinggalkan pemiliknya atau tanpa ahli waris

8

Nawaib

a.       Merupakan pungutan yang dibebankan oleh pemerintah kepada orang tertentu untuk tujuan Negara tertentu, misalnya untuk pertahanan negara.

b.      Pemungutan dilakukan secara purposive, untuk kepentingan darurat (perang).

c.       Dikenakan atas orang kaya saja.

9

Wakaf

a.       Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan kepemilikannya oleh seorang Muslim untuk tujuan kemaslahatan ummat Islam.

b.      Dikhususkan pada harta yang memiliki manfaat jangka panjang.

c.       Tidak ada ketentuan mengenai besarannya, tergantung kemauan waqif.

10

Sedekah

a.       Merupakan harta yang secara sukarela diserahkan kepemilikannya oleh seorang muslim kepada orang lain atau ummat Islam atau Negara.

b.      Tidak ada ketentuan mengenai besarannya tergantung kemauan pemberi sedekah.


Dari uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan mengenai prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik Islam yaitu:[11]

1.      Sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan memiliki kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah.

2.      Berbagai pungutan dharibah tidak dipungut atas dasar besarnya input/sumberdaya yang digunakan, melainakn atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul.

3.      Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat secara paksa, meskipun kepada orang kaya. Sesulit apapun kehidupan Rasulullah Saw di Madinah, beliau tidak pernah menentukan tinggnya tarif pajak.

4.      Islam memperlakukan kaum Muslimin dan non-Muslimin secara adil, pungutan dikenakan proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar.

5.      Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan negara menjadi empat jenis:

a.       Zakat, yaitu pungutan wajib atas Muslim yang ketentuannya sudah diatur oleh Allah. Pemerintah tidak memiliki hak untuk mengubah hal itu semua, tetapi dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang pada nash-nash umum yang ada dan pemahaman terhadap realita modern.

b.      Asset dan kekayaan non keuangan, yang diperoleh dari ghanimah, fai’ ataupun amwal fadhila. Asset ini memungkinkan negara untuk memiliki perusahaan dan menciptakan penerimaan sendiri dengan mengelola sumber daya yang dikuasakan kepada pemerintah.

c.       Dharibah, yaitu pungutan wajib yang nilainya ditentukan oleh pemerintah. Dharibah meliputi jizyah, kharaj, ushr, nawaib dan sebagainya.

d.      Penerimaan publik sukarela, yaitu yang objek dan besarannya diserahkan kepada pembayar. Jenis penerimaan ini meliputi infaq, sedekah, wakaf, hadiah, utang dan sebagainya. Penerimaan jenis ini dimanfaatkan untuk melengkapi atas kekurangan zakat dan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah.

Dalam hal pengenaan pungutan wajib (dharibah) terdapat beberapa ketentuan yang perlu diperhatikan, yaitu:[12]

1.      Dharibah bisa dikenakan untuk berbagai tujuan yaitu:

a.       Untuk menghindari terjadinya pengangguran sumber daya (underutilized resource).

b.      Mewujudkan perdagangan yang fair, adil dan efisien.

2.      Dharibah dikenakan berdasarkan asas:

a.       Kebutuhan keuangan negara tidak bersifat permanen.

b.      Keadilan dalam makna pembayar dharibah mendapatkan manfaat dari jasa yang diberikan pemerintah serta proporsional sesuai dengan kemampuan material individu.

3.      Besarnya tarif dharibah mempertimbangkan beberapa aspek:

a.       Volume dan nilai produksi, bukan nilai input atau modal yang digunakan.

b.      Peran SDM dalam pengelolaan sumberdaya. Semakin tinggi peran SDM, semakin rendah tarif dharibah yang dikenakan.

4.      Berprinsip tidak menghambat perkembangan usaha.

5.      Berprinsip kemampuan membayar.

Secara umum terdapat kaidah-kaidah Syar’iyah yang membatasi kebijakan pendapatan Negara. Khaff (1999) berpendapat sedikitnya ada tiga prosedur yang dilakukan pemerintah Islam modern dalam kebijakan pendapatan fiskalnya dengan asumsi bahwa pemerintah tersebut sepakat dengan adanya pungutan pajak (terlepas dari ikhtilaf ulama mengenai pajak), antara lain:[13]

1.      Kaidah Syar’iyyah yang berkaitan dengan kebijakan pungutan zakat.

Pemerintah tidak berhak untuk mengubah ketentuan zakat sebagaimana yang telah ditentukan oleh ajaran Islam. Akan tetapi pemerintah dapat mengadakan perubahan dalam struktur harta yang wajib dizakati dengan berpegang teguh pada nash-nash.

2.      Kadah-kaidah Syar’iyyah yang berhubungan dengan hasil pendapatan yang berasal dari aset pemerintah.

Pendapatan dari aset pemerintah yang umum berupa investasi asset pemerintah yang dikelola baik oleh pemerintah atau masyarakat. Pendapatan dari aset masyarakat menurut kaidahnya bahwa manusia berserikat dalam memiliki air, api dan garam. Kaidah ini dalam konteks modern adalah sarana-sarana umum yang dibutuhkan oleh masyarakat umum. Dengan demikian kaidah yang digunakan dalam hal ini adalah kaidah tentang maslahah.

3.      Kaidah-kaidah Syar’iyyah yang berkaitan dengan hasil pendapatan dari pajak.

Pada dasarnya Islam melarang pemungutan secara paksa harta masyarakat Muslim. Pajak dalam ekonomi modern merupakan sektor pendapatan terpenting dan terbesar dengan alasan pajak dialokasikan pada public goods dan berfungsi sebagai redistribusi, penstabilan, pendorong pertumbuhan ekonomi. Seperti yang diungkapkan oleh Muhammad Baqir Ash-Shadr, bahwa pajak merupakan kewajiban fiskal yang tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, namun dimaksudkan untuk menanggulangi kemiskinan dan meningkatkan standar hidup kaum miskin untuk merealisasikan keseimbangan sosial seperti yang dicita-citakan oleh Islam.[14]

            Menurut Afzalur rahman, besarnya pajak yang dikenakan akan disesuaikan dengan kemampuan bagi setiap pembayar pajak dan tidak akan dipungut melebihi kemampuan orang yang akan membayarnya. Apabila dengan pajak tidak cukup memnuhi kebutuhan golongan miskin, maka negara berhak untuk mengambil kelebihan harta dari golongan kaya.[15] Jika pajak ini diijinkan, maka kaidah yang berlaku adalah berdasarkan pada prinsip ‘adalah dan dharurah, yakni bagi orang yang mampu dan untuk pembiayaan yang benar-benar diperlukan dan pemerintah tidak memiliki sektor pemasukan lain.

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

IV.      Prinsip Pengeluaran Keuangan Publik Islam

Dalam pengeluaran keuangan public Islam yang berkonteks pada kesejahteraan publik (mashlahah), seperti diisyaratkan Syatibi, ada kriteria lain bagi pembelanjaan publik, yaitu tujuan syari’ah yang harus dilindungi untuk meningkatkan kesejahteraan (mashlahah) masyarakat. Jika ditipologikan, kepentingan publik ini ada tiga kategori, yaitu primer (dharuriyat), sekunder (hajiyat) dan anjuran (tahsiniyat). Sedangkan tujuan-tujuan syari’ah yang harus dilindungi oleh pemerintah mencakup pemeliharaan agama (din), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Filsafat ekonomi Syathibi ini mengisyaratkan bahwa keuangan publik dikelola dalam bentuk pengeluaran pemerintah untuk melindungi tujuan tersebut.[16]

Islam menekankan dalam pencapaian kesejahteraan yang bersumber pada keuangan publik harus dikelola secara optimal, demi kebutuhan dan kemakmuran generasi yang berkesinambungan, meningkatkan kemaslahatan umat serta tidak boleh berlebihan (extravaganza). Kebijakan Negara dalam pencapaian segala bentuk tujuan kesejahteraan publik ataupun non- publik semuanya harus berjalan secara komprehensif.

Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik Islam semasa Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin serta kaidah fiqh muamalah, pada hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasian dana publik adalah peningkatan mashlahat tertinggi. Sebagaimana dalam perekonomian Khalifah Umar yang dikenal sebagai perekonomian sosial, telah berani melakukan distribusi/alokasi pendapatan yang diperoleh, dimana alokasi dana disesuaikan dengan jenis pemasukan. Berikut ini sumber-sumber pengeluaran negara pada masa Rosulullah SAW dan empat Khalifahnya.

Sumber-sumber Pengeluaran Negara Primer dan Sekunder yang Berhubungan dengan Kemasyarakatan Pada Zaman Rasulullah SAW dan Empat Khalifah.[17]

Premier

Sekunder

1.      Biaya untuk pertahanan seperti persenjataan, unta dan persediaan.

2.      Penyaluran zakat dan ushr kepada yang berhak menerimanya menurut ketentuan al-Qur’an termasuk para pemungut zakat.

3.      Pembayaran gaji untuk wali, qadi, guru, imam, muadzin, dan pejabat negara lainnya.

4.      Pembayaran untuk upah para sukarelawan.

5.      Pembayaran utang Negara

6.      Bantuan untuk musafir.

1.      Bantuan untuk orang yang belajar agama di Madinah.

2.      Penghargaan untuk penyambutan tamu para delegasi keagamaan.

3.      Penghargaam untuk penyambutan para utusan suku dan Negara serta biaya perjalanan mereka.

4.      Hadiah untuk pemerintah negara lain.

5.      Pembayaran untuk pembebasan kaum Muslim yang menjadi budak.

6.      Pembayaran denda atas mereka yang terbunuh secara tidak sengaja oleh pasukan kaum muslimin.

7.      Pembayaran utang orang yang meninggal dalam keadaan miskin.

8.      Pembayaran tunjangan untuk orang miskin.

9.      Tunjangan untuk sanak saudara Rasulullah SAW (80 butir kurma dan 80 butir gandum untuk setiap istrinya.

10.  Persediaan darurat.

 

Secara umum, belanja negara dapat dikategorikan menjadi empat:[18]

1.      Pemberdayaan fakir-miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya diambil dari zakat dan ushr.

2.      Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambilkan dari kharaj, fai’, jizyah dan ushr.

3.      Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dana ini pada umumnya diambilkan dari dana lainnya, khums, dan sedekah.

4.      Biaya lainnya, seperti biaya emergency, pengurusan anak telantar dan sebagainya. Dana ini pada umumnya diambilkan dari waqaf, utang publik dan sebagainya.

Dengan empat jenis alokasi keuangan publik di atas, besaran dan skala prioritas alokasi tidak selalu sama di setiap negara ataupun waktu. Secara garis besar prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik adalah:[19]

1.      Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil atau pemerintah. Amil hanya bertugas menjalankan manajemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusian yang sesuai dengan ajaran Islam.

2.      Penerimaan selain zakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip pokok, sebagaimana yang dikemukakan oleh Chapra (1995: 288-289),[20] juga dikutip oleh Adiwarman Azwar Karim dan Mustafa Edwin Nasution, antara lain:

a.       Kebijakan dan belanja negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal mungkin maslahah.

b.      Menghindari masyaqqoh (kesulitan) dan madharat harus didahulukan daripada melakukan perbaikan.

c.       Madharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madharat dalam skala yang lebih luas.

d.      Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.

e.       Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan penderitaan atau kerugian yang ditanggung.

f.        Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syari’at Islam, maka belanja tersebut harus diwujudkan (kaidah ma la yatimmu al wajibu illa bihi fahuwa wajibun).

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwasannya efisiensi dan efektifitas merupakan landasan pokok dalam prinsip pengeluaran pemerintah yang dalam ajaran Islam dipandu oleh kaidah-kaidah Syar’iyyah dan skala prioritas sehingga tujuan pembelanjaan negara dapat tercapai. Di antara tujuan pembelanjaan negara dalam Islam antara lain:[21]

1.      Pengeluaran demi memenuhi kepentingan masyarakat.

2.      Pengeluaran sebagai alat redistribusi kekayaan.

3.      Pengeluaran yang mengarah pada semakin bertambahnya permintaan efektif.

4.      Pengeluaran yang berkaitan dengan investasi dan produksi.

5.      Pengeluaran yang bertujuan menekan tingkat inflasi dengan kebijakan intervensi pasar.

Selain itu negara memiliki wewenang dalam roda perekonomian dalam hal-hal tertentu yang tidak dapat diserahkan pada sektor-sektor private untuk menjalankannya seperti membangun fasilitas umum dan memenuhi kebutuhan dasar bagi masyarakat.[22] Kebijakan belanja pemerintah dalam sistem ekonomi Islam dapat dibagi menjadi tiga bagian antara lain:[23]

1.      Belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin.

2.      Belanja umum yang dapat dilakukan pemerintah apabila sumber dananya tersedia.

3.      Belanja umum yang berkaitan dengan proyek yang disepakati oleh masyarakat berikut sistem pendanaannya.

Adapun kadiah-kaidah Syar’iyyah yang berhubungan dengan belanja kebutuhan operasional pemerintah yang rutin adalah mengacu pada kaidah-kaidah yang telah disebutkan di atas. Secara rinci pembelanjaan negara harus didasarkan pada:[24]

1.      Kebijakan balanja rutin harus didasarkan pada kemaslahatan umum dan tidak boleh hanya disandarkan pada kemaslahatan individu atau kelompok semata.

2.      Kaidah atau prinsip efisiensi dalam belanja rutin yaitu mendapatkan sebanyak mungkin manfaat dengan biaya yang semurah-murahnya. Kaidah ini akan membawa pemerintah jauh dari sifat mubadzir dan kikir di samping alokasinya pada sektor-sektor yang tidak bertentangan dengan Syari’ah.

3.      Tidak berpihak pada kelompok kaya dalam pembelanjaan, walaupun dibolehkan berpihak pada kelompok miskin.

4.      Prinsip komitmen dengan aturan Syari’ah, maka alokasi belanja negara hanya boleh pada hal-hal yang mubah dan menjauhi yang haram.

5.      Prinsip komitmen dengan skala prioritas Syari’ah , dimulai dai yang wajib, sunnah, mubah atau dharurah, hajiyyat dan kamaliyah.

Menurut Abdurrahman Al-Maliki, kebijakan fiskal dalam Islam tidak terlepas dari kendali politik ekonomi (assiyasatul iqtishodi) yang bertujuan untuk menjamin pemenuhan kebutuhan-kebutuhan primer per individu secara menyeluruh, dan membantu tiap-tiap individu di antara mereka dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuannya. Jaminan pemenuhan kebutuhan primer meliputi; pertama pemenuhan kebutuhan primer bagi tiap-tiap individu seperti ladang, pangan, papan. Kedua, jaminan kebutuhan primer bagi rakyat secara keseluruhan meliputi keamanan, pendidikan dan kesehatan.

Dengan demikian dapat dilihat bahwa Islam memandang kesejahteraan social dan individu sebagai dua hal yang saling melengkapi, bukan kompetitif dan antagonistik. Karena itu, Islam memandang bahwasannya kebaikan seseorang seseorang atau individu sebagai kebaikan masyarakat dan sebaliknya. Islam tidak memisahkan perseorangan dengan masyarakatnya, atau memandang kesejahteraannya bertentangan dengan kepentingan umum. Karena ini merupakan kewajiban bagi pemerintah untuk menyediakan dan membagikan sarana kebutuhan antar warga secara merata menurut kebutuhannya. Sebagai contoh pada zaman Rasulullah SAW, Beliau memberi satu bagian kepada seorang bujangan dan dua bagian kepada pria yang telah menikah berdasarkan prinsip ini.[25]

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM

V.      Analisis Pengelolaan Keuangan Publik Islam di Indonesia

Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan Negara Indonesia, maka sistem pengelolaan keuangan publik terkhusus keuangan publik Islam yang baik jauh lebih penting guna menjamin mutu pengeluaran untuk kesejahtraan masyarakat serta mengurangi risiko korupsi. Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan pengeluaran tersebut mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahtraan dan pertumbuhan ekonomi.[26]

Pergantian pemerintahan di Indonesia dari Orde baru menjadi Orde reformasi pada tahun 1998 menuntut pelaksana otonomi daerah yang memberikan  kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada daerah secara  proposional. Setiap tahun daerah/kota menyusun berbagai perancangan yang estimasinya adalah terciptanya kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran secara merata. Terwujudnya hal tersebut tidak dapat terlepas dari adanya keseriusan pemerintah daerah dalam mengeluarkan kebijakan dan peraturan daerah terutama dalam bidang ekonomi daerah yang termasuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Konsep APDB modern sebenarnya bisa mengadopsi dari system keuangan publik Islam yang biasa disebut Baitul Maal yang menerapkan keseimbangan antara yang diterima dengan yang dikeluarkan. Dalam keuangan publik Islam, Rasulullah saw dan para khalifah pada zaman kejayaan Islam selalu berusaha menerapkan kebijakan-kebijakan yang tujuan akhirnya adalah kemaslahatan umat dan menggali semua potensi yang ada pada daerah tersebut untuk dijadikan sumber pendapatan.[27]

Menurut hasil penelitian Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Ford Foundation, potensi dana ZIS (Zakat, Infak, Sedekah) dan wakaf  umat Islam Indonesia yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat mencapai Rp 19,3 triliun, dalam bentuk barang Rp 5,1 triliun dan uang Rp 14,2 triliun. Jumlah dana sebesar itu, sepertiganya masih berasal dari zakat fitrah (Rp 6,2 triliun) dan sisanya zakat harta Rp 13,1 triliun.[28]

Dalam analisis Faridi, keuangan publik tidak dapat dilepaskan dari kenyataan peran negara dan pemerintah dalam setiap pembahasan kebijakan publik. Sedangkan dalam teori konvensional lebih memfokuskan pada gagasan tujuan sosial berdasarkan individualisme dan kepentingan pribadi, sedangkan keuangan publik Islam memiliki pendekatan berdasarkan pandangan atas keseluruhan tujuan hidup setiap Muslim dan urgensi peran negara dalam masyarakat Islam.[29]

Menurut Indayani dalam penelitiannya yang berjudul "Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia ditinjau dari Perspektif Ekonomi Islam", bahwa terdapat beberapa hal dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia yang sesuai dengan prinsip ekonomi Islam, seperti prinsip dasar penarikan pajak, pembentukan BUMN sampai belanja negara terkait dengan kebutuhan masyarakat dalam hal pendidikan dan kesehatan, serta infrastruktur. Walaupun belum semuanya sesuai, namun hal tersebut lebih disebabkan oleh moral hazard pengelola di lapangan yang menyebabkan penyimpangan dalam pengelolaan keuangan publik di Indonesia.[30]

Manurut Timorita, ada beberapa tantangan Lembaga Keuangan Publik Islam untuk kesejahteraan di Indonesia.

1.    Organisasi-organisasi pengelola zakat (BAZIS dan LAZIS) di Indonesia belum menunjukkan akuntabilitas dan transparansi yang memadai.

2.    Kedua, rekonseptualisasi fikih Lembaga Keuangan Publik Islam mauoun filantropi yang moderen, misalnya mengenai pemahaman konseptual asnaf delapan, cash wakaf (wakaf tunai) atau wakaf produktif. Kemudian, diandaikan adanya satu pendekatan pembangunan yang lebih menitikberatkan pada investasi di bidang infrastruktur untuk menuai keuntungan jangka panjang ketimbang sekedar mengatasi masalah-masalah jangka pendek.[31]

Dalam Timorita (2008)[32], solusi atas pemberdayaan Lembaga Keuangan Publik Islam sebagai sebuah sistem kesejahteraan di Indonesia adalah; kerja-kerja lembaga tersebut untuk kedepan, idealnya harus mengeksplorasi modus-modus yang kreatif dalam memobilisasi, mengorganisasi, dan memfasilitasi aktivitas Lembaga Keuangan Publik Islam di Indonesia. Hal ini berguna untuk meningkatkan akuntabilitas publik dan mendorong inisitiaf-inisiatif kesejahteraan masyarakat. Dalam kerangka ini, dibutuhkan suatu sistem kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia yang di dalamnya terdapat satu Lembaga Keuangan Publik Islam yang sifatnya nasional dan bekerja secara transparan dan akuntabel. Tugas lembaga tersebut mengkoordinir program, dana ZIS dan wakaf yang selama ini belum tergali secara maksimal karena masih bercerai berai di lembaga-lembaga ZIS dan wakaf yang sudah ada di Indonesia. Hal ini dapat dipahami, kalau ZIS dan wakaf dikelola secara kelembagaan dengan baik, bukan tidak mungkin bisa mengatasi berbagai persoalan bangsa.[33] 

VI.      Penutup

            Dari uraian terkait dengan prinsip keuangan publik Islam, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: pertama, mengenai prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik Islam yaitu: sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan memiliki kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah; tidak dipungut atas dasar besarnya input sumber daya yang digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul; Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat secara paksa meskipun kepada orang kaya; Islam memperlakukan kaum muslimin dan non muslimin secara adil dan pungutan dikenakan proporsional terhadap manfaat yang diterima pembayar. Kedua, secara garis besar prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran dalam keuangan publik Islam antara lain: alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil atau pemerintah. Amil hanya bertugas menjalankan manajemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusian yang sesuai dengan ajaran Islam. Penerimaan selain zakat dialokasikan untuk mewujudkan semaksimal mungkin maslahah, menghindari masyaqqoh (kesulitan) dan madharat harus didahulukan daripada melakukan perbaikan, madharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari madharat dalam skala yang lebih luas.

            Dalam pengelolaan keuangan publik Islam semestinya dilakukan secara transparan dan akuntabel, khususnya dalam penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungjawabannya. Di era sekarang ini, pengelola keuangan publik Islam diharap mampu memanfaatkan media sosial atau website secara maksimal untuk memberikan informasi langsung ke masyarakat, sehingga transparansi bukan masalah sulit lagi untuk dilakukan. Pengelolaan keuangan publik Islam yang berlandaskan prinsip – prinsip syariah, semestinya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat karena merupakan pedoman dari Allah. Maka dari itu, harus ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah dalam mengelola keuangan publik Islam. Pengelolaan anggaran dalam keuangan publik Islam bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat dengan memperhatikan kepentingan umum (maslahah), serta pengelolaan pendapatan negara sesuai dengan peraturan yang berlaku dan tidak melakukan penyimpangan dalam memperoleh pendapatan dan pengeluarannya kepada masyarakat.

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

Daftar Pustaka

As-Shadr, Muhammad Baqir. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, terj. Yudi (Jakarta: Zahra, 2008).

Faridi, Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Journal Res. Islamic Economic, Vol. I, No. 1 (1983/1403) : 15-30.

Jaelani, Aan. Management Of Public Finance In Indonesia: Review of Islamic Public Finance. MPRA Paper No. 69525, Malang. 2015

Chapra, M. Umer. The Future Of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000).

Huda, Nurul., at. al, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah. (Jakarta: Kencana), 2012.

Indayani, Haniyah. Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia ditinjau dari Perspektif Ekonomi Islam. (Jakarta), 2010.

Karim, Adiwarman Azwar. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006).

Karim, Adiwarman Azwar. Bunga Rampai: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, terj. TIM International Institute of Islamic Thought (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2001).

Karim, Adiwarman Azwar. Ekonomi Makro Islami (Jakarta: Rajawali Press, 2010).

Musgrave, Richard A. The Theory of Public Finance. (New York: McGraw-Hill, 1959).

Magister Studi Islam UII. Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2010).

Ningrum, Ririn Tri Puspita. Refleksi Prinsip - prinsip Keuangan Publik Islam Sebagai Kerangka Perumusan Kebijakan Fiskal Negara. (Madiun: STAINU. Tth)

Nasution, Mustafa Edwin., et.al. Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006).

Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta, Ekonomi Islam. (Jakarta: Rajawali Press, 2011).

Rahman, Afzalur. Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, terj. Soeroyo Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995).

Yulianti, Rahmani Timorita. Peran Lembaga Keuangan Publik Islam dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Millah Jurnal Studi Agama Vol. VIII, No.1 Agustus 2008.

Riani, Fitrasari. Analisis Keuangan Publik Islam Terhadap Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung. 2015 http://repository.unisba.ac.id/handle/123456789/631 diakses pada 7 November 2018.

Rossen, Harvey S. & Gayer, Ted. Public Finance. (New York: McGraw-Hill, 2008).

Rossen, Harvey S. Public Finance: Essay for the Encyclopedia of Public Choice (Princeton University: CEPS Working Paper No. 80, Maret 2002).


[1] Mahasiswa Magister Studi Islam UII

[2] Ririn Tri Puspita Ningrum, Refleksi Prinsip - prinsip Keuangan Publik Islam Sebagai Kerangka Perumusan Kebijakan Fiskal Negara. Madiun: STAINU. tth. Hal. 87

[3] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 27.

[4] Ibid., hal. 38.

[5] Richard A. Musgrave, The Theory of Public Finance (New York: McGraw-Hill), 1959, hal. 7.

[6] Lihat Harvey S. Rossen & Ted Gayer, Public Finance (New York: McGraw-Hill), 2008), hal. 2.

[7] Harvey S. Rossen, Public Finance: Essay for the Encyclopedia of Public Choice (Princeton University: CEPS Working Paper No. 80, Maret 2002), hal. 1.

[8] Nurul Huda, at. al, Keuangan Publik Islam Pendekatan Teori dan Sejarah. (Jakarta: Kencana), 2012. Hal. 6

[9] Adiwarman Azwar Karim, Bunga Rampai: Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, terj. TIM International Institute of Islamic Thought (Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar, 2001), hal. 28.

[10] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI) UII Yogyakarta, Ekonomi Islam (Jakarta: Rajawali Press, 2011), hal. 506-507.

[11] Ibid., hal. 508.

[12] Ibid., hal. 509.

[13] Mustafa Edwin Nasution (et.al), Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 222-223.

[14] Muhammad Baqir As-Shadr, Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna, terj. Yudi (Jakarta: Zahra, 2008), hal. 474.

[15] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid I, terj. Soeroyo Nastangin (Jakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1995), hal. 168.

[16] Ibid.,. Hal. 22

[17] Adiwarman A. Karim, Ekonomi Makro Islami (Jakarta: Rajawali Press, 2010), hal. 276.

[18] P3EI UII Yogyakarta, Ekonomi Islam, hal. 509.

[19] Ibid., hal. 510.

[20] M. Umer Chapra, The Future Of Economics: An Islamic Perspective (Leicester: The Islamic Foundation, 2000), hal. 337.

[21] Nasution, Pengenalan Eksklusif: Ekonomi Islam, hal. 224.

[22] Magister Studi Islam UII, Menjawab Keraguan Berekonomi Syari’ah (Yogyakarta: Safiria Insani Press, 2010), hal. 78.

[23] Nasution, Ibid., hal. 254.

[24] Ibid., hal. 224-225.

[25] Rahman, Ibid,. hal. 168.

[26] Aan Jaelani, Management Of Public Finance In Indonesia: Review of Islamic Public Finance MPRA Paper No. 69525, Malang. 2015, hal. 12

[27] Fitrasari, Riani. Analisis Keuangan Publik Islam Terhadap Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah (APBD) Kota Bandung. 2015 http://repository.unisba.ac.id/handle/123456789/631 diakses pada 7 November 2018.

 

[28] Azyumardi Azra dalam Rahmani T. Y., Peran Lembaga Keuangan Publik Islam dalam Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat. Millah Jurnal Studi Agama Vol. VIII, No.1 Agustus 2008.

[29] Faridi, Theory of Fiscal Policy in an Islamic State, Journal Res. Islamic Economic, Vol. I, No. 1 (1983/1403) : 15-30. Bandingkan dengan Harvey S. Rossen, Public Finance (New York: McGraw Hill, 2008).

[30] Haniyah Indayani, Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia ditinjau dari Perspektif Ekonomi Islam. (Jakarta) 2010

[31] Rahmani Timorita Yulianti, Peran Keuangan Publik Islam…. Millah Jurnal Studi Agama Vol. VIII, No.1 Agustus 2008.

[32]Rahmani,. Ibid.

[33] Ibid.

Comments

Popular Posts