Harta (al-Maal) dalam Perspektif al-Qur`an

                                              Oleh: Krisnanda[1]

Abstrak:

Tulisan ini mencoba untuk memaparkan penjelasan tentang harta dalam perpektif al-Qur`an yang menjadi salah satu titik penting dalam kehidupan bermasyarakat. Bagaimana al-Qur`an menjelaskan apa yang dimaksud dengan harta?, seberapa penting harta bagi kehidupan manusia?

. Metodologi tafsir yang digunakan adalah tafsir Ijmaly dengan mencari makna harta berdasarkan kata kunci. Hasil dari tulisan ini menjelaskan bahwa harta yang ada di dunia ini semata – mata hanya milik Allah. Allah memberikan harta kepada manusia untuk dimanfaatkan sebagai titipan yang harus dipertanggung jawabkan dan dari harta yang dimiliki terdapat hak orang lain, sehingga harta tersebut diberikan kepada yang berhak, yakni dengan sodaqah, zakat, dan lainnya.

Kata kunci; Harta, Tafsir Ijmaly, Kesejahteraan


I.                   Pendahuluan

Al-Qur`an adalah kitab suci umat Muslim dan merupakan wahyu Allah subhanahu wa ta’ala (Swt) yang diturunkan kepada nabi Muhammad shalallahu ‘slaihi sa salam (Saw). Al-Qur’an merupakan sumber kebenaran yang di dalamnya terkandung berbagai macam kisah, peraturan, hinggal hal lain yang berkenaan dengan kehidupan makhluk.

Dalam kehidupan ini, masyarakat muslim telah memiliki pedoman terkait muamalah yang termuat dalam al-Qur`an. Dalam muamalah tersebut yang menjadi hal penting adalah tentang harta, sehingga harta menjadi sesuatu yang urgent dalam kehidupan manusia. Harta merupakan suatu yang diperlukan oleh manusia, karena harta merupakan penopang bagi kehidupan masyarakat di dunia. Selain itu, harta juga menjadi perantara untuk menolong dalam kesejahteraan hidup di dunia serta menjadi beban bagi para pemiliknya di akhirat kelak. Tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak membutuhkan harta. Bahkan seseorang rela banting tulang melakukan kegiatan yang berat hanya untuk mendapatkan harta, serta tidak jarang harta menjadi bahan perebutan yang tidak sedikit berujung kepada pertengkaran.

Tulisan ini akan berfokus pada ayat-ayat tentang harta dengan penjelasan tafsir al-Qur`an. Pilihan atas masalah harta didasarkan pada pentingnya kemakmuran materil suatu individu atau keluarga yang merupakan salah satu syarat penting dalam mewujudkan masyarakat yang sejahterah. Harta termasuk masalah krusial yang menentukan kesejahteraan suatu masyarakat dalam hal ekonomi. Tidak heran masyarakat berlomba – lomba dalam memenuhi kebutuhan materil yang sering kita sebut harta demi kehidupan yang lebih baik.

Baca Juga: KONSEP RASIONALITI DALAM EKONOMI KONVENSIONAL DAN ISLAMI

II.                Metodologi

Tulisan ini menggunakan sebuah metode tafsir Ijmaly di mana tafsir ini memberikan penjelasan yang mudah dan baik bagi pemahaman terhadap sesuatu kandungan dalam al-Qur`an. Tafsir Ijmaly ini dimaksud untuk mengetahui lebih dalam terkait topik tertentu melalui beberapa tahap: pertama, mengklarifikasi ayat-ayat yang terkait dengan harta yang menjadi bahasan pokok berdasarkan pada kata kunci. Kedua, mengklompokan ayat – ayat tentang harta berdasarkan kata kunci. Ketiga, menjelaskan ayat-ayat dengan tasir Ijmaly.

III.             Definisi Harta

Menurut Yunus, 1990 bahwa harta dalam bahasa Arab disebut juga dengan lafaz مال ج اموال (maal jamaknya amwaal) yang berarti cenderung atau senang.[2] Harta (al-mal) menurut kamus Al-muhith tulisan Alfairuz Abadi, adalah ma malakatahu min kulli syai (segala sesuatu yang engkau punyai).[3] Menurut Wahbah al-Zuhaily, 1989 mengemukakan bahwa secara etimologi (bahasa), harta adalah:

كلّ ما يقتضى ويحوزه الاءنسان با لفعل سواءٌ أكان عينا أو منفعة كذهب أو فضّة أو حيوان أو نبات أو منافع الشّيء كالرّكوب اللّبس والسّكنى.

Yang artinya: “Sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh manusia, baik berupa benda yang tampak seperti emas, perak, hewan, tumbuh-tumbuhan maupun (yang tidak tampak), yakni manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat tinggal”.[4]

Menurut terminologi (istilah), Fuqaha` mengemukakan dua definisi, yaitu:

a. Ulama Hanafiyah:

  المال كلّ ما يمكن حيازته اخرازه وينتفع و به عادة

Yang artinya: “Harta adalah segala sesuatu yang dapat diambil, disimpan, dan dapat

dimanfaatkan”.

Berdasarkan definisi tersebut, menurut ulama Hanafiyah dapat dimengerti bahwa yang termasuk harta adalah sesuatu yang dapat dikuasai, dipelihara, dan dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini dimaksud jika sesuatu yang tidak dapat dimiliki dan dimanfaatkan itu bukan termasuk ke dalam kategori harta. Contohnya sungai, jalan raya, dan lain – lain.

Baca Juga: KONSEP DASAR EKONOMI ISLAM 

b. Jumhur Ulama (selain ulama Hanafiyah):

كلّ ماله قيمة يلزم متلفه بضمانه

Yang artinya: “Segala sesuatu yang bernilai dan dapat dikenakanganti rugi bagi orang yang merusak atau melenyapkannya” .[5]

المال هو كل عين ذات قيمة مادية بين الناس

Yang artinya: “Harta adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai materi di kalangan masyarakat”.[6]

Berdasarkan definisi tersebut, menurut jumhur ulama bahwa harta merupakan segala sesuatu yang memiliki nilai, dimana lebih fokus kepada manfaatnya suatu benda, bukan zatnya (benda). Dari definisi ini dapat dilihat keumuman makna, dimana setiap sesuatu yang memiliki nilai dalam kalangan masyarakat itu merupakan kategori harta. Contohnya seperti lahan pertanian, uang, perhiasan, kendaraan, rumah, perhiasan, termasuk juga pakaian, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil karya cipta dan lain-lain.

Yusuf Qardhawi menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan harta (al-amwaal) yaitu merupakan bentuk jamak dari kata maal, dan arti maal bagi orang Arab dengan bahasanya al-Qur’an diturunkan, adalah segala sesuatu yang diinginkan sekali oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya.[7] Dari dasar ini lah, maka dapat disimpulkan bahwa segala yang diinginkan untuk disimpan dan dimiliki manusia termasuk dalam kategori harta.

Jika merujuk pada QS. al-Jumu`ah (62): 10,  اللَّه وابتغوا من فضل.... al-Qur’an menjelaskan bahwa harta disebut dengan fadhlullah (kelebihan/rezeki atau anugerah Allah). Dengan demikian apapun kelebihan manusia yang bersumber dari Allah, maka ini termasuk harta. Lebih spesifik lagi bahwa apapun yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan di dunia, merupakan harta baik berupa uang, tanah, kendaraan, rumah, perabotan rumah tangga, perhiasan, hasil perkebunan, hasil perikanan, pakaian dan lain-lain.

Dalam hal fungsinya, yang mana harta merupakan sesuatu yang penting bagi kehidupan masyarakat dan tidak dapat dipisahkan dari harta.  Ada banyak fungsi harta dalam kehidupan manusia, diantaranya harta dapat menjadi bekal untuk hidup bahagian dan sejahtera. Dalam hal ini tidak heran jika manusia selalu berusaha untuk memiliki dan menguasai harta dengan berbagai cara, baik yang sesuai dengan syara’ atau sebaliknya, tergantung pilihan mana yang dipilih manusia tersebut. Tentunya tak lepas dari itu, cara yang dipilih manusia akan berpengaruh pada fungsi harta. Maka penting bagi manusia untuk memilih cara yang baik dalam mencari harta.

Dalam hal ini fungsi harta yang sesuai dengan syara’, menurut Hendi Suhendi, 1997 antara lain adalah:[8]

a.       Kesempurnaan ibadah mahdhah,

b.      Memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah,

c.       Meneruskan kehidupan, agar tidak meninggalkan generasi lemah,

d.      Menyelaraskan antara kehidupan dunia dan akhirat,

e.       Bekal mencari dan mengembangkan ilmu, dan

f.        Keharmonisan hidup bernegara dan bermasyarakat.

Pada dasarnya segala apa yang ada di bumi dapat digunakan oleh manusia, kecuali jika ada dalil yang melarangnya, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Baqarah (2): هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا yang artinya “Dialah (Allah) yang menciptakan segala di bumi untuk kamu”. Dalam hal ini berarti setiap yang ada di bumi Dengan demikian harta yang dimiliki oleh manusia berfungsi untuk kesejahteraan manusia itu sendiri. Dengan kata lain manusia diberikan tugas untuk mengatur, memanfaatkan dan memberdayakan harta yang dimilikinya dan tentunya harus sesuai dengan aturan yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.[9]

IV.             Ayat-ayat tentang Harta

Dalam al-Qur`an, harta dapat diambil dari kata maal di mana kata tersebut menurut kitab Mu’jam al-Mufahraz li al-fadz al-Qur’an al-Karim terdapat dalam al-Qur`an 82 kali yang tersebar oleh berbagai macam ayat yang diantaranya 23 kali yang berbentuk tunggal (mufrad), dan sebanyak 79 kali yang berbentuk jamak dengan kata amwaal.[10] Dilihat berdasarkan perhitungan Quraish Shihab terdapat 77 kali dalam al-Qur`an diantaranya bentuk tunggal (mufrad) sebanyak 23 kali, dan bentuk jamak sebanyak 54 kali. Dari keseluruhan jumlah tersebut yaitu sebanyak 77 kali, yang terbanyak dibicarakan adalah harta dalam bentuk objek, dan ini memberi kesan bahwa seharusnya harta menjadi objek kegiatan manusia.[11]

Dalam al-Mu`jam al-Mufahras li-Alfazi al-Qur’an al-Karim,  terdapat pada beberapa ayat al-Qur’an dengan beberapa penyebutannya, sebagai berikut:[12]

a.       Lafaz مالا - المال yang terdapat pada surah, sebagai berikut:

Madaniah  (المال)

Makiah (المال)

al-Baqarah (2): 177, 247

Al-Isro (17): 34

Al-An`am (6): 152

Al-Kahf (18): 46

Al-Nur (24): 33

Al-Mu`minun (23): 55

 

As-Su`aro (26): 88

 

An-Naml (27): 36

 

Al-Qolam (68): 14

 

Al-Fajr (89): 20

Madaniah (مالا)

Makiah (مالا)

 

Hud (11): 29

 

al-Kahf (18): 34, 39

 

Maryam (19): 77

 

al-Muddath-ir (73): 12

 

Al-Balad (90): 6

 

b.      Lafaz  أموالا - الاموال, yang terdapat pada surah, sebagai berikut:

Madaniah (الاموال)

Makiah (الاموال)

Al-Baqarah (2): 155, 188

Al-Isro` (17): 6, 64

An-Nisa (4): 10, 161

Ar-Rum (30): 39

At-Taubah (9): 24, 34

An-Nuh (71): 12

Al-Hadid (57): 20

 

Madaniah (أموالا)

Makiah (أموالا)

At-Taubah (9): 69

Yunus (10): 88

 

Saba` (34): 35

 

c.       Lafaz , ماله -ماليه - أموالنا yang terdapat pada surah, sebagai berikut:

Madaniah (ماليه)

Makiah(ماليه)

 

Al-Haqah (69): 28

Madaniah (أموالنا)

Makiah(أموالنا)

Al-Fath (48): 11

Hud (11): 87

Madaniah (ماله)

Makiah (ماله)

Al-Baqarah (2): 264

Nuh (71): 21

 

Al-Lail (92): 11, 18

 

Al-Humazah (104): 3

 

Al-Masad (111): 2

 

d.      Lafaz , أموالكم - أموالهم yang terdapat pada surah, sebagai berikut:

Madaniah (أموالكم)

Makiah(أموالكم)

Al-Baqarah (2): 188, 279

Saba` (34): 37

Al-Imran (3): 186

 

An-Nisa (4): 2, 5, 24, 29

 

Al-Anfal (8): 28

 

At-Taubah (9): 41

 

Muhammad (47): 36

 

As- Shof (61): 11

 

Al-Munafiqun (63): 9

 

At-Taghobun (64): 15

 

Madaniah (أموالهم)

Makiah(أموالهم)

Al-Baqarah (2): 261, 262, 265, 274

Al-Anfal (8) 36

Al-Imran (3): 80, 116

Yunus (10): 88

An-Nisa (4): 2, 2, 6, 6, 34, 38, 95, 95

Azzari`at (51): 19

Al-Anfal (8): 72

 

At-Taubah (9): 20, 44, 55, 71, 85, 88, 103, 111

 

Al-Ahzab (23): 27

 

Al-Hujarot (49): 15

 

Al-Mujadalah (58): 17

 

Al-Hasr (59): 8

 

Al-Ma`arij (70): 24

 

 

Dilihat dari bermacam lafaz pengelompokan ayat berdasarkan penyebutan harta (maal) dalam al-Qur`an, maka dalam tulisan ini hanya berfokus pada empat golongan lafaz tersebut dan tidak mengungkapkan tafsir dari keseluruhan ayat, namun hanya salah sebagian diantaranya:

Pertama: untuk lafaz المال terdapat dalam QS. Al-Baqarah (2): 177;

۞لَّيۡسَ ٱلۡبِرَّ أَن تُوَلُّواْ وُجُوهَكُمۡ قِبَلَ ٱلۡمَشۡرِقِ وَٱلۡمَغۡرِبِ وَلَٰكِنَّ ٱلۡبِرَّ مَنۡ ءَامَنَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِ وَٱلۡمَلَٰٓئِكَةِ وَٱلۡكِتَٰبِ وَٱلنَّبِيِّ‍ۧنَ وَءَاتَى ٱلۡمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِۦ ذَوِي ٱلۡقُرۡبَىٰ وَٱلۡيَتَٰمَىٰ وَٱلۡمَسَٰكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَٱلسَّآئِلِينَ وَفِي ٱلرِّقَابِ وَأَقَامَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَى ٱلزَّكَوٰةَ وَٱلۡمُوفُونَ بِعَهۡدِهِمۡ إِذَا عَٰهَدُواْۖ وَٱلصَّٰبِرِينَ فِي ٱلۡبَأۡسَآءِ وَٱلضَّرَّآءِ وَحِينَ ٱلۡبَأۡسِۗ أُوْلَٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْۖ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُتَّقُونَ ١٧٧

Yang artinya: “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa” (QS. Al-Baqarah (2): 177).[13]

Secara keseluruhan, ayat ini mencakup sendi - sendi yang agung, kaidah - kaidah yang umum, dan aqidah yang lurus. Tafsiran ayat ini adalah, ketika pertama kali Allah memerintahkan orang - orang mukmin menghadap Baitul Maqdis dan kemudia Dia mengalihkan ke Ka`bah, sebagian Ahlul Kitab dan kaum muslimin merasa keberatan. Maka Allah memberikan penjelasan mengenai hikmah penggalihan koblat tersebut, yaitu bahwa ketaatan kepada Allah, patuh pada semua perintahNya, menghadap ke mana saja yang diperintahkan, dan mengikuti apa yang telah disyari`atkan, inilah yang disebut dengan kebaikan, ketakwaan, dan keimanan yang sempurna.[14]

Pada kalimat وَآتَى الْمَالَ عَلَىٰ حُبِّهِ  yang artinya "memberikan harta yang dicintainya" di maksud, menyedekahkan hartanya padahal ia sangat mencintai dan menyayanginya. Demikian pula dinyatakan oleh Ibnu Mas`ud, Sa`id bin Jubair, dan lainnya.[15]

            Kedua lafaz : untuk lafaz أموال terdapat dalam QS. al-Tawbah (9): 24;

قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ ٢٤

            Yang artinya: “Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik.” (QS. al-Tawbah (9): 24)

            Maksud dari ayat tersebut adalah mengingatkan jangan sampai kecintaan kepada hal-hal tersebut di atas melampaui batas, sehingga mengorbankan kepentingan agama. Olehnya itu ayat ini menggunakan kata احبّ (lebih kamu cintai). Karena memang kecintaan kepada sesuatu diukur ketika seseorang dihadapkan pada dua hal atau lebih yang harus dipilih salah satunya. Dalam konteks ini, jika kenikmatan duniawi diperhadapkan dengan nilai-nilai ilahi, lalu harus dipilih salah satunya, maka cinta yang lebih besar akan terlihat saat menjatuhkan pilihan. Perlu juga ditegaskan bahwa tidak selalu kepentingan duniawi dan kenikmatannya bertentangan dengan nilai-nilai ilahi, maka tidak ada salahnya jika keduanya digabung.[16]

            Ketiga lafaz : untuk lafaz ماله  terdapat dalam dalam QS. al-Lail (92): 11 dan 18;

 وَمَا يُغۡنِي عَنۡهُ مَالُهُۥٓ إِذَا تَرَدَّىٰٓ ١١

            Yang artinya: “Dan hartanya tidak bermanfaat baginya apabila dia telah binasa”. (QS. al-Lail (92): 11)

 ٱلَّذِي يُؤۡتِي مَالَهُۥ يَتَزَكَّىٰ ١٨

            Yang artinya: “Yang menginfakkan hartanya/di jalan Allah untuk membersihkan/dirinya”. (QS. al-Lail (92): 18)

            Pada ayat tersebut, jika dikaitkan dengan ayat-ayat sebelumnya dapat dipahami sebagai perintah untuk melakukan berbagai aktivitas yang bermanfaat dan menghindari yang tidak bermanfaat, serta melakukan perbuatan baik sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Serupa dengan perintah untuk mencari rezki, yang dituntut dari kita adalah berusaha sekuat kemampuan, lalu menyerahkan hasil usaha itu kepada Allah. Sehingga ayat ini mengajarkan bahwa sesibuk apa pun kita dalam mencari harta, namun jangan lupa berbagi kepada sesama. Selain hal tersebut dapat meningkatkan kesejahtraan ekonomi, juga bernilai ibadah sebagai pembersih diri.

            Selanjutnya pada QS. al-Masad (111): 2

 مَآ أَغۡنَىٰ عَنۡهُ مَالُهُۥ وَمَا كَسَبَ ٢

            Yang artinya: “Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan”. (QS. al-Masad (111): 2)

            Pada ayat ini, terlihat kata أَغْنَى yang merupakan kata kerja masa lampau, yang dimaksud tidak bergunanya harta dan usahanya di masa datang yang mengisyaratkan kepastian atas tidak manfaatnya harta yang seolah – olah telah terjadi. Dalam al-Qur’an sendiri memang seringkali menggunakan kata kerja dalam bentuk masa lampau padahal peristiwanya belum terjadi untuk tujuan memastikan.[17]

            Keempat lafaz : untuk lafaz أموالهم terdapat dalam QS. Al-Imran: 10;

وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَآ أَمۡوَٰلُكُمۡ وَأَوۡلَٰدُكُمۡ فِتۡنَةٞ وَأَنَّ ٱللَّهَ عِندَهُۥٓ أَجۡرٌ عَظِيمٞ ٢٨

            Yang artinya: ““Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada pahala yang besar”. (QS. Al-Anfal (8): 28)

            Ayat ini memulai dengan perintah ‘ketahuilah’, redaksi tersebut bertujuan untuk menekankan kepada ummat bahwa betapa pentingnya ayat tersebut. Pada ayat ini menjelaskan bahwa harta yang dimiliki beserta anak – anak merupakan cobaan. Sehingga pada sisi ekonomi kita diminta untuk menggunakan harta sesuai dengan kebutuhan dan tidak terjrumus oleh harta tersebut.

            Sayyid Quthub, menyatakan bahwa dalam rangkaian ayat-ayat surah ini terulang sekian kali panggilan ‘ya ayyuhal ladzina amanu’. Hal ini menunjukkan harta benda dan anak-anak boleh jadi mengakibatkan seseorang tidak bangkit memenuhi panggilan itu, karena takut atau kikir, sedang kehidupan yang diserukan Rasul Saw adalah kehidupan mulia yang menuntut tanggung jawab dan pengorbanan. Karena itu al-Qur’an mengobati sifat tamak itu dengan mengingatkan bahaya daya tarik harta benda dan anak-anak. Keduanya adalah bahan ujian dan cobaan. Manusia diingatkan jangan sampai lemah menghadapi ujian ini, dan jangan sampai mengabaikan tanggungjawab, amanah dan perjanjian. Mengabaikan hal ini adalah khianat kepada Allah dan Rasul serta merupakan khianat terhadap amanat yang seharusnya dipikul oleh umat Islam. Peringatan ini disertai dengan mengingatkan bahwa di sisi Allah terdapat ganjaran yang besar, lebih besar dari pada harta benda dan anak-anak. Demikian Sayyid Quthub menghubungkan ayat ini dan ayat sebelumnya, sebagaimana yang dikutip Quraish Shihab dalam bukunya.[18]

Selanjutnya dalam QS. al-Taubah (9):103;

خُذۡ مِنۡ أَمۡوَٰلِهِمۡ صَدَقَةٗ تُطَهِّرُهُمۡ وَتُزَكِّيهِم بِهَا وَصَلِّ عَلَيۡهِمۡۖ إِنَّ صَلَوٰتَكَ سَكَنٞ لَّهُمۡۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ ١٠٣

Yang artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. al-Taubah (9):103)[19]

Selanjutnya penisbatan harta kepada mereka yaitu dengan kata أَمْوَالِهِمْ bertujuan memberi rasa tenang kepada pemilik harta. Akan tetapi tujuan penenangan itu adalah agar setiap orang giat mencari harta, karena jika seandainya apa yang dimiliki seseorang dari hasil usahanya hanya sebatas pada apa yang dibutuhkannya, maka ketika itu tidak akan lahir dorongan untuk melipatgandakan upaya guna memperoleh harta melebihi kebutuhan, dan ini pada gilirannya menjadikan mereka malas, sehingga orang yang benar-benar tidak mampu bekerja tidak akan memperoleh kebutuhan mereka. Allah mendorong manusia untuk giat bekerja, sambil menenangkan mereka bahwa hasil usaha mereka adalah milik mereka, walau melebihi kebutuhan. Selanjutnya menganjurkan siapa yang memiliki kelebihan dari kebutuhannya untuk memberi kepada yang tidak mampu bekerja. Demikian pendapat Asy-Sya’rawi, yang dikutip oleh Quraish Shihab.[20]

Lafaz وَتُزَكِّيهِمْ تُطَهِّرُهُمْ yang artinya mensucikan dan membersihkan, dapat juga dikatakan bahwa penyucian ini memiliki dimensi ganda. Yang pertama adalah sarana pembersihan jiwa dari sifat keserakahan bagi penunainya, karena ia dituntut untuk berkorban demi kepentingan orang lain. Yang kedua, zakat berfungsi sebagai penebar kasih sayang pada kaum yang tak beruntung serta penghalang tumbuhnya benih kebencian terhadap kaum kaya dari si miskin. Dengan demikian zakat dapat menciptakan ketenangan dan ketenteraman bukan hanya kepada penerimanya, tapi juga kepada pemberinya.[21]

Berdasarkan penjelasan dari ayat – ayat tersebut dipahami bahwa pada dasarnya ketika al-Qur’an menunjuk kepada al-maal dalam konteks positif maka tak jarang dalam ayat tersebut ditujukan kepada suatu kelompok dalam artian pemiliknya adalah kelompok.[22] Contohnya saja penggunaan lafaz أَمْوَالِهِمْ (harta mereka) yang berarti sebuah kelompok masyarakat. Dasar ini menunjukan bahwa harta (al-maal) ini memiliki kepentingan bagi masyarakat sosial. Dari sini lah maka dilihat bahwa harta yang dimiliki hendaknya digunakan atau didistribusikan untuk kepentingan sosial masyarakat.

V.                Distribusi Harta dan Kesejahtraan Ekonomi

Seperti yang diketahui bahwa distribusi merupakan salah satu aktivitas perekonomian manusia di samping produksi dan konsumsi. Distribusi dalam masyarakat senantiasa menjadi pembahasan hangat dalam ilmu ekonomi Islam karena pembahasan dalam distribusi ini tidak berkaitan dengan aspek ekonomi belaka, tetapi juga aspek sosial dan politik sehingga menarik perhatian bagi aliran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini.[23]

Dalam Islam salah satu ajaran terpenting yaitu adanya suatu tuntunan agar manusia berupaya menjalani hidup secara seimbang dalam artian memperhatikan kesejahteraan hidup di dunia dan keselamatan hidup di akhirat. Sebagai prasyarat kesejahteraan hidup di dunia adalah bagaimana sumber-sumber daya ekonomi dapat dimanfaatkan secara maksimal dan benar dalam kerangka Islam.[24]

Harta kekayaan adalah sesuatu yang dinilai baik, tetapi juga terdapat isyarat bahwa perolehan dan penggunaannya harus pula dengan baik. Tanpa memperhatikan hal-hal tersebut, manusia akan mengalami kesengsaraan dalam hidupnya. Karena daya tarik harta seringkali menyilaukan mata dan menggiurkan hati, maka berulang-ulang al-Qur’an mengingatkan manusia agar tidak diperbudak olehnya sehingga menjadikan seseorang lupa akan fungsinya sebagai hamba Allah dan khalifah di bumi.

Pada dasarnya ketika al-Qur’an menunjuk kepada al-maal dalam konteks positif, maka selalu dinisbahkan kepada kelompok, artinya pemiliknya adalah kelompok. Contohnya saja penggunaan lafaz أَمْوَالِهِمْ (harta mereka) yang berarti sebuah kelompok masyarakat. Dasar ini menunjukan bahwa harta (al-maal) ini memiliki kepentingan bagi masyarakat sosial. Dari sini lah maka dilihat bahwa harta yang dimiliki hendaknya digunakan atau didistribusikan untuk kepentingan sosial masyarakat.

Dalam konteks ini jika dilihat pada kata kunci harta yaitu al-maal maka dapat dianalisis bahwa terdapat dua ketentuan syari’at yang menyangkut harta tersebut, yaitu:[25]

1.      Perintah dan anjuran terhadap harta:

a.    Harta yang dimiliki diharap dapat dimanfaatkan dan berfungsi menciptakan kesejahteraan sosial.

b.    Penggunaan harta dalam bentuk penafkahan yaitu berupa infak dan sedekah.

c.    Menunaikan kewajiban zakat.

2.      Larangan-larangan terhadap harta:

a.    Adanya pelarangan pengambilan harta dengan jalan batil.

b.    Pelarangan memakan harta anak yatim secara zalim.

c.    Larangan mendistribusikan harta tidak merata.

d.    Larangan menimbun harta dan berlaku kikir.

Berdasarkan pemaparan tersebut dapat dipahami bahwasanya dalam al-Qur’an sudah tertera agar umat Islam dapat memanfaatkan harta mereka dengan baik dan benar sesuai tuntunan dalam al-Qur’an. Diantaranya al-Qur’an menganjurkan agar setiap individu/kelompok melakukan hal-hal sebagai berikut: (a) menggunakan harta dengan pemanfaatan untuk kesejahtraan diri dan masyarakat dengan cara menafkahkan harta tersebut, (b) mengembangkan harta dengan cara yang baik bukan yang batil, (c) mendistribusikan harta pada pos – pos yang telah ditentukan misal dengan membayar zakat, infaq, dan sedekah. Dalam hal ini diharap dapat menjadi jalan dalam mendistribusikan harta untuk kesejahtraan masyarakat dan meningkatkan perekonomian.

Baca Juga: Berdoalah, Cara Terbaik Agar Keinginan Tercapai

VI.             Penutup

            Islam mengatur segala aspek kehidupan baik pada aspek sosial, politik, ekonomi maupun aspek kehidupan yang paling terperinci sekalipun. Dalam mewujudkan kehidupan ekonomi yang mensejahtrakan masyarakat, maka harta harus dimanfaatkan sesuai yang dianjurkan dalam al-Qur’an.  Dalam hal ini harta menjadi salah satu kebutuhan mendasar dalam kehidupan bermasyarakat.

            Berkaitan dengan harta dalam pendekatan ekonomi, dapat disimpulkan bahwa Islam tidak melarang seorang Muslim memiliki harta. Selain karena harta dapat menjadi salah satu sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, harta juga dapat digunakan untuk kemaslahatan dan meningkatkan produktivitas ekonomi suatu individu/kelompok.

            Dalam al-Qur’an, Allah telah menjelaskan bahwa segala sesuatu adalah milik Allah. Allah memberikan harta kepada manusia untuk dimanfaatkan sesuai kebutuhan dan memberikan sebagian dari harta tersebut kepada orang yang berhak menerimanya yakni lewat sadaqah, infak dan zakat. Harta juga menjadi tanggung jawab bagi manusia di akhirat nanti. Wallahu `Alam.

Daftar Pustaka

Al-Mu`jam al-Mufahras li-Alfazi al-Qur’an al-Karim (PDF)

Arief, Abd. Salam. Konsep al-Mal dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal al-Mawarid Edisi IX Tahun 2013.

Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah, ( Bandung : CV.Penerbit Diponegoro, 2003), cet. 10.

Ma’u, Dahlia Haliah. Harta dalam Perspektif al-Qur`an. Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, Volume 3 Nomor 1 Maret 2013.

Muhammad, Abdullah Bin. Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi`i. 2003

Rahmawaty, Anita. Distribusi Dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif. Jurnal STAIN Kudus, Volume 1, No.1, Juni 2013.

Sudarsono, Heri. Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia, 2002.

Solahuddin, M. Azas-Azas Ekonomi Islam. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007

Shihab, M. Quraish, Tafsir al-Misbah, Jilid 5. Jakarta: Lentera Hati. 2006.

Syafe’i, Rachmat. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2004.

Aplikasi Quran Android.


[1] Mahasiswa Magister Studi Islam

[2] Dahlia Haliah Ma’u. Harta dalam Perspektif al-Qur`an. Jurnal Khatulistiwa – Journal Of Islamic Studies, Volume 3 Nomor 1 Maret 2013, hlm. 88

[3] M. Solahuddin. Azas-Azas Ekonomi Islam. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 63

[4] Dahlia Haliah Ma’u, Ibid., hlm. 88

[5] Rachmat Syafe’i. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia. 2004, hlm 22

[6] Rachmat Syafe’i, Ibid., hlm. 22

[7] Ibid., hlm. 89

[8] Dahlia, Ibid, hlm. 89

[9] Ibid.,hlm. 89

[10] Abd. Salam Arief, Konsep al-Mal dalam Perspektif Hukum Islam, Jurnal al-Mawarid Edisi IX. 2013, hlm. 48

[11] Ibid., hlm. 90

[12] al-Mu`jam al-Mufahras li-Alfazi al-Qur’an al-Karim (PDF)

[13] Al-Quran Bahasa Indonesia

[14] Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2, Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi`i. 2003, hlm. 329

[15] Abdullah Bin Muhammad, Ibid, hlm. 329

[16]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5. (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Hlm. 560-561

[17] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, Jilid 15. (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Hlm. 599

[18] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbah, Jilid 5. Ibid., Hlm. 425

[19]  Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemah, ( Bandung : CV.Penerbit Diponegoro, 2003), cet. 10.

 [20] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Jilid 5. (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Hlm. 709

[21]  M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2006). Hlm. 269

[22]  Ma`u. Ibid, hlm. 98

[23]  Heri Sudarsono. Konsep Ekonomi Islam, Suatu Pengantar. Yogyakarta: Ekonisia, 2002. Hlm. 216

[24]  Anita Rahmawaty. Distribusi Dalam Ekonomi Islam Upaya Pemerataan Kesejahteraan Melalui Keadilan Distributif. Jurnal STAIN Kudus, Volume 1, No.1, Juni 2013. Hlm. 2

[25] Ma`u. Ibid., hlm. 98

Comments

Popular Posts