Kisah Anak SMP di Asrama

Oleh: Krisnanda

Wanita Tua Terbaring

Di suatu malam sekitar pukul 20:45 WIB, aku bertemu dengan seorang wanita tua yang sedang tidur di pinggir jalan dengan beralaskan secercah koran. Aku terhenyut menyaksikan keadaan wanita tua itu, kaki ini kian bergetar seakan merasakan derita wanita tua itu. Langkah ku terhenti dan kuputuskan untuk mendekatinya sebab kondisi yang membuat naluriku sebagai lelaki terlukai. Aku melangkah dengan keraguan dan berharap wanita tua itu tidak terbangun karena mendengar suara desik

sendal jepitku. Hingga aku sampai di dekatnya dan dengan penuh was - was, aku lancang melihat sekujur tubuhnya. Aku melihat luka kaki, luka tangan, hingga luka di wajah, tampak seketika wanita tua ini habis dipukul masa. Seakan jantung ini berhenti berdetak sebab terbayang akan kesulitan hidup yang dihadapi wanita tua itu.

Sekira 1 menit aku terhanyut oleh keadaan wanita tua itu, aku pun tersadar untuk bersegera pulang ke asrama dikarenakan gerbang akan ditutup pukul 23:00 WIB. Dengan rasa ibah dan rasa yang tak dapat didefinisikan, yang jelas aku ingin sekali berkomunikasi dengan wanita tua itu. Ingin menyapanya, ingin bertanya keadaannya, ingin saling melemparkan senyum sapa, namun nihil. Aku pun tidak sanggup untuk membangunkan wanita tua itu. Hingga aku berbalik badan untuk melangkahkan kaki ini menuju asrama. Tanpa di sangka, wanita tua itu pun terbangun dan berkata

“Hei, siapa kau...? mengapa kamu ada disitu?” tanya wanita tua itu dengan suara lantang dan wajah menakutkan.

Aku yang hanya berjarak berapa meter darinya kemudian berkata:

 “Ngak bu, saya cuma ingin melihat ibu.” Jawabku dengan halus. “Ibu kenapa?...”

Tanpa jawaban dari wanita tua itu, ia langsung berdiri dan menyerangku dengan sebongkah kayu yang ada di sampingnya.

“Plakk, plaak, plaak...”siapa kamu, siapa, siapa!!!”

Dengan rasa takut dan ngeri, saya langsung lari terbirit – birit dibarengi rasa cemas yang menghantui. Ntah lah, saya tidak tahu apa yang harus saya lakukan, wanita tua itu mengejar saya, hingga rasa takut dan ngeri semakin mencekik diri, wanita tua itu terus mengejar tanpa henti, aku terus berlari, terus dan terus berlari. Hingga tanpa disadari aku sudah mendekati asrama, asrama tempat ku berteduh itu sudah dekat. Aku yang kemudian menoleh kebelakang memastikan wanita tua itu tidak lagi mengejarku.

Aku pun kemudian memperlambat lari, dan memasuki gerbang dengan nafas yang tak beraturan kini. Hingga aku berada di kamar yang di dalamnya banyak anak seperti-ku yang tinggal di asrama. Kami anak asrama yang hidup bersama dalam suka dan cita. Hidup tanpa danpingan orang tua dan sanak saudara. Aku kemudian mengganti pakaian untuk bergegas tidur.

Masa Gundah Gulana

            Pagi yang cerah dengan suara ayam yang berkokok mesrah menandakan pagi akan segera tiba. Kini aku terbangun dalam heningnya suasana kamar. Tak ada satu anak asrama pun yang ada. Hanya aku sendiri terbangun dalam keheningan kamar anak asrama. Kemudian aku menolehkan wajah ini ke dinding, melihat jam yang jarum – jarumnya mengarah ke arah yang berbeda – beda, akupun asik mengikuti arah jarum jam yang paling panjang tanpa rasa bersalah. Hingga aku melihat jarum yang paling kecil mengarah ke pertengahan angka 5 dan 6,  pukul 05:30 WIB.

“Ala mak!, aku, aku...”.

Tanpa melakukan pemanasan setelah bangun tidur, otot-otot yang sebelumnya tersimpuh lumpuh kini meronta dan akupun beranjak dari tempat tidur. Aku bergegas memakai pakaian shalat.

“Mana sarung-ku, mana?” tanyaku pada deretan baju yang ada di seluruh kamar.

Aku yang hanya menemukan baju koko, dan peci kemudian memakainya. Dengan penampilan acakadut, tanpa sarung yang membungkus di setengah tubuh bagian bawah, aku mencoba memilah – milih alasan yang tepat mengapa aku tidak memakai sarung dan datang telat ke masjid untuk shalat subuh ber-jama`ah.

Sesampai di masjid, aku melihat deretan anak asrama dengan menggunakan sarung, baju koko, dan peci yang menjadi seragam khas bagi para anak asrama ketika memasuki masjid. Mereka beramai – ramai mengikuti bacaan dzikir imam yang biasa dibacakan di masjid – masjid lain. Kalimat – kalimat ilahi pun keluar dari mulut para anak asrama itu. Aku melihat raut wajah berseri dari sebagai posisi, dan terlihat ada salah seorang anak yang mengayunkan kepala kebawah dan keatas secara perlahan-santai sambil memejamkan mata.

Kemudian seorang lelaki datang membawa butiran tasbih di pergelangannya. Dirangkum dengan syal mengalungi lehernya. Perlahan datang menuju anak itu, tanpa basa – basi lelaki itu melemparkan sentilan kecil ke telinga santri itu.

“Trakkkk” “Kuum ya akhi!”

Dengan suara halus sambil mengayunkan jari telunjuk ke atas – bawah. Kala itu, anak yang sedang asik menaik-turunkan kepala sambil memejamkan mata dengan muka lesuh penuh malu kemudian berdiri diantara kerumunan anak – anak asrama. Aku yang menyaksikan hal itu kemudian bersikap aneh, aku langsung masuk ke masjid dan berharap lelaki itu tidak melihat keadaanku. Dengan perlahan namun pasti aku berhasil berada di antara anak – anak lain, aku langsung shalat shubuh.

Assalamu`alaiku wr, wb”. Aku menoleh kekanan. “Assalamu`alaikum”. Aku menoleh kekiri.

Salam itu pun berhasil ku lakukan, aku merasa hati ku damai, tenang tanpa masalah yang mengintai.

Selang beberapa detik, aku menoleh ke kanan – ke kiri untuk melihat lelaki bak security, namun pandangan ku tak menemukan lelaki itu. Aku pun santai dan semakin asik melantunkan dzikr ilahi.

“Ehemmm” selintas terdengar di telinga, namun aku tak ingin mencari dari mana asal suara itu.

“Ehemmmmmm” terdengar sekali jelas, “Ehemmmm” suara itu menarik naluriku untuk menoleh kebelakang.

“Ya Rabb, lelaki itu” akupun tersimpuh malu atas kelakuanku tadi yang seakan tak memikirkan masalah sedikitpun. Aku menunduk malu.

“Ayo ikut saya”, kata lelaki itu. Dengan hati risau saya pun berdiri dan mengikuti langkah kaki bak security itu.

Hingga aku dan lelaki itu berada disebuah gubuk kecil yang jaraknya sekitar 15 meter dari mesjid. Gubuk yang indah dengan beberapa tumbuhan rambat yang menyelimuti atap gubuk. Aku kagum dengan gubuk ini, walau kecil sederhana dan terbuat dari kayu, aku merasa gubuk ini hidup seraya menyapa ku. Aku mulai mengamati di setiap sudut gubuk, hingga akhirnya pengamatanku diusik oleh pertanyaan lelaki itu.

“Kamu anak mana?“ tanya lelaki itu.

“Aku anak Gg. Pelajar bang” dengan posisi menunduk.

Aku tidak tahu siapa orang yang sedang berbicara dengan ku ini. Hanya aku melihat lelaki itu menegur serta memberi hukuman bagi para anak asrama yang sekira melanggar peraturan.

“oh, mengapa kamu tidak memakai sarung dan terlambat datang ke masjid?”. Tanya lelaki itu.

Kemudian jawabku dengan bibir terbatah – batah:

“saya, saya... ketiduran bang, ketika saya bangun, ternyata sudah subuh dan sarung saya juga gak ada di lemari”.

“Kok bisa?” pertanyaan dengan bibir tersenyum.

Aku gak nyangka lelaki bak security itu bisa tersenyum. Kemudian aku menggelengkan kepala.

“Hahaha,”. Lelaki itu tertawa, mungkin karna ia melihat ekspresi wajahku yang tegang dan ketakutan.

“Ok, karena kamu sudah jujur... saya gak akan menghukum kamu. Sekarang duduk disini, kita nikmati suasana subuh menjelang pagi bersama.”

Aku kemudian duduk dan ia menyuruhku untuk mengamati sekeliling asrama dari gubuk kecil nun indah ini. Tampak beberapa pohon berkumpul bagai keluarga, bunga – bunga nun indah menghiasi asrama menyadarkanku bahwa lingkungan asrama ku begitu indah, aku bersyukur bisa tinggal di tempa ini. Tempat yang menurut ku cukup bermakna.

“Oh ya, hari ini tanggal 31 Desember kan? keluargamu gak mengajakmu untuk berkumpul bersama di malam pergantian tahun baru?.” Pertanyaan lelaki itu mengejutkanku.

“Aku gak tahu bang, gak ada kabar mengenai hal itu dari orang tuaku. Emang bener ya hari ini tanggal 31 Desember?” Jawabku tegas.

Kemudan lelaki itu mengatakan:

“Iya iyalah, coba aja lihat di kalender sana... biasanya para anak asrama lain itu pada diizinkan pulang untuk bisa berkumpul bersama keluarga di malam pergantian tahun baru ini.”

Aku merenung sejenak ketika lelaki itu mengatakan hal itu. Terlintas di dalam hati; “semoga saja orang tua ku datang dan meminta izin untuk bisa berkumpul dengan keluarga di rumah”. Mulut ku menanggapi pernyataan lelaki itu:

“oh, gitu ya bang, ok lah... mungkin hari ini orang tuaku akan datang dan meminta izin untuk aku bisa berkumpul dengan keluarga ku di rumah.”

Sepanjang hari aku menunggu kehadiran orang tua ku. Namun, tak ada tanda – tanda kehadiran orang tuaku ke asrama ini. Hingga magrib tiba, aku masih belum mendapati orang tuaku datang menjenguk ku. Mungkin aku adalah salah satu dari sebagian hati yang keluh di suatu malam pergantian tahun baru ini. Sungguh, aku tak bersemangat untuk merayakan malam tahun baru di asramaku ini. Walau memang di asrama ku tidak ada acara khusus untuk merayakan malam pergantian tahun baru. Hanya para anak – anak asrama naik ke atas gedung untuk menyaksikan letupan kembang api yang biasa menghiasi langit bumi. Aku masih berharap orang tuaku datang menjengung ku di malam pergantian tahun baru ini.

Aku yang sebelumnya asik di kamar dengan komik idolaku “Detective Conan” kini aku diajak oleh teman – teman ku untuk pergi ke atas gedung untuk bermain bersama. Akhirnya akupun memilih untuk menuruti ajakan teman – teman ku. Kami beramai – ramai pergi ke atas gedung dengan tergesah – gesah, tak ingin rasanya melewatkan satu letupan kembang api pun. Kami dengan penuh harap menunngu kembang api menghiasi langit bumi.

Selang beberapa detik, suara teriak terdengar gembira, kami melihat kembang api meletup bak roket yang meluncur kesana kemari. Ada juga yang berbentuk seperti angin ngiung yang suara letupannya membuat orang akan berteriak histeris.

Sungguh tidak sedikitpun ada daya tarik. Walau teman – teman ku pada berteriak kencang ketika letupan kembang api muncul, dan walau kembang api yang menghiasi langit bumi terlihat cantik. Namun tetap tak menarik bagi diri ini.

Pada saat teman – temanku sedang asik menatap penuh kekaguman pada kembang api di malam pergantian tahun baru ini, aku mencoba menoleh ke sekeliling langit. Mencari - cari bintang dan rembulan di langit. Namun aku hanya menemukan rembulan yang di kelilingi beberapa bintang di langit.

“Waduh, kok rembulannya kelihatan sedih...? Pancaran sinarnya redup menggelap. Apakah ia tidak ikut senang di malam pergantian tahun baru ini!.”

Dengan suara teriak dan letupan kembang api yang hanya sekian menit itu, aku  menarik nafas dalam – dalam, kemudian mengeluarkannya kembali ke udara. “huuuuuhhhhhhh” suara mulutku mengeluarkan nafas panjang.

Kemudian kembali ku peluk rembulan itu dalam pandangan. Cahayanya yang meredup seolah menyimpan pesan kesedihan. Aku mulai menerima keadaan, bahwa hidup tidak hanya sekedar hidup. Hidup itu penuh kisah, kisah indah maupun kisah duka. Aku berbisik ke salah satu teman,

“eh teman... lihat lah, rembulan itu lebih menarik bukan?” tanyaku tersenyum.

Aku yang baru masuk di sebuah asrama, merasakan hal yang berbeda. Kehidupan baru, yang mengantarkan ku kearah yang berbeda dibanding dengan anak lainnya. Aku menemukan keindahan di asrama. Pertemanan yang tiada tara. Menjadi anak baru di sebuah asrama, ketika keluarga tidak ada disamping menemani pergantian tahun baru. Namun masih ada teman yang tanpa ragu melontarkan canda dan tawa,

“Kamar baru, tempat tinggal baru, dan pelajaran hidup di tahun baru”.

Kira – kira lima menit sebelum pukul 00.00 WIB, aku bersama teman – teman lain menyaksikan kembang api yang letupannya lebih kuat, lebih dahsyat, lebih hebat, kembang api yang sangat lebat. Tapi ada hal yang ingin ku katakan yaitu;

“Bahwa hidup adalah anugrah, maka terimalah anugrah itu dengan seksama. Kita hidup di asrama bukanlah sebuah masalah. Walau kita tidak bisa merayakan malam pergantian tahun baru dengan keluarga tercinta. Kita masih punya teman yang selalu hadir dengan berjuta kebahagiaan. Mereka adalah keluarga. “Doakan selalu keluarga tercinta dengan harapan mereka adalah keluarga terindah.”

 

Salam Anak Asrama, Krisnanda

Comments

Popular Posts