Struktur Pajak Optimal & Tax Reform




BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu tujuan negara yang disepakati oleh para pendiri awal negara ini adalah menyejahterakan rakyat, menciptakan kemakmuran yang berasaskan kepada keadilan sosial. Untuk dapat mencapai tujuan ini, negara harus melakukan pembangunan di segala bidang. Sebagai sebuah negara yang berdasarkan hukum material/sosial, Indonesia menganut prinsip pemerintahan yang menciptakan kemakmuran rakyat.

Dalam hal ini, ketersediaan dana yang cukup untuk melakukan pembangunan merupakan faktor yang sangat penting. Dalam menjamin ketersediaan dana untuk pembangunan ini, salah satu cara yang dilakukan pemerintah adalah dengan melakukan pemungutan pajak.

Permasalahan yang timbul adalah adanya satu dilema yang dilihat dari sisi negara yang melakukan pemungutan, maupun dari sisi pembayar pajak. Di satu sisi, negara menginginkan dana pajak yang dipungut sebisa mungkin optimal dan mencapai target sehingga negara dapat melakukan pembangunan. Namun, di sisi lain, masyarakat pembayar pajak tidak seluruhnya melaksanakan kewajiban tersebut sehingga penerimaan negara berkurang. Kondisi ini memang tidak dapat disangkal. Masih ada orang yang menganggap bahwa tidak ada gunanya membayar pajak karena tidak ada manfaat yang diperoleh dari pemerintah. Terlepas dari sifat pajak yang memaksa, bagaimanapun, pemerintah harus memberikan jaminan bahwa memang pajak sudah diperuntukkan dengan benar. Bila tidak, artinya pemerintah tidak memahami hakekat dari pajak itu sendiri.

Berdasarkan laporan Ditjen Pajak, penerimaan pajak sampai 31 Mei mencapai Rp. 120,1 triliun atau 36,9% dari target APBN yang disepakati sebesar Rp. 325,2 triliun. Ditambahkan pula bahwa realisasi penerimaan pajak hanya di bawah 40 persen. Di sini, persentasi penerimaan negara melalui pajak bisa dikatakan masih sangat rendah. Di sinilah perlunya peranan pemerintah sebagai pemungut pajak untuk mengambil langkah-langkah kebijakan agar dapat memancing kesadaran masyarakat untuk mau membayar pajak. Saat ini, pemerintah sebaiknya tidak lagi mengedepankan alat pemaksaan bahwa penghindaran pajak merupakan tindakan kriminal. Sudah waktunya pemerintah melakukan perubahan birokrasi agar lebih disesuaikan dengan kondisi jaman. Di sinilah peranan aparat pemungut pajak (fiskus) menjadi ujung tombak di dalam mencapai target penerimaan pajak.

Sejak dilakukannya reformasi pajak yang pertama pada tahun 1984, diharapkan penerimaan pajak sebagai sumber utama pembiayaan APBN dapat dipertahankan kesinambungannya. Masalah kepatuhan pajak merupakan masalah klasik yang dihadapi di hampir semua negara yang menerapkan sistem perpajakan. Masalah kepatuhan pajak dapat dilihat dari segi keuangan publik (public finance), penegakan hukum (law enforcement), struktur organisasi (organizational structure), tenaga kerja (employees), etika (code of conduct), atau gabungan dari semua segi tersebut. Dari segi keuangan publik, apabila pemerintah dapat menunjukkan pengelolaan pajak dengan baik serta sesuai dengan keinginan wajib pajak, tentulah wajib pajak akan cenderung mematuhi aturan perpajakan. Sebaliknya, apabila pemerintah tidak dapat menunjukkan penggunanaan pajak secara transparan dan akuntabilitas, maka wajib pajak akan cenderung enggan dan berat untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak.


Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud reformasi pajak (tax reform)?
Apa yang dimaksud sebagai perpajakan optimal?

Tujuan
Untuk mengetahui apa yang dimaksud reformasi pajak (tax reform).
Untuk mengetahui apa yang dimaksud sebagai perpajakan optimal.

BAB II
PEMBAHASAN

Definisi Pajak

Pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya. Sebagai contoh, pajak penghasilan. Pajak penghasilan yang diterima pemerintah tidak akan dapat ditujukkan penggunaannya, akan dipakai untuk apa, apakah untuk membayar upah dan gaji pegawai negeri, untuk membeli barang/jasa, atau untuk membayar utang pemerintah. Sebaliknya, pungutan pemerintah karena membayar menerima jasa tertentu dari pemerintah disebut dengan retribusi, misalnya saja pungutan parker, pembayaran listrik, pembayaran air minum, dan sebagainya.

Jenis-jenis Pajak
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dapat dibedakan menjadi Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Pusat yang dalam hal ini sebagian dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak - Departemen Keuangan. Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak-pajak yang dikelola oleh Pemerintah Daerah baik di tingkat Propinsi maupun Kabupaten/Kota. Pajak-pajak Pusat yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak meliputi :

a. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak. Yang dimaksud dengan penghasilan adlah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat digunakan untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.

b. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN. Tarif PPN adalah tunggal yaitu sebesar 10%. Dalam hal ekspor, tarif PPN adalah 0%. Yang dimaksud Dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, peraian, dan ruang udara diatasnya.

c. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
Selain dikenakan PPN, atas barang-barang kena pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPn BM. Yang dimaksud dengan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah:

- Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok
- Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu
- Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi
- Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status
- Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat

d. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.

e. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota.

f. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Seperti halnya PBB, walaupun BPHTB dikelola oleh Pemerintah Pusat namun realisasi penerimaan BPHTB seluruhnya diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota sesuai dengan ketentuan.

Pajak-pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota antara lain meliputi:

Pajak Propinsi:
- Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
- Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
- Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
- Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan

Pajak Kabupaten/Kota:
- Pajak Hotel
- Pajak Restoran
- Pajak Hiburan
- Pajak Reklame
- Pajak Penerangan Jalan
- Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C
- Pajak Parkir

Struktur Perpajakan di Indonesia

Pajak:

1. Pajak Pusat/Negara:

Dirjen Pajak:
a. PPh
b. PPN
c. PPn BM
d. PBB
e. Bea Materai
f. BPHTB

Dirjen Bea dan Cukai:
a. Bea Masuk
b. Cukai

2. Pajak Daerah:

Propinsi DT. Tk I :

a. Pajak Kendaraan Bermotor

b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor

c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor

Kabupaten/Kota DT. Tk. II :

a. Pajak Hotel & Restoran

b. Pajak Hiburan

c. Pajak Reklame

d. Pajak Penerangan Jalan

e. Pajak Pengambilan & Pengolahan Bahan Galian Gol. C

f. Pajak Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan.

2.4 Prinsip-Prinsip Perpajakan
Pada umumnya pengeluaran pemerintah dapat dibedakan antara penerimaan pajak dan penerimaan bukan pajak. Penerimaan bukan pajak, misalnya adalah penerimaan pemerintah yang berasal dari pinjaman pemerintah baik pinjaman dalam negeri maupun pinjaman luar negeri, penerimaan dari badan usaha milik pemerintah, penerimaan dari lelang, dan sebagainya.

Penerimaan pemerintah lainnya adalah dari pajak. Definisi pajak adalah suatu pungutan yang merupakan hak prerogative pemerintah, pungutan tersebut didasarkan pada undang-undang, pemungutannya dapat dipaksakan kepada subyek pajak untuk mana tidak ada balas jasa yang langsung dapat ditunjukkan penggunaannya. Sebagai contoh, pajak penghasilan. Pajak penghasilan yang diterima pemerintah tidak akan dapat ditujukkan penggunaannya, akan dipakai untuk apa, apakah untuk membayar upah dan gaji pegawai negeri, untuk membeli barang/jasa, atau untuk membayar utang pemerintah. Sebaliknya, pungutan pemerintah karena membayar menerima jasa tertentu dari pemerintah disebut dengan retribusi, misalnya saja pungutan parker, pembayaran listrik, pembayaran air minum, dan sebagainya.

Masalah penerimaan pemeritah dari sector nonpajak kurang mendapat perhatian karena asal usul dan pertanggung jawabannya sudah jelas. Ini berbeda dengan penerimaan Negara dari pajak, selalu mendapat perhatian yang besar oleh karena dari sector pajak itu timbul dua hal sebenarnya merupakan akibat dari adanya aktifitas pemerintah, yaitu:

Siapakah yang membayar pajak (wajib pajak), dan

Siapakah yang pada akhirnya menderita beban pajak


Aspek yang pertama kurang menarik bagi para ahli keuangan Negara oleh karena telah jelas pihak-pihak yang membayar suatau jenis pajak (wajib pajak) tertentu, yaitu orang atau badan yang disebutkan dalam undang-undang pajak. Misalnya pajak penghasilan suatu perseroan, yang menjadi wajib pajak adalah perseroan tersebut. Dalam bidang hokum, suatu perseroan dianggap sebahai suatu individu, sama seperti orang. Wajib pajak untuk pajak sepeda adalah pemilik sepeda, dan sebagainya.

Aspek kedua, yaitu siapa yang sebenarnya menderita beban pajak tidaklah sederhana aspek pertama, oleh karena pihak yang membayar pajak (atau wajib pajak) mungkin bukanlah pihak yang menderita beban pajak. Ini akan terjadi apabila wajib pajak mampu melimpahkan seluruh beban pajak kepada pihak lain. Misalnya, pajak perseroan, walaupun dikenakan terhadap laba suatu perseroan, tetapi bukan perseroannya sendiri yang menderita pajak karena perseroan hanyalah suatu badan usaha. Beban pajak perseroan dapat diderita oleh pemilik perseroan ( pemilik modal), mungkin juga diderita oleh konsumen apabila pajak perseroan tersebut menyebabkan harga-harga hasil produksi naik sebesar pajak. Pajak perseroan dapat pula menjadi beban pemilik factor-faktor produksi apabila pajak tersebut menyebabkan penerimaan bersih (net earnings) para pemilik factor produksi menurun. Teori yang menganalisis pihak yang menderita beban pajak disebut teori insidens pajak ( tax incidence theory). Pada umumnya ada tiga konsep beban pajak, yaitu: insidens pajak absolut, insidens pajak anggaran berimbang, dan insidens pajak diferefnsial. Perbedaan ketiga konsep tersebut terletak pada pola pengeluaran pemerintah.

Dalam mengenakan pajak, pemeritah dapat mengenakan berbagai jenis pajak dan perbedaan setiap jenis pajak tersebut dapat dibedakan karena adanya perbedaan pada titik pengenaan pajak.

2.5 Prinsip Pemungutan Pajak

Dalam hal ini akan dikemukakan asas-asas pemungutan pajak dan alasan alasan yang menjadi dasar pembenaran pemungutan pajak oleh fiskus negara, sehingga fiskus negara merasa punya wewenang untuk memungut pajak dari penduduknya. Teori asas pemungutan pajak :

Teori ansuransi
Negara berhak memungut pajak dari penduduk karena menurut teori ini negara melindungi semua rakyat dan rakyat membayar premi pada Negara.

Teori kepentingan
Bahwa negara berhak memungut pajak karena penduduk negara tersebut mempunyai kepentingan pada negara, makin besar kepentingan penduduk kepada negara maka makin besar pula pajak yang harus dibayarnya kepada Negara

Teori bakti

Mengajarkan bahwa pwnduduk adalah bagian dari suatu negara oleh karena itu penduduk terikat pada negara dan wajib membayar pajak pada negara dalam arti berbakti pada negara.

Teori gaya pikul
Teori ini megusulkan supaya didalam hal pemungutan pajak pemerintah memperhatikan gaya pikul wajib pajak.

Teori gaya beli
Menurut teori ini yustifikasi pemungutan pajak terletak pada akibat pemungutan pajak. Misalnya tersedianya dana yang cukup untuk mrmbiayai pengeluaran umum negara, karena akibat baik dari perhatian negara pada masyarakat maka pemuingutan pajak adalah juga baik.

Teori pembangunan

Untuk Indonesia yustifikasi pemungutan pajak yang paling tepat adalah pembangunan dalam arti masyarakat yang adil dan makmur

Disamping itu terdapat juga asas-asas pemungutan pejak seperti:
- Asas yuridis yang mengemukakan supaya pemungutan pajak didasarkan pada undang- undang.
- Asas ekonomis yang menekankan supaya pemungutan pajak jangan sampai menghalangi produksi dan perekonomian rakyat.
- Asas finansial menekankan supaya pengeluaran-pengeluaran untuk memungut pajak harus lebih rendah dari jumlah pajak yang dipungut.

Prinsip Pemerataan Pajak Vertikal dan Horizontal
Pemerataan vertikal menyatakan bahwa pembayar pajak yang memiliki kesanggupan lebih besar untuk membayar pajak harus memberikan kontribusi yang lebih besar. Jika pajak didasarkan pada kesanggupan untuk membayar maka pembayar pajak yang lebih kaya akan membayar lebih daripada pembayar pajak yang miskin. Namun terdapat perbedaan sistem dalam pemungutan pajak. Sistem pertama disebut proposional karena semua pembayar pajak membayar dengan bagian yang sama dari pendapatannya untuk pajak. Sistem kedua disebut regresif karena pembayar pajak yang pendapatannya tinggi membayar bagian yang lebih kecil dari pendapatan meskipun jumlah yang mereka bayarkan sebenarnya lebih besar. Sistem ketiga disebut progresif karena yang pendapatannya tinggi membayar bagian lebih besar.

Pemerataan Horizontal menyatakan bahwa pembayar pajak dengan kesanggupan sama untuk membayar pajak harus berkontribusi dengan jumlah yang sama.

Prinsip Kesanggupan Membayar
Prinsip ini yang menyatakan bahwa pajak harus dipungut dari warga berdasarkan seberapa baik orang yang bersangkutan dapat menanggung beban tersebut. Prinsip ini terkadang dibenarkan oleh klaim bahwa semua warga negara harus memberikan “pengorbanan yang setara” untuk mendukung pemerintah. Namun, besarnya pengorbanan seseorang tidak hanya bergtung pada ukuran pembayaran pajaknya.

Prinsip kesanggupan membayar mengarah pada dua gagasan pemerataan: pemerataan vertikal dan pemerataan horizontal. Pemerataan vertikal menyatakan bahwa pembayar pajak yang memiliki kesanggupan lebih besar untuk membayar pajak harus memberikan kontribusi yang lebih besar. Pemerataan horizontal menyatakan bahwa pembayar pajak yang kesanggupannya sama untuk membayar pajak harus berkontribusi dalam jumlah yang sama. Meskipun gagasan pemerataan ini diterima oleh khalayak luas, penerapannya dalam mengevaluasi sistem pajak kerap kali bertele-tele.

Prinsip Manfaat
Satu prinsip perpajakan, yang disebut dengan prinsip manfaat, menyatakan bahwa orang-orang harus membayar pajak berdasarkan manfaat atau kebaikan yang mereka terima dari layanan pemerintah. Prinsip ini berusaha untuk membuat fasilitas umum serupa dengan fasilitas pribadi. Rasanya, adil jika ada orang yang sering pergi ke bioskop harus membayar pajak lebih banyak untuk karcis menonton daripada orang yang jarang menonton. Begitupun dengan orang yang memperoleh manfaat yang besar dan fasilitas umum harus membayar pajak lebih besar untuk fasilitas tersebut daripada orang yang memperoleh manfaat lebih sedikit.

Prinsip manfaat juga dapat digunakan untuk warga negara yang lebih kaya harus membayar pajak lebih tinggi daripada yang miskin. Ini karena orang-orang kaya memetik manfaat lebih banyak dari layanan umum.

Tax Reform
Sistem perpajakan di Indonesia telah mengalami beberapa kali perubahan atau yang kerap disebut Tax Reform. Reformasi pajak (Tax Reform) adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan (tax reform). Setidaknya terdapat lima tahap reformasi perpajakan di Indonesia, yaitu:

Tax Reform yang Pertama pada tahun 1983–1985;
Tax Reform yang Kedua pada tahun 1997;
Tax Reform yang Ketiga pada tahun 1997;
Tax Reform yang Keempat pada tahun 2000;
Tax Reform yang Kelima pada tahun 2002-2009.

Latar belakang dilakukannya reformasi pajak yang dimulai pada tahun 1983, setidaknya ada beberapa hal dalam situasi perpajakan nasional pada saat itu yang melatar belakangi adanya reformasi pajak:

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku dikala itu adalah sebagai warisan zaman kolonial Belanda yang pemikiran, dan tujuan yang dibuat pada zaman tersebut dirasakan sudah tidak sesuai lagi dengan kehidupan bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat sejak Proklamasi tahun 1945. Pada zaman kolonial, pemungutan pajak semata-mata dimaksudkan untuk memenuhi kepentingan pemerintah penjajahan. Sedangkan dalam alam kemerdekaan, pemungutan pajak dijiwai oleh pancasila dan UUD 1945 untuk kemakmuran bangsa.

Selain tidak sesuai kehidupan Bangsa Indonesia yang telah merdeka dan berdaulat, peraturan pajak warisan Hindia Belanda dirasakan tidak memperhatikan azas dan aspek pemerataan, keadilan, kepastian hukum dan pertumbuhan ekonomi.

Performa instansi pajak dan aparatnya yang kurang baik sehingga menimbulkan sikap masyarakat apatis dan berprasangka jelek terhadap pajak. Baik karena sistem perpajakan yang ada saat itu bukan saja tidak sesuai dengan perekonomian Indonesia yang makin modern, tapi juga sangat rumit dan sukar dipahami oleh pemungut pajak maupun oleh pembayar pajak, maupun sikap moral korup oknum-oknumnya. Dan berlanjut pada jumlah penerimaan pajak yang belum Optimal dan bisa dikatakan masih minim sekali terlihat dari jumlah Wajib Pajak yang masih sedikit dengan jumlah penerimaan yang sedikit pula terlihat dari Jumlah Penerimaan pada tahun anggaran 1983/1984 hanya sebesar Rp 2,3 trilyun. Serta sampai dengan akhir 1983 tax ratio penerimaan pajak dengan produk domestik bruto hanya sebesar 6,35% saja.

Disamping kondisi perpajakan di atas, pemicu utama sebagai latar belakang dilaksankannya tax reform tahap pertama adalah merosotnya harga ekspor minyak bumi pada masa Pasca Oil Boom yang pada Tahun Anggaran 1981/1982 Harga minyak sebesar US$ 35.00/barrel menurun menjadi US$ 29.53/barrel pada Tahun Anggaran 1983/1984. Merosotnya harga minyak di pasar internasional pasca Oil Boom menimbulkan masalah berat bagi perekonomian Indonesia karena penerimaan sektor migas menurun, defisit transaksi berjalan dan defisit APBN meningkat. Penerimaan migas dari hasil ekspor menurun 2,0% menjadi US$ 14.449 juta (1983/1984). Defisit transaksi berjalan meningkat dari US$ 2.888 juta menjadi US$ 4.151 juta (1983/1984). Defisit APBN meningkat dari Rp. 1.938 triliun menjadi Rp 2.742 triliun (1983/1984).

Adapun beberapa alasan lainnya mengapa pemerintah melakukan reformasi pajak, yaitu:

1. Sebagai upaya menstabilkan perekonomian yang tidak menentu karena pengaruh perekonomian internasional maupun nasional.

2. Sebagai usaha mengalihkan sektor penerimaan APBN dari migas yang semula sebagai sektor primadona menjadi pajak sebagai sumber yang lebih dapat menjanjikan karena secara rasional pajak adalah penerimaan yang berkelanjutan tidak seperti migas.

3. Usaha mengikuti ketentuan dunia terutama dalam hal pendanaan (pinjaman luar negeri) yang mensyaratkan struktur pajak yang ada harus disesuaikan dengan kondisi seharusnya.

4. Meningkatkan penerimaan negara dari sektor pajak.

Harapannya dengan Reformasi Perpajakan, sistem perpajakan akan berintikan kesederhanaan, menunjang pemerataan dan memberikan kepastian dan keadilan. Sistem perpajakan baru tidak akan memungut pajak atas keseluruhan masyarakat, tetapi adalah upaya dalam memperoleh penerimaan negara yang berasal dari hasil pemungutan pajak terhadap perusahaan-perusahaan besar dan individu yang berpenghasilan.

Tujuan Reformasi Pajak

Tujuan reformasi perpajakan adalah dalam rangka mewujudkan kemandirian bangsa dalam membiayai pembangunan nasional dengan jalan lebih mengoptimalkan segenap kemampuan dalam negeri terutama di bidang perpajakan. Pemerintahtelah menyadari bahwa untuk membiayai pengeluaran negara baik itu rutin maupun pembangunan pada saat ini dan masa yang akan datang kita tidak dapat lagi bergantung pada penerimaaan negara dari sumber minyak bumi dan gas alam maupun utang luar negeri. Oleh sebab itu peningkatan penerimaan pajak merupakan keharusan bagi terpenuhinya kebutuhan dana bagi pengeluaran negara terutama pembangunan. Reformasi perpajakan akan memudahkan tercapainya kehendak tersebut.

Reformasi perpajakan memiliki beberapa tujuan, yaitu antara lain untuk:

1. Lebih menegakkan kemandirian Indonesia dalam membiayai pembangunan nasional
2. Meningkatkan penerimaan pajak dari sektor pajak
3. Membuat beban pajak akan makin adil dan wajar
4. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada wajib pajak
5. Meningkatkan kepatuhan bagi wajib pajak
6. Menerapkan prinsip konsep good governance, dengan adanya asas transparansi, responsibility, keadilan dan akuntabilitas dalam meningkatkan kinerja instansi pajak
7. Meningkatkan penegakan hukum pajak, pengawasan yang tinggi dalam pelaksanaan administrasi pajak baik kepada petugas pajak maupun kepada wajib pajak.

Perpajakan Optimal

Para ekonom berpendapat berdasarkan karya dari Ramsey (1927) dan Mirrlees (1971) bahwa kebijakan pajak yang optimal terdiri dari 8 teori yaitu;

1) Optimal marginal tax rate schedules depend on the distribution of ability
2) The optimal marginal tax schedule could decline at high incomes
3) A flat tax, with a universal lump-sum transfer, could be close to optimal
4) The optimal extent of redistribution rises with wage inequality
5) Taxes should depend on personal characteristics as well as income
6) Only final goods ought to be taxed, and typically they ought to be taxed uniformly
7) Capital income ought to be untaxed, at least in expectation
8) In stochastic, dynamic economies, optimal tax policy requires increased sophistication.

Pajak Optimal merupakan gagasan dimana pajak digunakan buntuk mempengaruhi perilaku yang mengarahkan para teoretikus pajak untuk mencari sistem perpajakan yang optimal. Bagaimana orang mengetahui dalam merespons pajak yang memungkinkan kita dalam merancang sistem yang meminimalkan beban berlebih secara keseluruhan, kita dapat merancang sistem pajak cukai yang optimal untuk barang dengan permintaan yang relatif elastis.

Tentu mustahil untuk mengumpulkan semua informasi yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan sistem pajak optimal yang telah diusulkan tersebut. Hal ini seperti lingkaran setan dimana kita kembali ke titik awal lagi. Menggunakan prinsip netralitas: jika semua hal lain tetap serupa, maka pajak yang netral dengan memperhatikan kebijakaan ekonomi pada umumnya lebih disukai dari pada pajak yang mendistorsi kebijakan ekonominya. Pajak yang tidak netral mengakibatkan beban berlebih (Karl, 2006).

Teori standar dalam perpajakan optimal mengungkapkan bahwa sistem pajak harus dipilih untuk memaksimalkan subjek fungsi kesejahteraan sosial dalam satu set masalah. Literatur yang berkaitan dengan perpajakan optimal biasanya membuat perencana sosial sebagai utilitarian: yaitu, fungsi kesejahteraan sosial didasarkan pada utilitas individu dalam masyarakat. Dalam hal paling umum, kalimat ini menggunakan fungsi kesejahteraan sosial yang merupakan fungsi nonlinear utilitas individu. Nonlinier memungkinkan untuk perencana sosial yang lebih disuka, misalnya dalam distribusi yang memiliki kesamaan utilitas. Namun, beberapa penelitian dalam literatur ini mengasumsikan bahwa perencana sosial semata-mata peduli tentang utilitas rata dimana menyiratkan fungsi kesejahteraan sosial yang linear dalam utilitas tiap individu. Untuk tujuan kita dalam esai ini, perbedaan-perbedaan ini begitu penting, dan satu tidak akan pergi jauh salah dalam berpikir dari perencana sosial sebagai "linear" klasik utilitarian (Mankiw).

Untuk menyederhanakan masalah yang dihadapi perencana sosial, sering diasumsikan bahwa setiap orang dalam masyarakat memiliki preferensi yang lebih dari sama, yaitu konsumsi dan rekreasi. Kadang-kadang asumsi homogenitas ini diambil dari satu langkah lebih jauh dengan asumsi perekonomian yang dihuni oleh tiap individu benar-benar identik. Tujuannya perencana sosial adalah untuk memilih sistem pajak yang memaksimalkan kesejahteraan konsumen perwakilan, mengetahui bahwa konsumen akan menanggapi apa pun insentif sistem pajak yang disediakan. Dalam beberapa penelitian perpajakan, dengan asumsi perwakilan konsumen mungkin disederhanakan, namun seperti yang kita ketahui bahwa dapat disimpulkan bahwa kebijakan dari model dengan perwakilan konsumen dapat dilakukan dalam beberapa kasus yang menyebabkan sebuah masalah.

Setelah mengetahui fungsi dan tujuan, maka langkah berikutnya adalah untuk menentukan kendala dalam perencana sosial yang dihadapi untuk mendirikan sistem pajak. Dalam kontribusi awal yang besar, Frank Ramsey (1927) menyarankan satu baris serangan: kira - kira perencana harus meningkatkan jumlah tertentu penerimaan pajak melalui pajak atas komoditas saja. Ramsey menunjukkan bahwa pajak tersebut harus dikenakan berbanding terbalik dengan elastisitas konsumen perwakilan untuk permintaan yang baik, sehingga komoditas yang pengalaman inelastis permintaan dikenai pajak lebih berat. Upaya Ramsey ini telah memiliki dampak yang mendalam pada teori pajak serta bidang lainnya seperti harga barang publik dan regulasi. Namun, dari sudut pandang sastra perpajakan yang optimal, di mana tujuannya adalah untuk mendapatkan sistem pajak terbaik, itu jelas bermasalah untuk menyingkirkan sistem pajak yang dibayangkan oleh sebuah asumsi. Mengapa tidak memungkinkan perencana sosial untuk mempertimbangkan semua skema yang mungkinkan pajak, termasuk nonlinear dan pajak saling bergantung barang, pendapatan dari berbagai sumber, bahkan karakteristik pribadi non-ekonomi. Tetapi jika perencana sosial boleh dibatasi dalam memilih sistem pajak, maka masalah perpajakan optimal menjadi terlalu mudah: pajak yang optimal hanya pajak lump-sum. Setelah itu, jika perekonomian digambarkan oleh konsumen perwakilan, bahwa konsumen akan membayar seluruh tagihan pajak dari pemerintah dalam satu bentuk atau lain. Setiap ketidaksempurnaan pasar seperti eksternalitas yang sudah ada sebelumnya, yang terbaik adalah tidak mendistorsi pilihan konsumen sama sekali. Pajak lump-sum menyelesaikan apa yang diinginkan perencana sosial.

Dalam kehidupan, ada alasan yang bagus mengapa lump-sum pajak yang jarang digunakan. Yang paling penting, pajak ini jatuh setara dengan orang kaya dan miskin dalam menempatkan beban relatif lebih besar pada yang terakhir. Margaret Thatcher, sebagai Perdana Menteri Inggris, berhasil mendorong melalui pajak lump-sum yang dikenakan di tingkat lokal ("biaya komunitas") dimulai pada tahun 1989, pajak itu sangat tidak populer. New York Times melaporkan pada tahun 1990, "[W] kemarahan idespread pajak lebih mengancam kehidupan politik Mrs. Thatcher, namun bukan keselamatan dirinya. Pajak itu cepat dicabut, dan tidak kebetulan dari kantor istilah Thatcher berakhir tidak lama.

James Mirrlees (1971) meluncurkan gelombang kedua model pajak yang optimal dengan menyarankan cara untuk meresmikan masalah perencana yang secara tegas mengatur heterogenitas yang tidak teramati antara pembayar pajak. Dalam versi yang paling dasar dari model, individu berbeda dalam kemampuan bawaan mereka untuk memperoleh pendapatan. Perencana dapat mengamati pendapatan, yang tergantung pada kedua kemampuan dan usahanya, namun perencana tidak dapat mengamati kemampuan atau usaha langsung. Jika pendapatan pajak perencana dalam upaya untuk pajak kemampuan tinggi mereka, individu akan berkecil hati ketika mengerahkan banyak usaha untuk memperoleh pendapatan itu. Dengan mengakui heterogenitas yang tidak teramati dapat mengurangi utilitas marjinal konsumsi dan efek insentif. Pendekatan Mirrlees meresmikan trade off klasik antara kesetaraan dan efisiensi yang dihadapi pemerintah itu fakta dan telah menjadi pendekatan dominan untuk teori pajak.

Dalam rangka Mirrlees terkait pajak yang optimal menjadi permainan informasi yang tidak sempurna antara pembayar pajak dan perencana sosial. Perencana ingin mengenakan pajak kepada mereka yang berkemampuan tinggi dan memberikan tunjangan dana kepada mereka yang berkemampuan rendah, tetapi perencana sosial perlu memastikan bahwa sistem pajak tidak memicu orang-orang dari kemampuan yang tinggi untuk berpura-pura menjadi orang yang berkemampuan rendah. Memang, analisis Mirrleesian modern sering bergantung pada "prinsip wahyu." Menurut pertandingan hasil teori klasik ini, setiap alokasi sumber daya yang optimal dapat dicapai melalui kebijakan di mana individu secara sukarela mengungkapkan jenis mereka dalam menanggapi insentif provided. Pada kata lain, perencana sosial harus memastikan sistem pajak yang memberikan insentif cukup bagi pembayar pajak highability untuk terus meningkatkan produksi yang sesuai dengan kemampuan mereka, meskipun perencana sosial ingin menargetkan kelompok ini dengan pajak yang lebih tinggi.

Kekuatan kerangka Mirrlees adalah bahwa hal itu memungkinkan perencana sosial untuk mempertimbangkan semua sistem layak pajak. Kelemahan dari pendekatan Mirrlees adalah tingkat tinggi kompleksitas. Melacak kendala insentif-kompatibilitas diperlukan sehingga individu tidak menghasilkan seolah-olah mereka memiliki tingkat yang lebih rendah dari kemampuan membuat masalah pajak yang optimal jauh lebih sulit. Karena awal kontribusi Mirrlees, bagaimanapun, banyak kemajuan telah dibuat dengan menggunakan pendekatan ini. Perawatan umum dari pendekatan Mirrlees ditemukan di Tuomala (1990), Salanie (2003), dan Kaplow (2008a).


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Reformasi pajak (Tax Reform) adalah perubahan yang mendasar di segala aspek perpajakan (tax reform). Setidaknya terdapat lima tahap reformasi perpajakan di Indonesia, yaitu: 1). Tax Reform yang Pertama pada tahun 1983–1985, 2). Tax Reform yang Kedua pada tahun 1997; 3). Tax Reform yang Ketiga pada tahun 1997; 4).Tax Reform yang Keempat pada tahun 2000; 5). Tax Reform yang Kelima pada tahun 2002-2009.

Dalam rangka Mirrlees, masalah pajak yang optimal menjadi permainan informasi yang tidak sempurna antara pembayar pajak dan perencana sosial. Perencana ingin mengenakan pajak kepada mereka yang berkemampuan tinggi dan memberikan tunjangan dana kepada mereka yang berkemampuan rendah, tetapi perencana sosial perlu memastikan bahwa sistem pajak tidak memicu orang-orang dari kemampuan yang tinggi untuk berpura-pura menjadi orang yang berkemampuan rendah. Memang, analisis Mirrleesian modern sering bergantung pada "prinsip wahyu." Menurut pertandingan hasil teori klasik ini, setiap alokasi sumber daya yang optimal dapat dicapai melalui kebijakan di mana individu secara sukarela mengungkapkan jenis mereka dalam menanggapi insentif provided.


DATAR PUSTAKA
Case, Karl E., dan Ray C. Fair. Prinsi – prinsip Ekonomi, Edisi 8. Jilid 1. Jakarta: Erlangga. 2006.
Mankiw, N. Gregory. Dkk. Pengantar Ekonomi Mikro. Jakarta: Salemba Empat. 2013.
Mankiw, N. Gregory. dkk, Optimal Taxation in Theory and Practice. (PDF) diunduh:
http://scholar.harvard.edu/files/mankiw/files/optimal_taxation_in_theory.pdf
Mangkoesoebroto, Guritno. Ekonomi Publik, Yogyakatya: BPFE. 2014
Tax Reform (PDF) diunduh: http://kusumastuti.net/5-reformasi-pajak-tax-reform/?print=pdf

Comments

Popular Posts