Perjalanan Kuliah di Kota Pelajar, Jogja - Part 1

Oleh Krisnanda

Pada tulisan kali ini, saya ingin berbagi kepada para pembaca yang budiman tentang perjalanan pribadi saya melanjutkan sekolah di salah satu kota istimewa, Jogja. Ada banyak kenangan manis yang perlu saya abadikan lewat tulisan ini. Yuk, kita mulai saja...

Tamat SMA mau kerja atau kuliah?

Dalam menjalani hidup, kita ditawarkan oleh berbagai macam pilihan. Pilihan hidup tersebutlah yang nantinya akan mengantarkan seseorang pada titik keberhasilan dan kebahagiaan. Ketika masa - masa SMA, saya dihadapkan pada posisi yang cukup menantang yaitu menjadi ketua leting SMA. Menjadi ketua leting menurut saya merupakan hal yang tak mudah bagi seorang anak yang tidak suka berinteraksi dengan orang banyak. Saya mencoba untuk menerimanya, walau berat dirasa untuk menjadi orang yang bertanggung jawab atas kesuksesan acara perpisahan SMA. Ya, hanya untuk kesuksesan acara perpisahan.

Dalam perjalanan sekolah di jenjang SMA yang hampir selesai dimana tinggal mempersiapkan acara perpisahan, kami satu leting dikejutkan dengan suatu pengumuman dari pimpinan sekolah kalau di tahun ini tidak ada acara Pentas Gembira (PG) yang tahun sebelumnya telah dilaksanakan oleh tiap leting sebelum kami. Kami dengan berat hati hanya bisa menerima keputusan tersebut. Saya selaku ketua yang kurang baik hanya mengatakan pada teman - teman, "Ya sudah, kalau tidak ada (PG) malah enak kita. Bodoamat lah mo jelek dimata orang, emang gak ada ya sudah kita santai saja" tegas saya. Teman - teman saat itu hanya mengiyakan dan menanti kabar baik selanjutnya.

Singkat cerita, dengan jarak waktu sekitar 3 minggu sebelum hari H. Kami dikabarkan oleh seorang guru bahwa tahun ini ada acara PG, namun diubah dengan nama lain yang menurut saya inti acaranya sama. Kami mendengar hal itu rada heran, "Lah, kok bisa? orang kami gak ada nyiapin apa - apa untuk acara itu", sahut salah seorang teman. Saat itu kami memang belum ada persiapan apapun untuk acara tersebut. Nah, disitu lah tingkat kesabaran dan tanggung jawab seseorang diuji.

Kami sepakat untuk mengadakan acara tersebut dan mempersiapkan segala macam yang dibutuhkan. Disaat itu pula lah, segala macam cara kami lakukan. Kami meminta bantuan adek kelas, tapi kami tidak meminta izin kepada bapak asrama. "Gak usah, kalau minta izin bakal tak dikasih" sahut si teman yang akhirnya dibotak gara-gara minta bantuan adek kelas untuk keluar asrama tampa izin bapak asrama.

"Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada adek kelas (kawan) yang banyak membantu kami dengan maksimal, maaf jika kami menyusahkan".

Singkat cerita, tiba lah 3 hari lagi sebelum hari H. Saya jatuh sakit, kawan awak bilang "udah, kau istirahat aja sana, biar kami urus yang kami bisa". Saat itu, saya tetap menanti kabar baik di atas ranjang berbaring tekapar (padahal cuma demam). Alhamdulillah, berkat kawan - kawan awak ini acara pun berjalan dengan lancar. Hingga hari H, kami bersama - sama memakai jas rapih dan menikmati pentas seni dengan bahagia dan gemibira.

Setelah malam pentas berlalu, kami pun pulang ke kampung masing - masing. Ada yang dari Aceh, Riau, Tapanuli, dan lain - lain. Kami pisah dan bersiap menjalani kehidupan yang masih bingung mo gimana. Bingungnya saya saat itu yang dilema dengan pilihan hidup, apakah saya lanjut kuliah?, kerja, atau nikah? . Dalam hati ingin rasanya lanjutkan kuliah, namun apa daya orang tua tak terlalu sanggop nguliahkan anak sekali dua. Orang tua pun nyaranin anak gantengnya untuk tidak lanjut kuliah dulu tahun ini. Artinya nganggur dan kek ituuuu lah...

Sebenernya senang sih disuruh nganggor dulu setahun biar mamak bisa agak longgar dikit bernafasnya dan ngumpulin duit buat biaya kuliah. Bisa lah awak bantu - bantu mereka jualan di SD dekat rumah atau dapat kerja ngajar - ngajar ngaji pun jadi. Kalo nikah, gak mungkin pulak, sebab masih kocik awak ni... cewek pun tak punya. Tapi, tak lama kemudian saya yang tak betah dengan keadaan saat itu, mulai nekat untuk meminta izin ke orang tua melanjutkan pendidikan di luar kota. Kota itu adalah Jogja, yang menarik perhatian saya saat itu bahwa selain kota yang istimewa dan banyak pelajar yang menuntut ilmu di sana, Jogja juga salah satu kota favorit untuk berwisata.

Kenekatan itu dimulai dengan menggunakan semua uang tabungan semasa sekolah, yaitu sebesar Rp. 1,5 juta untuk membeli tiket pesawat. Kala itu saya yang belum tau cara membeli tiket pesawat langsung menyerahkan seluruh uang yang saya punya tersebut kepada paman. Alhamdulillah, dengan tiket yang sudah ditangan yang awalnya tidak diizinkan untuk pergi ke luar kota dengan berat hati orang tua pun mengiyakan. Dalam fikiran saya saat itu, toh kalau gak dapat tempat kuliah saya bisa kerja. Pokoknya meranto lah istilahnya jangan nganggur gak jelas di rumah.

Saya yang sedari SD sampai SMA berada di lingkungan yang dekat dengan sekolahan. Tak heran nama jalan yang ada di rumah saya disebut jalan Pelajar. Di Jalan pelajar ini sudah ada TK (Taman Kanak - kanak) tepatnya di sebelah kiri rumah jaraknya sekitar 200/300 meter, SD (Sekolah Dasar) di sebelah kanan rumah kira - kira jarak 100-150 meter, dan SMP/SMA tepat berada di depan rumah berjarak sekitar 50-100 meter. Di sekolah itu lah saya menempuh pendidikan formal. Saat itu melihat temen yang dianter org tuanya terus salaman liatnya pengen. Tapi saya cuma tepleset dari rumah nyampe sekolah. Nah, hal ini juga menjadi salah satu pertimbangan saya kenapa memilih untuk pergi jauh dari rumah. Karena pengen ngerasain yang namanya jauh. Coba aja bayangin dari SD sekolahnya saping dan sepan rumah.

Setelah orang tua mengizinkan untuk pergi ke Jogja. orang tua pun memberikan bekal semaksimal mungkin, baik nasihat maupun uang yang saat itu dikasih bapak lumayan besar yaitu Rp. 1 juta untuk pegangan. Tibalah waktu keberangkatan, satu keluarga mengantarkan saya ke bandara. Ini merupakan kali pertamanya saya naik pesawat terbang, hingga saat itu belum tau cara check in dan lain sebagainya. Hingga saat itu saya agak tegang dan takut ketinggalan pesawat langsung memasuki pintu bandara. Keluarga yang saat itu saya tinggalkan melambai - lambai tangan.

Di dalam bandara, saya bingung harus kemana, hingga ada seorang bapak - bapak yang berbaik hati menawarkan untuk membantu check in, saat itu untuk check in kenak biaya Rp. 60 ribu (airportax) yang saya dengar dari pelayan tiket tapi bapaknya minta Rp. 100 rb ke saya. Setelah itu, ada uang kembalian tapi sama bapaknya langsung dikantongin. Saya yang lugu dan emang gak beranian sama orang itu pun diam saja. Hingga bapaknya ngasih boarding pass dan meminta uang rokok. Ya saya kasihkan aja duit Rp. 10 ribu ke bapaknya. Jadi uang Rp. 1 juta pun berkurang, gak usah banyak - banyak ngasih kebapaknya, dia tadi udah ngantongin kembalian juga.

Bersambung.......


Comments

Popular Posts