Hukum Mengaqiqahkan Diri Sendiri / Anak yang Sudah Meninggal
Oleh Krisnanda
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Dalam kehidupan masyarakat, banyak sekali kasus di kehidupan masyarakat yang sering kali menimbulkan pertanyaan atas hukum dari kasus tersebut. Contohnya kasus seorang istri melahirkan seorang anak. Lazimnya setiap anak yang lahir harus disegerakan melakukan aqiqah. Namun, keluarga tersebut hidup miskin sehingga tidak mampu dan mempunyai uang untuk melakukan prosesi aqiqah anaknya. Saat anaknya tumbuh dewasa, kondisi keluarga tersebut masih
miskin sampai pada akhirnya anak mereka meninggal dan belum sempat diaqiqahkan oleh orang tuanya. Namun, setelah anaknya meninggal, atas izin Allah keluarga tersebut menjadi kaya. Lantas mereka langsung melakukan aqiqah untuk anaknya yang sudah meninggal. Atau anak yang sudah dewasa tersebut mengaqiqahkan dirinya sendiri dikarenakan orang tuanya telah meninggal.2.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
sedikit paparan di atas, maka penulis merumuskan rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana hukum
mengaqiqahkan diri sendiri karena orang tuanya sudah meninggal dunia?
2. Bagaimana hukum
mengaqiqahkan anak yang sudah meninggal?
PEMBAHASAN
A.
Hukum Aqiqah
Aqiqah termasuk
sunnah Nabi SAW yang dianjurkan. Aqiqah secara etimologi adalah rambut yang ada
pada bayi. Sedangkan aqiqah secara terminologi adalah penyembelihan hewan atas
nama anak yang baru lahir pada hari ketujuh dari masa kelahirannya.[1] Pendapat
tersebut didasarkan pada hadits :
كُلُّ غُلاَمٍ
رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى[2]
Yang artinya: “Setiap anak itu digadaikan kepada aqiqahnya yang
disembelih untuknya pada hari ketujuhnya, dicukur dan diberi nama”. (HR.Abu
Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’iy, dan Ibnu Majah, dishahihkan oleh Abdul Haq).
Maksud dari
“tergadaikan” di sini adalah tertahan dari suatu kebaikan yang seharusnya
diperoleh jika ia diaqiqahkan. Alasan dari sebuah pernyataan tersebut adalah
seorang bisa kehilangan memperoleh kebaikan karena perbuatannya sendiri atau karena
perbuatan orang lain.[3]
وفسره أحمد
وغيره بأن من لم يعق عليه لم يشفع لوالديه واستحسنه الخطابي فقال لمن يرجو شفاعة
ولده أن يعق عنه ولو بعد موته[4]
Yang artinya: “Imam Ahmad dan lainnya menafsiri hadits ini
“setiap orang yang tidak mengaqiqahi anaknya tidak bisa memberi syafaat pada
kedua orang tuanya”. Imam alkhithaaby menganggapnya Hasan (baik), dia berkata
“Bagi orang yang mengharapkan syafaat anaknya hendaknya mengaqiqahinya meski
setelah kematian anaknya”.
Adapun hukum
dari aqiqah, Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum pelaksanaan aqiqah. Madzab
Hanafi menyatakan bahwa aqiqah itu hukumnya mubah, sebab syari’at mengenai
aqiqah tersebut sudah dinash (dihilangkan ketentuan hukumnya). Selanjutnya,
Imam Syafi’i mengatakan bahwa “Aqiqah adalah sunnah mu’akkadah bagi orang yang
menanggung nafkah anak tersebut”. Mampu.
B.
Hukum
Mengaqiqahkan Diri Atau Untuk Anak Yang Sudah Meninggal
Dalam kitab Al-Majmu’,
Imam Nawawi menjelaskan bahwa anak yang meninggal sebelum umur 7 hari
disunatkan untuk diaqiqohi menurut madhab Syafi’i, begitu juga menurut pendapat
ashoh disunatkan untuk menaqiqohi seorang anak yang meninggal setelah umur 7
hari dan sudah mengaqiqahi.
فرع : لو مات المولود قبل السابع استحبت
العقيقة عندنا[5]
Yang artinya: “Ketika anak meninggal sebelum umur 7 hari,
disunatkan aqiqah baginya”.
فرع : لو مات المولود بعد اليوم السابع وبعد
التمكن من الذبح فوجهان حكاهما الرافعي (أصحهما) يستحب أن يعق عنه (والثاني) يسقط
بالموت[6]
Yang artinya: “Ketika anak itu mati setelah umur tujuh hari dan
setelah mampu untuk menyembelih, ada dua pendapat hukum menurut Ar-Rofii
(ashoh) diperbolehkan melakukan aqiqah atasnya (dan yang kedua) gugur dengan
kematian”.
ويسن أن يعق عمن مات قبل السابع أو بعده بعد
أن تمكن من الذبح[7]
Yang artinya: “Dan disunatkan melakukan aqiqah kepada orang yang
telah meninggal sebelum tujuh hari atau setelahnya sesudah mampu baginya dari
persembelihan”.
Pendapat lain
mengatakan bahwa bila di ilhaqkan (samakan) dengan kurban untuk orang
yang telah meninggal maka terdapat pendapat yang memperbolehkan aqiqah pada
anak dewasa yang telah meninggal karena aqiqah juga merupakan bagian daripada shadaqah
atas nama mayit adalah sah dan dapat memberi manfaat.
ولا تضحية (عن ميت لم يوص بها) لقوله تعالى “وان ليس للانسان الا ما
سعي ” فان اوصى بها جاز الى ان قال وقيل تصح التضحية عن الميت وان لم يوص بها
لانها ضرب من الصدقة وهى تصح عن الميت وتنفعه ـ
Yang Artinya: Tidak sah berkorban atas nama mayit yang tidak
mewasiatkannya, karena firman Allah swt (artinya) :”Dan sesungguhnya bagi
manusia hanyalah apa yang ia usahakan”. Jadi jika ia mewasiatkannya maka
boleh sampai ungkapan Dikatakan : sah berkorban atas nama mayit walaupun dia
tidak mewasiatkannya, karena berkurban merupakan bagian daripada shadaqah dan
shadaqah atas nama mayit adalah sah dan dapat memberi manfaat”.[8]
وَنَصَّ الشَّافِعِيَّةُ عَلَى أَنَّ
الْعَقِيقَةَ لاَ تَفُوتُ بِتَأْخِيرِهَا لَكِنْ يُسْتَحَبُّ أَلاَّ تُؤَخَّرَ
عَنْ سِنِّ الْبُلُوغِ فَإِنْ أُخِّرَتْ حَتَّى يَبْلُغَ سَقَطَ حُكْمُهَا فِي
حَقِّ غَيْرِ الْمَوْلُودِ وَهُوَ مُخَيَّرٌ فِي الْعَقِيقَةِ عَنْ نَفْسِهِ،.
Yang artinya: Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa sesungguhnya
aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan namun disarankan agar tidak
diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka
kewajiban orang tua menjadi gugur, termasuk jika anak tersebut telah meninggal
dunia. Akan tetapi ketika itu, bagi anak yang masih hidup punya pilihan, boleh
mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak di luar dari waktu yang diakhirkan
setelah baligh.[9]
C.
Kesimpulan
Dari penjelasan yang sudah diuraikan dapat disimpulkan bahwa menurut
madzhab Hanafi memperbolehkan pelaksanaan aqiqah, adapun madzhab Syafi’i
mengatakan hukum aqiqah adalah sunnah mu’akkad. Apabila ketika waktu
pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa), orang tua dalam keadaan tidak mampu, maka
aqiqah belum gugur dan apabila ketika waktu pensyariatan aqiqah (sebelum dewasa),
orang tua dalam keadaan mampu, maka orang tua tetap dianjurkan mengaqiqahi
anaknya meskipun anaknya sudah dewasa. Hal inipun berlaku kepada aqiqah anak
yang sudah meninggal. Dan jika diilhakkan dengan kurban, aqiqah juga merupakan bagian daripada shadaqah
atas nama mayit adalah sah dan dapat memberi manfaat.
Kemudian, apakah anak dibolehkan untuk mengakikahi
diri sendiri? Ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Pendapat yang lebih
kuat, dia dianjurkan untuk melakukan aqiqah akan tetapi hukkumnya tidak wajib.
DAFTAR PUSTAKA
Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad
bin Abdul Mu’min bin Hariz bin Ma’laa al-Husaini al-Hishni al-Syafi’i, Kifayatul
Akhyar fiy Ghayatil Ikhtishar. (pdf)
An-Nawawi, Imam Abu Zakariya
Muhyiddin bin Syarof. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab Lis-Syirozi, , Juz
VIII. Jeddah -Arab Saudi: Maktabah Al-Irsyad. (pdf).
Daud,
Abu. Sunan Abi Daud,: Darul Kutub
Ilmiyah, juz 8. (Maktabah Syamilah).
Al jauziyyah, Imam Ibnul Qoyyim. Tuhfatul
maudud bi ahkamil maulud, Pustaka Imam Syafii.
موقع يعسوب,, إعانة الطالبين , II, (الموسوعة الشاملة)
Al-Syafi’i, Syamsuddin Muhammad bin
Ahmad al-Khathib al-Syarbini. Mughni al-Muhtaj Ilaa Ma’rifati Maa’ani Alfadh
al-Minhaj, juz vi. (pdf)
[1] Taqiyuddin
Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min bin Hariz bin Ma’laa al-Husaini
al-Hishni al-Syafi’i, Kifayatul Akhyar fiy Ghayatil Ikhtishar, hal. 242.
[2] Abu Daud, Sunan Abi Daud,: Darul Kutub Ilmiyah, juz 8, hal. 17
[3] Al
jauziyyah, Imam Ibnul Qoyyim. Tuhfatul maudud bi ahkamil maulud: Pustaka
Imam Syafii, hal. 122-123.
[4]
موقع يعسوب
, إعانة الطالبين , II, hal. 128
[5] An-Nawawi, Imam Abu Zakariya Muhyiddin bin
Syarof. Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab Lis-Syirozi, , Juz VIII, hal. 448.
[6] ibid,
hal 432
[7] Al-Syafi’i, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib
al-Syarbini. Mughni al-Muhtaj Ilaa Ma’rifati Maa’ani Alfadh al-Minhaj, juz vi,
hal. 139
[8] Al-Syafi’i, Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Khathib
al-Syarbini. Mughni al-Muhtaj Ilaa Ma’rifati Maa’ani Alfadh al-Minhaj, juz vi,
hal. 292-293
[9] Abu
Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Shahih Fiqh
as-Sunnah wa Adillatuhu wa Taudhih Madzahib al-Aimmah, Jilid II, hal 383
Comments
Post a Comment
Thank You